Berkali-kali tiap berhenti di Terminal Tidar Magelang, selalu berhadapan dengan pengamen bus yang hobi mencaci-maki orang.
***
Dari luar, Terminal Tidar Magelang memang tampak artistik. Ornamen berbentuk gunungan wayang berwarna keemasan terpampang di bagian depan.
Terminal Tidar Magelang sebenarnya juga menyediakan fasilitas nyaman bagi penumpang atau siapapun yang singgah di sana. Termasuk toiletnya. Amat bersih.
Saya terbilang sering lalu-lalang di terminal tersebut. Karena tiap perjalanan Jogja-Semarang (untuk pulang ke Rembang), bus yang saya naiki—setidaknya saat perjalanan menuju Semarang—pasti berhenti di sana untuk mengangkut penumpang baru.
Berdesakan dan bersahut-sahutan tiap tiba di Terminal Tidar Magelang
Setiap bus yang saya naiki—seringnya Bus Ramayana—masuk dan hendak menempati satu garis parkir, dari jendela bus tampak orang-orang bergegas mendekat. Sebagian adalah calon penumpang. Sementara lainnya lagi adalah pedagang asongan dan pengamen.
Lalu persis setelah kernet cum kondektur bus membuka pintu depan sisi kiri (pintu masuk-keluar penumpang), orang-orang itu lantas saling serobot untuk masuk.
Suasana di dalam bus mendadak riuh dan berdesakan. Dari dalam bus, beberapa penumpang mencoba berjalan keluar untuk ke toilet. Karena sopir bus memang memberi waktu barang beberapa menit agar penumpang gunakan untuk buang air.
Namun, perjalanan menuju pintu keluar memang harus susah payah. Karena dari pintu, penumpang baru masuk dan cepat-cepatan mencari tempat duduk. Seiring itu pedagang asongan dan pengamen juga berebut jalan.
Setelahnya, suara-suara pedagang asongan pun saling bersahutan. Ada yang menjajakan wingko hingga bakpia sebagai oleh-oleh. Ada yang menawarkan permen, jajanan ringan, hingga beragam minuman dingin.
Di sela-sela sahut-menyahut para pedagang, terselip pengamen yang bersusah payah memetic gitar sembari bernyanyi di tengah himpitan.
Jauh dari kesantunan, tapi penumpang tak segan beri recehan
Sejauh yang saya alami sepanjang singgah di Terminal Tidar Magelang—dari 2024 sampai sekarang—saya menjumpai dua sosok pengamen. Wajahnya sampai familiar di kepala saya.
Pengamen pertama adalah laki-laki menjelang umur 30-an. Kakinya bertato. Membawa kentrung kecil ala kadarnya. Bernyanyi juga dengan suara sekadarnya.
Cara pengamen itu meminta recehan memang jauh dari kesantunan. Tak seperti kebanyakan pengamen yang saya temui di rute Semarang-Rembang, Rembang-Surabaya, atau Jogja-Surabaya.
Namun, dari pengamatan saya, masih banyak orang yang menaruh peduli. Tetap memasukkan recehan ke topi atau plastik permen yang dia sodorkan ke penumpang. Beda halnya dengan pengamen yang kedua: perempuan 30-an tahun bertubuh agak gemuk.
Baca halaman selanjutnya…
Orang sepuh disumpahi bisu, orang tidur disumpahi “picek” oleh pengamen perempuan












