Tidak terasa sudah setahun saya menjalani hidup baru di Amerika Serikat. Sebagai orang Klaten yang tinggal di negara yang menurut Lord Rangga telah dimerdekakan Banten ini, pertanyaan orang yang sering muncul untuk saya adalah, “Piye ning kono?” Saya balik nanya “Lhah, apane sing piye?”
Ketidakjelasan pertanyaan dari orang-orang tersebut memicu kegelisahan saya akan hal-hal tidak jelas seperti: sebagai orang yang lahir dan besar di Klaten, apa yang sulit saya bayangkan dan “can’t relate” di sini akibat cultural shock yang saya alami?
Lagu-lagu patah hati
Kegelisahan saya tersebut tentu juga mewakili pertanyaan-pertanyaan teman-teman saya di Indonesia. Misalnya ada yang tanya, ada nggak sih di Amerika Serikat, lagu-lagu sedih yang enak dijogeti seperti lagu-lagunya Didi Kempot.
Baiklah, dari observasi, sedikit riset, dan sedikit wawancara saya mencoba menyajikan liputan ringan buat Mojok.co.
Seni itu tampil sebagai cerminan sosial masyarakat. Di negara adidaya seperti Amerika, masyarakatnya sepertinya jarang ada yang rendah diri apa ya? Soalnya selama saya tinggal di sini saya belum pernah lho nemu lagu-lagu yang menggambarkan bubarnya hubungan dua insan akibat perbedaan, meminjam istilah Vicky Prasetyo, “statusisasi kemakmuran” mereka.
Di Jawa ada Godfather of Broken Heart, Didi Kempot, yang beberapa lirik lagunya menggambarkan keterpisahan dua anak manusia akibat jurang si kaya dan si miskin. Diikuti penyanyi-penyanyi baru lainnya seperti Denny Caknan dan Ndarboy Genk yang punya lagu dengan tema yang sama.
Apakah di Amerika tidak ada orang miskin? Uakeh Mas, sak ndhayak koplak. Cuman karena banyak faktor seperti sejarah, budaya, ekonomi, pendidikan, dll, mereka itu jarang yang tumbuh sebagai warga negara minderan.
Makanya sulit dibayangkan Jennifer Lopez menyanyikan lagu putus cinta akibat “aku mung wong ora duwe”, yang ada adalah “MY LOVE DON’T COST A THING”. Atau sulit membayangkan Lady Gaga bersenandung begini, “Sugih dunyo ugo sugih bondo, bedo karo aku iki.”
Heyyy, yang ada malah, “I WANT YOUR EVERYTHING AS LONG AS IT’S FREE.” Amargi mekaten nggih para sedherek sedaya, if it’s true love, material things kan kudune won’t matter, hilih…
Piknik di Kuburan kok gak kesurupan
Saya tinggal di Houston, Texas, kota di mana NASA berada. Ada komplek rumah dinas astronot, ada museum antariksa, Sandy Cheeks yang di Spongebob itu kalau nggak salah asalnya dari Houston Texas, karena bajunya astronot kayak gitu.
Saya ingin menceritakan tetang komplek pemakaman di kota yang juga dikenal karena koboinya ini.
Komplek pemakaman di sini resik dan terawat sehingga jauh dari kesan angker. Yang paling nggapleki, di sini ada yang namanya cemetery tourism atau cemetery travels, alias piknik di kuburan.
Biasanya orang datang ke komplek pemakaman yang agak tua, lihat-lihat batu nisannya, kemudian sok jadi ahli sejarah -menganalisis almarhum/almarhumah ini hidup di zaman yang bagaimana. “He died on July 1863.”
“Oh eighteen-sixties, itu masih jamannya Lincoln, Bro!”
Saya sebagai orang Jawa, melihat orang trithikan di sasono loyo, nudhing-nudhing kijing, ngrasani swargi yang jasadnya tengah bersemayam dengan damai di pusara itu, saya cuma mbatin, ini bule nggak pernah keno sawan apa gimana ya?
