Seumur-umur, karena lebih dekat dengan bus ekonomi, baru belakangan saya beberapa kali menggunakan bus patas. Terutama untuk rute Surabaya-Joga. Pengalaman naik bus patas itu juga yang pada akhirnya memberi saya pengalaman yang selama ini belum pernah saya alami: boker di toilet bus.
***
“Sebenarnya, toilet di bus itu bisa digunakan nggak, sih?”
Pertanyaan itu saya ajukan ke beberapa teman yang lebih sering naik bus patas ketimbang saya. Ada yang menjawab tidak tahu. Toh memang tidak pernah mengalami kebelet kencing atau boker juga selama perjalanan.
Sementara lainnya menyebut, toilet di dalam bus patas itu tidak lebih dari sekadar pajangan belaka. Tidak difungsikan. Hanya saja, penjelasan ini tidak begitu memuaskan karena bukan berangkat dari pengalaman. Tapi hanya karena melihat kondisi toilet yang kerap kali terkunci.
Tahan kencing berjam-jam di perjalanan
Sepanjang pengalaman saya naik bus ekonomi—baik di rute Surabaya-Semarang atau Surabaya-Jogja—saya memang lebih sering menyiksa diri. Pasalnya, jika kebelet pipis, satu-satunya pilihan hanyalah menahannya hingga tiba di rumah.
Misalnya dalam perjalanan Surabaya-Semarang untuk perjalanan pulang ke Rembang: Sering kali saya kebelet kencing justru ketika baru memasuki Lamongan.
Artinya, saya masih harus menahan kencing sekitar 3 jaman untuk kemudian benar-benar turun dari bus di depan gapura masuk desa saya. Mengingat, untuk perjalanan Surabaya-Rembang (juga sebaliknya), bus ekonomi yang saya tumpangi biasanya tidak berhenti lama. Di pom bensin misalnya.
Bus terus memacu kecepatan secara maraton. Hanya berhenti untuk keperluan menaik-turunkan penumpang saja.
Napas lega karena ngetem lama di terminal
Kalau untuk perjalanan rute Surabaya-Jogja saya cenderung lebih bisa bernapas lega. Ini rute yang amat panjang. Kalau bus jalan maraton seperti di pantura, bisa-bisa saya keburu kencing di celana.
Untungnya, bus ekonomi rute Surabaya-Jogja sering ngetem agak lama di terminal-terminal besar. Misalnya di Terminal Tirtonadi Solo, Terminal Purboyo Madiun, atau Terminal Anjuk Ladang Nganjuk.
Momen ngetem itu memberi saya kesempatan untuk “setor” di toilet terminal. Sehingga saya tidak harus menyiksa diri dengan menahan kencing berjam-jam.
Tapi kalau soal kebelet boker, untungnya selama menggunakan moda transportasi bus ekonomi di rute manapun, perut saya relatif lebih bisa diajak kompromi. Mungkin karena sering kali saya bepergian dalam kondisi perut tidak terisi. Jadi tidak pernah mengalami mules-mules.
Pertama kali naik bus patas, pertama kali boker di tengah perjalanan
Penghujung 2024 lalu saya untuk pertama kalinya mencoba naik bus patas (Eka) dari Jogja ke Surabaya. Biar memangkas waktu perjalanan. Dan untuk pertama kalinya saya mengalami mules-mules di dalam bus.
Jika biasanya saya bepergian tanpa sarapan/makan lebih dulu, hari itu saya makan cukup banyak. Makan pedas pula. Yakni ketika saya makan di sebuah rumah makan di Ngawi yang merupakan bagian dari kupon bus (Jadi untuk perjalanan Jogja-Surabaya, karcis seharga Rp155 ribu yang saya bayarkan sudah termasuk dengan kupon makan di rumah makan mitra bus Eka di Ngawi).
Walhasil, tak lama berselang ketika bus patas yang saya naiki meninggalkan Ngawi, perut saya mules tak tertahankan. Tapi saya tak punya keberanian untuk bertanya ke kondektur, apakah toilet di bagian belakang bisa digunakan?
Beberapa saat saya menahan mules. Lalu saya melihat ada seorang penumpang yang menggunakan toilet tersebut untuk kencing. Ah, lega sekali rasanya. Tanpa repot-repot bertanya ke kondektur, saya akhirnya tahu kalau toilet itu bisa digunakan.
Saya langsung memutuskan antre. Setelah si penumpang yang menggunakan toilet bus patas itu keluar, saya langsung bergegas masuk ke toilet. Sungguh isi perut saya sudah hendak berojol.
