Membidik Cerita: Lahan pemakaman di Jogja makin terbatas. Di sebuah makam yang penuh sesak–di Makam Karangwaru–seorang juru kunci hidup ketidakpastian. Sepi pemakaman, artinya juga sepi pemasukan.
***
Di Jogja, sebagian besar lahan makam sudah penuh. Menurut Tim Pansus bersama Dinas Pekerjaan Umum, sekitar 80 hingga 90 persen lahan pemakaman di Kota Jogja telah mencapai kapasitas/penuh.
Kondisi ini terjadi bukan hanya karena pertumbuhan penduduk yang cepat, melainkan juga karena keterbatasan ketersediaan lahan.
Dampaknya terasa nyata, terutama bagi keluarga yang kehilangan anggota. Mereka kesulitan mencari lahan untuk pemakaman. Salah satunya terlihat di Makam Karangwaru, Kota Jogja.
Jumat (15/8/2025) siang, di bawah langit mendung, saya mendatangi Makam Karangwaru yang terletak di Tegalwaru, Kota Jogja. Karena terletak di tengah-tengah perkampungan warga, akses hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki maupun kendaraan roda dua.
Sesampainya di sana, Hadi Subagyo (76), juru kunci makam tersebut, sedang mencuci clurit dan sekop yang biasa ia gunakan untuk membabat rumput.
Baru juga hendak menyapa, hujan mulai turun. Tapi hal itu membuat saya dan Hadi akhirnya bisa berbincang lebih banyak karena kami berteduh di bawah atap yang sama.

Jenazah di Makam Karangwaru Kota Jogja harus ditumpuk
Hadi bercerita, sudah 15 tahun terakhir hampir semua jenazah yang dimakamkan di Makam Karangwaru, Kota Jogja, harus “ditumpuk.”
“Kalau di sini, Mas, itu sudah pasti ditumpuk. Misalnya nenek buyut dimakamkan di sini, nanti kalau anaknya meninggal dan ingin dimakamkan di sini juga, ya ditumpuk bersama ibunya,” kata Hadi.
Selain itu, makam tersebut juga kerap menerima jenazah pendatang dari luar daerah yang menetap di Jogja. Kata Hadi, tak jarang ada orang dari NTT, NTB, Sulawesi yang meninggal di Jogja dan lantas dimakamkan di malam tersebut.
Persoalannya, keterbatasan ekonomi membuat keluarga para pendatang itu tidak mampu membawa pulang jenazah. Sehingga mau tidak mau harus dimakamkan di Jogja.
Di tengah kondisi lahan makan yang sempit, Hadi biasanya mencarikan lahan sempit di sudut pemakaman, atau menumpuk jasad dengan makam yang sudah berusia tua.

Sepi pemakaman, sepi pemasukan
Masalah keterbatasan lahan ini bukan hanya menyulitkan orang yang hendak menguburkan jenazah anggota keluarganya, tetapi juga berdampak pada Hadi sebagai juru kunci.
“Saya di sini tidak digaji, tidak ada uang bulanan. Kalau ada orang meninggal, biaya pemakaman Rp2,5 juta, itu dibagi untuk tukang gali, MC, lalu saya. Sisanya disimpan di kas kelurahan,” jelas Hadi.
Hadi biasanya menerima Rp250 ribu dalam satu prosesi pemakaman. Jika jenazah berasal dari luar Karangwaru, biayanya Rp3,5 juta, dan ia mendapat Rp350 ribu.
Di luar itu, penghasilannya hanya datang dari para peziarah yang kadang memberi amplop ketika berkunjung, meski kebanyakan hanya menyapa: sekadar basa-basi.
“Terakhir itu ya, Mas, menjelang Lebaran lumayan banyak yang datang tapi ya gitu, juga sehari saja. Kadang ada yang menyapa saya karena sudah hafal, lalu memberi amplop. Tapi kebanyakan hanya menyapa saja, aruh-aruh,” tutur Hadi.

Tak ada niat jadi juru kunci
Sudah 14 tahun–sejak 2011 silam–Hadi bekerja sebagai juru kunci. Sebelumnya ia merupakan penggali kubur yang biasa menangani jenazah yang hendak diantar ke liang persitirahatan terakhir.
Saat juru kunci sebelumnya meninggal, kepala kelurahan lalu membujuk Hadi sebagai pengganti. Awalnya, ia sama sekali tidak berniat menjadi juru kunci. Tapi bujukan kepala kelurahan membuatnya akhirnya menimbang-nimbang.
“Awalnya saya dibujuk, tapi nggak mau, Mas. Namun, besoknya saya kembali diundang dan dibujuk lagi. Waktu itu kepala kelurahan bilang, ‘Dicoba dulu satu atau dua tahun, Pak. Kalau setelah itu kira-kira tidak cocok, ya berhenti juga tidak apa-apa.’ Akhirnya saya coba jalani, dan sampai sekarang tetap saya lakukan,” tutur Hadi.
Juru kunci makam di Jogja, hidup dari amplop peziarah
Sebagai gambaran, pekerjaan Hadi di Makam Karangwaru, Jogja, itu tidak hanya sebatas menjaga, tetapi juga merawat dan memastikan kondisi makam tetap terjaga. Ia membersihkan area sekitar, merapikan kijing yang rusak, hingga menyambut para peziarah yang datang.
Saat musim hujan, tak jarang tanah di makam tersebut ambles dan merusak beberapa kijing (nisan) makam. Karena tidak ada anggaran yang memadai untuk perbaikan, ia pun sering turun tangan atas inisiatif sendiri.

“Kalau musim hujan, tanah biasanya ambles dan merusak dua sampai empat makam, Mas. Saya langsung melapor ke kepala kelurahan, tetapi jawabannya hanya, ‘Sak mampune bapak mawon (Diperbaiki bapak sendiri sebisanya)’. Kadang saya hanya diberi Rp150 ribu untuk memperbaiki,” tuturnya.
Saat ditanya mengapa tetap menjadi juru kunci meskipun pada awalnya tidak berniat, Hadi menjawab: karena tidak ingin disuruh-suruh dan ingin hidup bebas.
“Saya melakukan ini semua itu ya nggak disuruh-suruh, Mas. Kalau disuruh Saya nggak mau. Karena dari dalam diri saya sendiri saja, kalau ada rumput yang tinggi atau kalau ada yang rusak ya saya benerin,” beber Hadi.
Hidup Hadi sepenuhnya bergantung dari amplop peziarah, uang dari prosesi pemakaman. Paling mentok, diberi rokok pun tetap ia terima. Masalahnya, Makam Karangwaru, Kota Jogja, makin jarang menerima prosesi pemakaman. Lahannya sudah sempit. Begitu juga pemasukan Hadi.
Membidik Cerita ini merupakan foto jurnalistik yang diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025.
Fotografer: Khatibul Azizy Alfairuz
Kurator: Muchamad Aly Reza
Redaktur: Muchamad Aly Reza
LIHAT JUGA: Hari-hari Sepi Para Pemilik Kios Buku Bekas di Jalan Kahar Muzakir Yogyakarta atau konten Membidik Cerita (foto jurnalistik) Mojok lainnya di rubrik Bidikan












