Seorang mahasiswa tingkat akhir yang menahan lapar seorang diri
Menurut Evan, titik paling sering ia mengantarkan bantuan adalah Banguntapan, Bantul. Di sana, banyak mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang tinggal di kos murah seharga tak lebih dari Rp450 ribu. Sebagian di antara mereka mengalami permasalahan finansial.
Setelah menyisir beberapa titik di sekitar UGM, kami beranjak ke arah selatan. Menghampiri beberapa kos murah sepanjang jalan. Salah satunya di dekat kantong parkir Ngabean. Ada anak muda yang mengaku baru berhenti kuliah dan sedang mencari kerja. Ia mengaku tidak bisa mengandalkan uang kiriman orang tua lagi sehingga perlu bantuan makan.
Perjalanan paling selatan pada rute kali ini berada tak jauh dari Masjid Jogokariyan. Di sana kami menjumpai seorang perempuan yang mengaku mahasiswi semester akhir di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Sebut saja namanya Lisa* (23).
Perempuan asal Jakarta ini tinggal sendirian di sebuah rumah kecil milik saudaranya. Keberadaan tempat tinggal ini cukup membantu, lantaran sejak awal pandemi ia sudah lepas uang kiriman dari orang tua.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia bekerja sebagai freelancer. Menggarap desain dan juga copywriting untuk media sosial.
“Tapi, sudah semingguan ini invoice belum cair. Di Jogja tidak ada saudara, om pemilik rumah ini juga tidak tinggal di sini,” curhatnya.
Sekilas, ia tampak lemas. Rumah kecil yang ia tinggali juga tampak lengang tanpa banyak perabotan. Selepas menyerahkan sebungkus nasi, kami pun beranjak pergi.
“Banyak mahasiswa kelaparan dengan kondisi seperti ini. Tapi kan, mereka ini jarang terjangkau bantuan dan terdeteksi. Kadang mereka malu juga minta-minta. Makannya, saya benar-benar coba menempatkan diri agar yang menghubungi itu nyaman. Tidak malu,” ujarnya.
Membantu yang kelaparan hingga persoalan psikologis
Di balik ingar bingar kehidupan anak muda Jogja, ada banyak mahasiswa yang ternyata hidup dengan segala keterbatasan. Tak jarang, Evan dapat pesan-pesan yang cukup mengharukan seperti, “Terima kasih Mas, akhirnya saya bisa makan nasi”. Apa yang ia jalani hampir setahun menyadarkan Evan bahwa sebungkus nasi bisa sangat berarti untuk kelangsungan hidup seseorang.
Selain berbagi nasi lewat akun X @nasidaruratjogj yang sudah mengantar kebutuhan makan ke ratusan mahasiswa, saat ini ia juga menjembatani layanan konseling psikologi dengan psikolog profesional bagi mahasiswa dengan keterbatasan dana. Sudah ada puluhan anak kos yang bisa mendapatkan bantuan saat sedang mengalami tekanan mental. Selain itu sekarang sistem berbagi nasi juga sudah lebih fleksibel, bisa disalurkan melalui QRIS tanpa harus langsung berupa nasi bungkus.
Perjalanan saat itu, dari kawasan UGM hingga selatan Jogja, menyadarkan saya bahwa masih banyak mahasiswa dengan kondisi serba terbatas. Bertahan hidup di kos murah dan sempit dari ke hari, memperjuangkan studi, meski kondisinya tidak mudah.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News