Orang Surabaya yang “mengagumi” pengendara motor plat K
Kekaguman orang Surabaya itu saya alami sendiri. Setidaknya di lingkaran teman-teman saya.
Selama merantau di Surabaya, beberapa kali saya dan teman-teman motoran ke daerah-daerah di Jawa Timur. Misalnya, ke Magetan, Blitar, Mojokerto, Jombang, (jalur selatan), Pasuruan, Malang, Kediri (jalur timur), Gresik, Lamongan, Tuban (jalur pantura), dan lain-lain.
Beberapa kali dalam perjalanan tersebut saya mendapat jatah memboncengkan (artinya saya yang memegang kemudi (mootor)).
“Gokil! Penakluk pantura tenan,” begitu respons yang saya dapat.
Pasalnya, di luar Surabaya, jalan raya memang dipenuhi dengan beragam jenis kendaraan. Terutama yang ngeri, bagi teman-teman saya yang asli Surabaya, adalah bus dan truk.
Di jalanan Jawa Timur, bus seperti Sumber Selamet memang menjadi momok mengerikan bagi pengendara lain. Pemandangan yang tentu saja jarang teman saya temui di jalanan kota Surabaya.
“Wani tenan koen (berani betul kamu) meliuk-liuk di tengah bus dan truk,” kata teman saya.
Alih-alih kapok, beberapa teman malah lebih memilih membonceng saya tiap ada agenda ke luar daerah. Alasan pertama, mereka percaya saya sudah terlatih menghadapi situasi jalan raya. Secara, saya sudah terbiasa lalu-lalang di jalur pantura (Rembang-Surabaya atau Rembang-Semarang) yang terkenal “ganas”.
Alasan kedua, dengan menyetir yang “seberani” itu, memungkinkan perjalanan bisa lebih cepat. Karena saya memang menancap gas di angka 80 km/jam-100 km/jam.
Alasan ketiga, bagi mereka, orang-orang yang terbiasa melintasi pantura seperti saya tidak gampang capek dan ngantuk di jalan. Alhasil, tidak ada opsi gantian. Teman saya cukup duduk saja di belakang sambil terkantuk-kantuk.
Guyub dan gayeng di perantauan
Seorang teman sekampung saya di Rembang, Gandika (24) juga mengungkapkan hal serupa. Sebagai pengendara motor plat K, orang-orang sering menaruh rispek padanya.
Gandika sejak lulus SMK langsung berjibaku dengan kerasnya hidup. Dia pernah merantau di Tangerang, Semarang, dan Surabaya (berpindah-pindah tempat kerja).
“Misalnya di Tangerang. Orang-orang pada heran pas tahu aku sering bawa motor Tangerang-Rembang. Kok kuat? Kan aku sering sendiri. Lebih-lebih dalam bayangan mereka, pantura ya semengerikan itu. Harus rebutan jalan sama truk dan bus,” ungkap Gandika, Sabtu (18/1/2025).
Saat merantau di Surabaya, kekaguman yang Gandika terima ternyata tak sebatas soal caranya berkendara. Tapi lebih ke soal guyub dan geyangnya orang-orang plat K.
“Di Surabaya kan banyak juga yang plat K, to. Nggak cuma Rembang. Orang Kudus, Jepara, Blora, Pati, kan ada juga yang merantau ke sana. Yang jadi kuli-kuli,” beber Gandika.
Nah, tanpa sengaja Gandika nguli dengan seorang dari Blora. Juga bawa motor plat K. Akhirnya mereka guyub. Bahkan, beberapa kali saat sedang makan di warung, tiba-tiba ada saja yang menjawil Gandika, “Mas, plat K, daerah ngendi (mana), Mas?” Dari situ lalu nyambung obrolan hingga saling bertukar nomor HP.
“Dan memang biasanya pada ngumpul-ngumpul. Kadang di banguanan (tempat tidur kuli), main kartu. Kadang ya ketemu di warung kopi,” jelas Gandika.
“Dan itu, bagi orang-orang yang non plat K di Surabaya, plat K itu ternyata gayeng-gayeng,” sambungnya.
Pantura itu keras!
Saya ceritakanlah perbedaan anggapan orang Jogja dan Surabaya pada pengendara motor plat K pada Gandika. Gandika tertawa.
Gandika lalu berargumen. Secara mudah begini, orang Jogja terbiasa dengan kesantunan. Sehingga, wajar saja mereka resah dengan cara berkendara motor plat K.
“Lalu, misalnya yang diresahkan adalah sering nyalip dari kiri, atau suka nyebal-nyebal dan salip sana-salip sini, itu ada alasannya,” tutur Gandika.
Di pantura, lanjut Gandika, pengendara motor harus berhadapan dengan bus, truk, dan kendaraan besar lain.
Situasinya padat. Sering sekali Gandika kesulitan menyalip dari sisi kanan. Karena dari arah berlawanan pun sama padatnya. Sementara ruang terbukanya ada di sisi kiri. Maka, sisi kiri itulah yang Gandika—dan mungkin pengendara motor plat K lain—manfaatkan.
“Di pantura itu ada kode dari pemotor yang dipahami sama pengendara lain seperti truk atau mobil pribadi. Kalau mau nyalip dari kiri, klakson dulu. Maka si sopir truk akan paham, dia nggak akan tiba-tiba ambil ngiri. Kalau malam, kodenya pakai dim. Jadi sebelum nyalip, dim beberapa kali ke arah sepion truk. Cuma kalau sama bus emang agak susah, harus sering ngalah,” beber Gandika.
Sedangkan kenapa sering ngebut-ngebutan, alasannya ya biar lekas sampai tujuan. Itu saja.
Tapi Gandika menyadari, cara berkendara seperti itu pada dasarnya tidak aman. Selain juga tidak seharusnya habit berkendara seperti itu dibawa ke daerah lain. Karena situasi kultural dan lalu lintasnya tentu saja berbeda.
Namun, karena sudah menjadi kebiasaan, alhasil cara berkendara motor plat K yang diresahkan di Jogja tersebut seolah sudah tersetel otomatis di alam bawah sadar.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keramahan di Sepanjang Jalan Rembang-Jogja yang Sulit Ditemui Saat ke Surabaya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan