MOJOK.CO – Momen jelang pemilu dan pilkada rawan terjadi kecurangan. Salah satunya adalah politik uang yang menyangkut mahar politik. Jika parpol terbukti melakukan ini ada sanksi yang harus ditanggung.
Dalam beberapa tahun terakhir, pencalonan kepala daerah dengan serah terima imbalan atau mahar kepada partai politik, jadi sesuatu yang lazim.
Pada Pilkada 2018 lalu, misalnya, sejumlah pihak mengaku bahwa parpol meminta mahar politik agar bisa maju sebagai kepala daerah. Seperti Jhon Krisli di Pilkada Palangkaraya, Dedi Mulyadi di Pilgub Jawa Barat, Brigjen (Pol) Siswandi di Cirebon, dan La Nyalla M. Mattalitti di Pilgub Jawa Timur.
Bahkan, saat itu kasus La Nyalla menyita perhatian. Ia mengaku salah satu parpol meminta uang puluhan milyar apabila ingin nyalon dalam bursa Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018.
Praktik yang terkesan diam-diam dan sembunyi-sembunyi ini sebanarnya jamak terjadi. Lantas, apa sanksinya apabila partai politik terbukti menerima imbalan dari calon kepala daerah atau calon legislatif?
Nggak boleh ajukan capres-cawapres
UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) menyebutkan bahwa partai politik nggak boleh menerima imbalan dalam bentuk apapun, termasuk uang, dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden di Pilpres 2024 mendatang. Aturan ini jelas tercantum dalam Pasal 228.
“Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden,” melansir Pasal 288 Ayat (1) UU Pemilu.
Lebih lanjut, setiap orang atau lembaga juga dilarang memberikan imbalan kepada partai politik dalam bentuk apapun. Apabila terbukti menerima imbalan, maka partai politik yang bersangkutan tidak bisa mengajukan capres-cawapres di pemilu berikutnya.
“Partai politik yang menerima imbalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” bunyi Pasal 228 Ayat (3).
Larangan partai politik menerima imbalan juga berlaku dalam proses pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi serta DPRD kabupaten/kota. Aturan ini tercantum dalam Pasal 242 UU Pemilu.
“Ketentuan mengenai partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden berlaku secara mutatis mutandis terhadap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota,” bunyi Pasal 242.
Sumbangan yang nggak boleh
Selain soal mahar politik, peserta pemilu secara umum juga tak boleh menerima sumbangan kampanye dari sembarang pihak.
Pasal 339 UU Pemilu menyebutkan bahwa peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye yang menerima sumbangan kampanye dari pihak yang terlarang, tidak boleh menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPU. Lalu, wajib menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye pemilu berakhir.
Selain itu, pemerintah juga meminta masyarakat untuk tidak memberikan sumbangan dana ilegal kepada peserta pemilu. Hal itu sesuai dengan Pasal 339 ayat 4 UU Nomor Pemilu.
Adapun, sumbangan dana kampanye pemilu yang tidak boleh parpol terima berdasarkan Pasal 339 ayat 1 UU Pemilu, meliputi:
- Pihak asing (termasuk perusahaan asing dan LSM asing);
- Penyumbang yang tidak jelas identitasnya;
- Hasil tindak pidana yang telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan hasil tindak pidana;
- Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD);
- Pemerintah desa dan badan usaha milik desa (BUMDes).
Fyi, saat ini KPU telah menerima calon anggota legislatif dari partai-partai politik yang telah memenuhi syarat menjadi peserta Pemilu 2024. KPU tengah melakukan verifikasi para caleg yang partai-partai politik ajukan.
Mengenai calon presiden-wakil presiden, KPU baru membuka masa pendaftaran pada Oktober mendatang.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi