Sejumlah siswa SMA melakukan aksi demo di beberapa wilayah, menuntut hak mereka. Menurut pengamat pendidikan, ini merupakan sinyal positif bagi iklim akademik.
“Ini sinyal yang sangat positif, bahwa siswa-siswa juga punya keberanian untuk bersuara,” kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, saat dihubungi Mojok, Selasa (4/2/2025).
“Selain positif, ini juga tanda matinya ruang-ruang diskusi di sekolah. Sehingga ketika menemui kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan, anak-anak dan orang tua memilih berdemo atau posting di medsos untuk menyuarakan aspirasi,” imbuhnya.
Sekolah teledor, masa depan siswa terancam
Salah satu aksi demo siswa SMA yang menggegerkan jagad media sosial baru-baru terjadi di Solo. Ratusan siswa kelas 12 SMK Negeri 2 Solo menggelar demo di halaman sekolah pada Senin (3/2/2025) kemarin.
Diketahui, aksi protes ini terjadi lantaran keteledoran pihak sekolah dalam finalisasi pengisian Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Imbasnya, ratusan siswa di sana terancam tak bisa mendaftarkan diri di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Seleksi Nasional Berdasar Prestasi (SNBP).
Registrasi SNBP 2025 sendiri akan mulai dibuka hari ini, Selasa (4/2/2025).
Sejumlah spanduk bernada protes pun dibentangkan para siswa yang ditemani wali kelas. Seperti misal, spanduk bertulis “Kami Berhak SNBP” yang terpajang di halaman sekolah.

Ada juga spanduk bertuliskan “Oknum Perenggut Mimpi #RIPSNBP” dan dibentangkan menutup atap aula SMK Negeri 2 Solo.
Keteledoran yang sama mengancam 115 siswa di Kalbar
Tak cuma di Solo. Keteledoran yang mengancam masa depan para siswa juga terjadi di SMA Negeri 1 Mempawah, Kalimantan Barat.
Kejadiannya serupa, pihak sekolah lalai mengisi PPDS yang membuat para siswa terancam tak bisa mendaftar SNPB 2025.
“Dari semester satu sampai lima kami siapkan untuk bisa lolos bersaing masuk ke Perguruan Tinggi Negeri, melalui jalur beasiswa atau prestasi, sehingga tak mengeluarkan biaya. Namun semua sirna gara-gara oknum guru yang tak bertanggung jawab,” kata Hafiz, salah satu siswa yang meluapkan kekesalannya, seperti Mojok kutip dari Kompas.com.
Hafiz mengaku sudah tidak memiliki orang tua. Sementara, perekonomian keluarganya tergolong menengah ke bawah, sehingga harapan untuk menempuh perguruan tinggi hanya bisa ia gapai via jalur prestasi (SNBP).
Siswa SMA berani demo karena keresahan yang sudah menumpuk
Di Indonesia, aksi demo yang melibatkan siswa SMA terhitung sangat jarang. Apalagi terkait kebijakan-kebijakan sekolah yang merugikan mereka.
Siswa SMA ikut demo, bahkan bisa dihitung jari. Terakhir kali mereka muncul dalam aksi-aksi protes bersama masyarakat sipil lainnya, misalnya, dalam Aksi Reformasi Dikorupsi.

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menilai, keberanian siswa mendemo pihak sekolah baru-baru ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Pasalnya, selama ini mereka kerap mendapat diskriminasi, baik oleh pihak sekolah maupun sistem pendidikan itu sendiri.
“Sementara kanal-kanal pengaduan mereka mati semua, tidak berjalan efektif,” jelas Ubaid.
Belum lagi, ketika ada yang bersuara kritis, tak sedikit yang mendapatkan intimidasi dan persekusi dari banyak pihak. Alhasil, Ubaid pun menilai, ketika keresahan itu menumpuk, tinggal menunggu momentum saja untuk meledak.
Saat ini, lanjut Ubaid, adalah momen yang tepat buat meluapkan keresahan itu. Sebab, kanal-kanal suara sudah terbuka. Setidaknya, jika mereka melakukan aksi secara kolektif, disorot media, dan viral di media sosial, suara dukungan netizen bakal menambah keberanian mereka.
“Boleh dibilang, yang menumbuhkan keberanian adalah keyakinan mereka mendapat dukungan dari publik dengan cara viral,” jelasnya.
“Karena di negeri ini, hukum yang berlaku masih ‘no viral no justice’. Sementara kalau minta dukungan kepala sekolah, malah dicuekin. Ngomong ke guru, malah disuruh damai, ‘kan repot.”
Demo siswa SMA dianggap tabu karena feodalisme
Selain di Solo dan Mempawah Kalbar, aksi demo siswa juga berlangsung di Yahukimo, Papua Pegunungan. Bedanya, aksi yang diinisiasi Aliansi Pelajar se-Yahukimo itu diikuti siswa dari berbagai tingkatan, termasuk SD, SMP, dan SMA/K.
Tuntutannya pun juga berbeda. Jika huru-hara di Solo dan Mempawah berkaitan dengan SNBP 2025, demo di Yahukimo langsung menuntut pemerintah untuk menyetop program yang menurut mereka tak berguna: makan siang gratis.

Dalam pers rilis yang diterima Mojok, Aliansi Pelajar se-Yahukimo menyebut bahwa mereka tak butuh makan siang gratis.
“Yang kami butuhkan saat ini adalah pendidikan gratis yang berkualitas, ilmiah, dan demokratis,” tulis aliansi.
Jika pembagian makanan gratis masih dilakukan, aliansi bakal melakukan konsolidasi besar-besaran untuk mogok pendidikan di seluruh Yahukimo.
Aksi-aksi demo siswa SMA di atas menimbulkan pro-kontra dari netizen. Di TikTok dan Instagram, bahkan banyak yang menyayangkan sikap yang dianggap kurang sopan itu.
Namun, Ubaid Matraji menilai, aksi demo siswa SMA ini merupakan tindakan yang sah dan dijamin oleh konstitusi. Di Indonesia, ia dianggap tabu karena feodalisme dan patriarki di sekolah-sekolah yang masih sangat kuat.
“Jadi ketika ada suara-suara yang berbeda dengan pimpinan sekolah, sudah dianggap pembangkangan, padahal itu adalah nalar kritis dan ruang-ruang literasi-dialogis yang perlu dibuka lebar-lebar.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Ketika Demo Tak Lagi Menarik di Mata Mahasiswa karena Kehidupan Makin Kapital atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.