Pertanyaan ini juga yang saya tanyakan ke penduduk asli sana, suami saya sendiri, Steven Willoughby. Yang ada, saya ditertawakan olehnya. “Yeah…Ghost stories are lots of fun, especially on Halloween.” Yah, katanya cerita hantu itu sesuatu yang menyenangkan, terutama saat Hallowen. Gak seru pokoke.
Sementara orang lain sedang pada jadi historian dadakan, saya tengah berusaha mengatasi keterkejutan budaya yang saya alami: Seriusan ra angker to iki? Ra kualat? Kiro-kiro lelembute ono sing ra trimo gak yo?
Steven selalu menertawakan, jika saya cerita tentang keangkeran makam-makam di Indonesia, juga tentang setan-setan di Jawa. Piknik di kuburan di Houston ini sudah jadi tujuan destinasi di kota terbesar keempat di Amerika Serikat ini.
Jadi jangan heran, kalau ada kunjungan wisatawan ke makam, bukannya kirim yasin malah lihat guide, me-roasting, orang-orang yang sudah di dalam kubur. Apa nggak tersinggung itu? Padahal kalau di desa saya, benefit yang didapat dari cemetery tourism itu sebenarnya lebih dari sekadar nilai edukasi: nilai ekonomis.
Tetangga saya pada tembus togel itu, dapat nomor jitu dari mana kalau bukan dari kegemaran cemetery tourism. Selama tinggal di sini, saya kerap jalan-jalan di beberapa makam. Tanpa mengucapkan “kula nuwun mbah buyut” lebih dulu dan cuci tangan-kaki sepulang dari makam, saya tidak pernah tuh menggeliat-geliat di lantai, bola mata bergerak ke atas, mengalami perubahan suara, dll yang menunjukkan gejala kesurupan itu.
‘Wong nggragas’ dan hukum di Amerika
Saya menyayangkan tabiat adik laki-laki saya yang masih tinggal di Klaten. Namanya Krisnanto. Nggragas-nya itu lho. Mosok tiap kali saya kirim hasil hunting foto saya selama tinggal di sini, seringnya berupa foto-foto binatang liar karena saya anaknya memang suka wildlife photography. Dia langsung nyeletuk, “Weh ono bulus, disate enak kuwi!”
Lain kali ada foto menthok dan bebek di danau, “Dirica-rica enak kuwi!” Ada foto ular, “Enak kuwi, aku wingi yo bar jajan tongseng ulo ning Jetis.”
Ini lho, aku lagi pamer wildlife photography kok jatuhnya jadi kayak food porn photography. Di sini tuh ya, yang namanya kura-kura, segala jenis burung dari dara, bebek, menthok, sampai elang yang jadi burung nasional kebanggaannya Amerika, ular, kelinci, aligator, dll hidup di alam bebas dan dilindungi hukum.
Sebenarnya di Amerika berburu itu legal, tapi banyak syarat yang harus dipenuhi, seperti izin berburu, hewan apa yang boleh diburu, mematuhi jam dan musim berburu, area berburu, dan senjata apa yang boleh digunakan untuk berburu. Dan yang paling utama mengapa binatang liar itu bisa hidup damai di alam bebas, karena di sini hampir tidak ada orang nggragas seperti adik saya.
Bayangkan orang nggragas hidup di sini, tiap hari makan tongseng bulus, rica-rica menthok, sate aligator, tumis biawak, kelinci goreng, sop ular…
Mau dikasusin kok sepele… Amerika kan urusannya udah geopolitical level ya, masak mau dibikin capek sama bentukane Nanto yang nelik bulus di sungai tanpa ijin Parks & Wildlife Department. Meh dijarno kok yo tuman…
BACA JUGA Balap Kelereng, Pemuas Dahaga Suporter Sepak Bola di Indonesia dan liputan menarik lainnya di Mojok.