Memasrahkan diri di Stasiun Lempuyangan, Jogja
Selain Dea, saya juga pernah bertemu Fyden (20), mahasiswa baru yang pertama kali tiba di Stasiun Lempuyangan, Jogja pada 2024 yang lalu. Saat itu, saya hendak ke Surabaya dan menunggu kedatangan kereta.
Saya melihat perempuan tersebut berkali-kali melirik gawainya. Seperti sedang memastikan nama stasiun, tempat ia turun. Ia sedikit kebingungan karena baru pertama kali naik kereta dan merantau ke Jogja.
Ia lalu duduk di samping saya dan mengajak mengobrol, usai mengetahui saya dari Surabaya. Sedangkan, Fyden berasal dari Gresik. Tak jauh dari kota kelahiran saya. Ia sendiri asing dengan tulisan ‘Lempuyangan’ dan takut salah tempat pemberhentian. Namun, saya meyakinkannya.
Ia pun bercerita kalau hendak ke Jogja untuk kuliah. Beberapa minggu lagi, kuliahnya akan segera dimulai. Di sela-sela rasa senangnya itu, ia jadi ragu karena sudah diwanti-wanti orang tuanya agar bisa jaga diri.
“Aku tahunya Jogja tuh pergaulannya keras, sementara aku lulusan pesantren,” kata Fyden di bangku tunggu Stasiun Lempuyangan, Jogja.
Mulanya, Fyden mengaku Jogja hanya sebagai tempat pelarian. Sebagai lulusan pesantren, ia ingin bisa lebih bebas. Sebab, selama ini mayoritas kegiatannya hanya di pondok. Ia kurang nyaman jika kumpul lagi dengan teman-teman masa lalunya.
“Lebih spesifiknya, aku nggak siap kalau harus kumpul dengan teman seangkatan jadi aku mutusin buat cari tempat yang setidaknya nggak banyak orang aku kenal, meskipun ada keraguan tadi,” kata Fyden.
Itulah kenapa Fyden tiba-tiba mengajak ngobrol saya, mungkin memang karena ingin menantang diri. Baik Dea dan Fyden adalah orang-orang yang baru pertama kali merantau di Jogja. Stasiun Lempuyangan menjadi garis start mereka bertaruh hidup.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Keluar Stasiun Lempuyangan Langsung Disuguhi Ketimpangan Hidup Warga Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