Boker di toilet bus patas tak semudah yang saya bayangkan
Sementara isi perut sudah berada di pucuk, saya malah dibuat susah payah saat mencoba menutup pintu toilet di bus patas tersebut. Ternyata, kunci dari dalam sudah rusak. Hanya bisa dikunci dari luar.
Masalahnya, jika tidak terkunci dari dalam, pintu tersebut bisa-bisa terbuka saat bus tengah ngerem mendadak. Saya jadi bertanya-tanya, bagaimana cara penumpang sebelumnya mengatasi pintu rusak ini?
Saya nyaris mengurungkan niat untuk boker. Tapi sial, kecenderungan orang kebelet boker: jika sudah dekat dengan toilet, rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Maka, ya sudah, saya harus boker dalam kondisi penuh siasat. Tangan kiri saya terus memegangi gagang pintu sambil meloloskan isi perut ke lubang wc.
Percayalah, itu sungguh sangat merepotkan. Sebab, seperti dugaan saya, jika bus patas itu ngerem mendadak, yang terjadi adalah pintunya terdorong terbuka. Ditambah kondisi di toilet itu gelap gulita karena ketiadaan lampu. Jadi saya mengandal lampu sorot dari ponsel.
Dan dengan satu tangan—kiri pula—saya susah payah menahan pintu toilet agar tidak terbuka seterbuka-bukanya. Karena pintunya terasa berat. Kalau terpaksa terbuka, ya paling terbuka sedikit. Tidak sampai terbuka byak.
Untungnya, tidak ada penumpang yang duduk di belakang dekat toilet. Rata-rata di depan dan di tengah. Jadi selain mengurangi potensi terintip dari luar, paling tidak suara-suara khas orang boker tidak terdengar pula.
Boker belum tuntas malah jadi waswas
Saya cukup lama terduduk di wc jongkok toilet bus patas itu. Isi perut saya seperti tak habis-habis. Rasa mules juga tak kunjung minggat.
Di tengah situasi itu, menahan mules dan tangan yang mulau pegal karena menahan gagang pintu, tiba-tiba saya teringat sesuatu: Banyak kasus kehilangan barang berharga di bus Eka.
Kasus-kasus itu saya dapati dari Facebook hingga pemberitaan media massa. Sekalipun patas, tapi bus tersebut tidak menjamin penumpang aman dari kehilangan.
Belakangan saya bahkan mendengar sendiri, seorang penumpang bus Eka yang kehilangan laptop berisi tesis S2-nya saat tertidur dalam perjalanan. Bisa dibaca di tulisan, “Apes saat Naik Bus Eka dan Sumber Selamat, Lengah Dikit Dompet hingga Laptop Lenyap Ditukar Batu Bata”.
Saat itu, tas saya yang berisi laptop kantor tergeletak begitu saja di kursi yang saya duduki. Lengkap dengan dompet berisi surat-surat penting dan beberapa lembar uang. Tidak mungkin dong jika tas besar itu saya bawa masuk ke dalam toilet bus. Saya hanya membawa ponsel.
Bokerpun menjadi tak jenak. Saya gelisah bukan main. Alhasil, saya paksa perut saya agar segera menuntaskan hajatnya. Agar saya bisa lekas memastikan kalau barang-barang saya masih aman.
Cebok pakai drama
Dalam situasi gelisah, ketika hendak cebok, kok ya sial betul di dalam bak air hanya tersisa sangat sedikit air. Saya putar kran di sana, tapi tidak mengeluarkan air sama sekali.
Dengan sisa-sia air di dalam bak toilet bus patas itu, akhirnya saya prioritaskan untuk membersihkan diri saya dulu. Sisanya, yang tinggal koretan, baru saya gunakan untuk mengguyur lubang wc. Entah bersih atau tidak, saya tidak peduli. Mau bagaimana lagi, airnya sudah tidak bersisa kok.
Setelah tuntas, saya bergegas keluar, menutup rapat pintu toilet, lalu membongkar-bongkar dan mengecek barang-barang berharga di tas saya yang tergelat di kursi. Untungnya masih utuh. Saya bisa bernapas lega karena barang saya tidak hilang, perutpun sudah tidak mules lagi.
Yang membuat saya tahan napas kemudia adalah: Ada satu penumpang yang tampak masuk ke toilet. Bisa jadi dia akan berhadapan dengan kotoran yang tak tersiram tuntas di lubang wc, dengan bau kotoran manusia yang tersisa. Saya lantas memilih pura-pura tidur saja.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang Kaya Naik Bus Ekonomi: Coba-coba Berujung Tersiksa, Dimaki Pengamen sampai Tahan Kencing Berjam-jam atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan