Pagi itu, langit di atas Danau Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dihiasi pemandangan yang jarang sekali disaksikan. Seekor Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), yang diberi nama Raja Dirgantara, membuka sayapnya lebar dan meluncur bebas di udara.
Momen pelepasliaran yang dilakukan Sabtu (13/12/2025) lalu bukan sekadar seremoni. Ia menjadi simbol tekad kuat pemerintah dan pegiat konservasi untuk menjaga masa depan salah satu satwa paling langka di Pulau Jawa itu.
Elang yang menjalani rehabilitasi di Pusat Pendidikan Konservasi Elang Jawa itu dilepas kembali setelah dinyatakan siap hidup di alam bebas, lengkap dengan perangkat GPS telemetry untuk memantau pergerakannya.

Data terbaru yang dihimpun tim riset Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa menunjukkan populasi burung top predator itu meningkat dibandingkan survei pada 2009. Jumlah pasangan yang siap berkembang biak kini diperkirakan mencapai 511 pasang di seluruh Pulau Jawa, meningkat jika dibandingkan sekitar 325 pasang pada studi sebelumnya.
Angka ini tentu membangkitkan optimisme. Peningkatan jumlah Elang Jawa menunjukkan bahwa upaya konservasi, termasuk rehabilitasi dan perlindungan habitat di wilayah taman nasional seperti TNGGP, membawa kontribusi nyata.
Namun, statistik itu juga menyimpan catatan penting. Meski jumlah elang lebih banyak dari satu dekade lalu, statusnya tetap sangat rentan jika ancaman ekologis tidak diredam. Penelitian dari tim riset Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa menunjukkan bahwa tanpa upaya serius, nasib spesies ini masih bisa terancam di masa depan.
Habitat dan fragmentasi
Salah satu faktor yang membuat Elang Jawa tetap berada dalam risiko adalah kerusakan dan degradasi habitat. Satwa yang membutuhkan hutan primer dengan pohon-pohon tinggi kini menghadapi kenyataan bahwa hutan yang tersisa di Jawa makin terfragmentasi karena aktivitas manusia.
Profesor Syartinilia dari IPB University, yang selama 20 tahun terlibat dalam riset tentang Elang Jawa, menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran petak hutan primer, semakin rendah kemampuan spesies ini untuk bertahan dalam jangka panjang. Isolasi habitat menciptakan “pulau‐pulau hutan” yang terpisah satu sama lain, sehingga menghambat pergerakan dan pertukaran gen antar kelompok.
“Ini menjadi tantangan serius bagi masa depan Elang Jawa, meskipun jumlah mereka secara keseluruhan terlihat meningkat,” kata Syartinilia kepada Mojok, Kamis (11/12/2025).

Selain isu habitat, Elang Jawa juga menghadapi ancaman lain yang tidak kalah serius: yakni perdagangan satwa liar ilegal. Walaupun dilindungi, penjualan burung langka di pasar gelap, termasuk lewat platform online, masih terjadi.
Menurut Syartinilia, dalam beberapa kasus, individu yang ditangkap dari alam untuk perdagangan bisa mengurangi jumlah populasi yang bertelur dan memperkecil kesempatan generasi baru bertahan.
Aktivitas manusia seperti perambahan hutan, penggunaan lahan untuk pertanian intensif, hingga kebakaran hutan tak kalah memberi tekanan pada keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan Elang Jawa.
Perlunya pendekatan holistik dalam konservasi
Para ahli konservasi menilai bahwa pendekatan yang holistik sangat penting untuk memastikan keberlangsungan hidup Elang Jawa. Tidak cukup hanya melindungi kawasan taman nasional atau memberi makan burung yang direhabilitasi.
Menjawab tantangan itu, Kementerian Kehutanan tengah memproses penetapan tujuh kawasan konservasi baru yang bisa menjadi penopang keberlangsungan habitat Elang Jawa. Tambahan kawasan konservasi itu berupa Taman Nasional (TN) dan Taman Hutan Raya (Tahura).
“Saat ini sedang berproses penetapan dari usulan Tahura di Gunung Muria. Kemudian Gunung Slamet sebagai Taman Nasional, yang diusulkan oleh Pemprov Jawa Tengah. Kemudian, Tahura Gunung Lawu oleh Pemprov Jawa Timur. Juga sedang berproses usulan Taman Nasional Gunung Sanggabuana di Kabupaten Karawang, Purwakarta, Bogor, dan Cianjur,” jelas Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki dalam momen pelepasliaran Raja Dirgantara, Sabtu (13/12/2025).
Adapun, tiga usulan Tahura lain di Jawa Barat yakni Gunung Wayang di Kabupaten Bandung, Gunung Cikuray di Kabupaten Garut, dan Gunung Cibungur di Kabupaten Purwakarta.
Tak hanya dari sisi pemerintah, sektor swasta juga turut berperan. Program Director Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF), Jemmy Chayadi, menyebut semula pihaknya fokus konservasi Macan Tutul Jawa di Gunung Muria.

Dalam perjalanannya, ternyata Gunung Muria juga menjadi rumah bagi Elang Jawa. Temuan itulah yang mendorong Djarum Foundation bekerja bersama para pegiat konservasi burung pemangsa, seperti tim Burung Indonesia hingga para ahli lapangan.
Keberadaan Elang Jawa di Gunung Muria menjadi alasan Djarum Foundation mulai terlibat langsung dalam pelestarian spesies tersebut. Jemmy menekankan perlunya kolaborasi jangka panjang untuk keberlangsungan spesies Elang Jawa.
Alhasil, pelepasliaran Raja Dirgantara adalah momen penting yang memberikan semangat baru bagi konservasi Elang Jawa.
“Semoga apa yang kami sudah pelajari di konservasi Macan Tutul Jawa bisa menjadi inspirasi untuk [pelestarian] Elang Jawa,” ungkapnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Raja Dirgantara “Mengudara”, Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango dan Dipantau GPS atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












