Ronda dan saling jaga
Hal senada juga diungkapkan oleh Yudi (25), pekerja di salah satu percetakan di Surabaya. Saat ini ia tinggal di Gayungsari, Surabaya. Di sebuah kos di tengah kampung padat penduduk.
Saking padatnya, ada beberapa warga yang motornya terpaksa harus parkir di area luar rumah atau kontrakan.
“Kalau malam, pasti ada beberapa bapak-bapak yang melek’an (berjaga). Ada yang di pos, ada yang di depan rumah/kontrakan masing-masing. Kelihatannya emang cuma main kartu, tapi kan juga sambil jaga,” jelas Yudi.
Saat di kos, Yudi pernah ceroboh menaruh motor di luar pagar dengan kondisi tak dikunci ganda. Karena ia memang niat masuk ke dalam kos cuma sebentar.
Tapi saat keluar, ia langsung dicegat oleh bapak-bapak warga setempat. Ia kena tegur agar lain kali tetap membawa masuk motornya. Atau kalau tidak ya minimal kunci ganda lah.
Warga Surabaya membenci curanmor
Saya pun pernah mengalami apa yang Yudi alami: kena tegur gara-gara ceroboh. Selain itu, sepanjang pengalaman saya hampir tujuh tahun di Surabaya, tak pernah ada warga yang rela jadi korban curanmor. Setidaknya itulah yang saya dapati di daerah kos saya di Jemur Wonosari, Wonocolo, Surabaya.
Warga Jemur Wonosari bahkan sudah hafal, kapan kasus curanmor akan naik drastis. Khususnya menjelang Idul Fitri dan tahun baru. Menjelang itu, warga lantas berinisatif membentangkan banner imbauan waspada curanmor di beberapa gang. Selain juga meningkatkan keamanan (memperketat jaga malam).
Bahkan saya juga pernah melihat sendiri bagaimana amarah warga Jemur Wonosari saat berhasil menangkap dua pelaku curanmor. Warga laki-laki saling kerja sama untuk menangkapnya. Meskipun endingnya tidak bisa dibenarkan: main hakim sendiri.
Tapi paling tidak, itu adalah gambaran bagaimana warga Surabaya sebenarnya sudah saling peduli satu sama lain perihal keamanan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Warung Basuki di Tamantirto Jogja Jadi Saksi Buruknya Watak Mahasiswa UMY
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.