Bus Purwo Widodo sudah berada di ambang kematiannya. 40 tahun jadi pemain tunggal di rute Wonogiri-Jogja, bus bergambar tulip tersebut mulai ditinggal para penumpangnya. Sementara di Jogja, ada bus tuyul rute khusus Jogja-Kulonprogo, yang sudah lebih dulu menjadi almarhum. Padahal, seperti Purwo Widodo, bus yang sudah 30 tahun lebih mengaspal ini juga tak memiliki pesaing di rutenya.
Pada 1980an, bus tuyul mulai beroperasi. Tak butuh lama buat menjadikannya andalan bagi para penglaju Jogja ke Kulonprogo maupun sebaliknya. Sayangnya, memasuki awal 2000an jumlah armadanya mulai berkurang.
Lambat laun, pemandangan bus tuyul mengitari jalanan Jogja pun mulai jarang kita temui. Kini, keberadaannya benar-benar lenyap dan hanya menyisakan namanya saja.
Si Cebol andalan penglaju Jogja-Kulonprogo
Buat yang belum tahu, bus tuyul merupakan salah satu armada andalan dari PO Bledug Gandum. Ia merupakan perusahaan otobus asal Kulonprogo yang pernah berjaya pada 1990an.
Nama “tuyul” sendiri tersemat karena bodinya yang kecil, ramping, selaiknya setan gundul tersebut. Meskipun berukuran mini, bus tuyul terkenal kokoh. Ia mampu mengarungi jalanan Kulonprogo yang topografisnya dominan perbukitan menanjak.
Salah satu kenangan mengenai keperkasaan bus mini ini adalah Andri Subekti (28). Warga Jogja yang kini bekerja sebagai guru di Bantul ini mengaku bahwa bus tuyul jadi andalannya dulu saat ia masih kuliah pada 2014-2017.
Saat itu, Andri sendiri tinggal di Sentolo, Kulonprogo. Sementara kampusnya terletak di wilayah Godean, Jogja. Jarak rumah Andri dengan kampus termasuk yang “nanggung”, tak terlalu jauh tapi tak bisa juga kita sebut dekat.
“Makanya orang tua nggak bolehin ngekos. Nyuruh laju saja,” ujarnya dalam wawancara dengan Mojok, Senin (4/9/2023) lalu. “Bus tuyul dulu jadi andalan tiap laju Jogja-KP,” sambungnya mengenang.
Pada tahun-tahun pertama kuliah, Andri memang belum punya sepeda motor sendiri. Jadi, mau tak mau, ia harus mengandalkan bus tuyul untuk berangkat dan pulang kuliah.
Tiap harinya, satu jam perjalanan ia habiskan di dalam bus ini. Kata Andri, sepanjang perjalanan ia amat menikmati lanskap sawah dan perbukitan asri yang bus tuyul lalui. “Apalagi kalau habis hujan. Pemandangannya makin bagus ada kabut-kabut gitu. Kalau motoran kan malah gak bisa menikmati karena kehujanan,” ujarnya.
Bus tuyul membuat Andri akrab dengan ibu-ibu pedagang di pasar
Selama tiga tahun jadi penikmat servis bus tuyul, ada banyak kisah berkesan yang Andri alami. Karena rata-rata penumpangnya adalah para pedagang di pasar, Andri pun menjadi akrab dengan mereka.
Andri bilang, dia sampai hafal dengan seorang ibu-ibu yang kerap naik bareng dari daerah Sentolo dan turun di Pasar Godean. Saat pulang pun, mereka kerap berjumpa lagi.
“Saking sering ngobrolnya sampai tahu keluarga beliau. Yang ternyata anaknya sudah sukses-sukses, ada yang masih kuliah. Tapi beliau ini masih senang berjualan di pasar karena ngerasa butuh kesibukan,” kenang Andri.
Selain itu, penumpang lain yang rata-rata juga pedagang di pasar, kerap membayarinya ongkos bus tuyul. “Mungkin karena sudah akrab kali ya, tiap mau bayar pasti mereka yang bayarin. Tahun segitu tarifnya masih Rp5 ribu,” kisahnya.
Sayangnya, sejak 2017 ia tak pernah lagi menaiki bus tuyul. Andri lebih banyak mengandalkan kendaraan pribadi untuk mondar-mandir. Terlebih, sejak lulus pada 2018 lalu ia memilih menetap dan bekerja menjadi guru di Jogja. Selama itu juga, Andri sudah jarang melihat bus tuyul wira-wiri di jalanan.
“Denger-denger sih memang sudah bangkrut. Enggak beroperasi lagi.”
Baca halaman selanjutnya…
Bus tuyul yang berjaya pada 1990an harus gulung tikar meski tak ada saingan. Apa penyebabnya?