MOJOK.CO–Tidak semua pemilih merupakan kategori emosional atau tradisional. Secara teori, ada tiga tipe pemilih yang sering dijumpai di Indonesia, yakni emosional, emosional-rasional, dan rasional.
Pemilu 2024 segera tiba. Secara timeline kampanye calon presiden dan wakil presiden dipastikan akan berlangsung sekitar 10 bulan lagi. Meski secara teknis ada sejumlah perbedaan dari Pemilu 2019, agaknya pola yang akan dipakai untuk merebut suara akan tetap sama.
Yuli Purnama dkk. dalam studinya di International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding (2021), menyatakan dalam Pemilu 2019 kedua kandidat capres lebih banyak bermain narasi populisme untuk menarik suara.
Tujuannya, kedua kandidat ingin menyasar calon pemilih “emosional” atau tradisional, yang memang—menurut banyak studi—paling mudah disuapi narasi-narasi khas populis: musuh bersama, xenofobia, pengembalian tatanan (reaksioner).
Ini sah-sah saja, karena setiap politisi punya strategi masing-masing dalam elektoral. Namun, yang harus diperhatikan juga adalah kenyataan bahwa tidak semua pemilih merupakan kategori emosional atau tradisional. Secara teori, ada tiga tipe pemilih yang sering dijumpai di Indonesia, yakni emosional, emosional-rasional, dan rasional.
#1 Pemilih Emosional
Menurut peneliti senior di Asian Scenarios Asmiati Malik, tipe pemilih Indonesia yang pertama adalah kategori emosional. Pemilih emosional, kata Asmiati, merupakan pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya dari sejak lahir. Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya.
Secara umum, kategori ini terbagi menjadi dua, yakni pemilih aktif dan pasif. Pemilih aktif emosional sangat gampang diidentifikasi, karena mereka akan sangat mudah terprovokasi dan sangat cepat merespons isu tersebut. Tipe pemilih ini yang pada Pemilu 2019 lalu menjadi kubu yang paling terpolariasi.
Sementara pemilih pasif-emosional adalah pemilih yang tidak menampakkan emosinya secara terang benderang—biasanya cenderung menggunakan pola komunikasi diam (silent communication)—karena mereka tidak menunjukkan pilihan mereka dan tidak ingin dinilai secara sosial dari pilihan mereka.
Menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie ini, kita bisa mengidentifikasi dua tipe ini di media sosial. Jika tipe aktif-emosional lebih banyak merespons isu-isu dengan, misalnya, twitwar, kategori pemilih pasif-emosional bisa diidentifikasi melalui artikel/postingan yang mereka sukai (like) tanpa meninggalkan jejak komentar.
Dalam terminologi Rohrscheneider (dalam The Strain of Representation, 2002), pemilih emosional disebut juga sebagai “pemilih tradisional”. Kategori ini termasuk yang yang paling mudah dimobilisasi selama periode kampanye karena memiliki loyalitas dan fanatisme yang tinggi.
Kecenderungan umum: memilih figur berdasarkan faktor emosi (identitas, agama, etnisitas, dsb), dan bereaksi keras di publik (aktif) dalam menyuarakan pilihannya.
#2 Pemilih Rasional-emosional
Kategori kedua adalah pemilih rasional-emosional, yakni tipe pemilih yang cenderung akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik digaungkan karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi tersebut.
Namun, sebagaimana dijelaskan Asmiati Malik, dalam proses penerjemahan informasi tersebut faktor emosional alam bawah sadar masih dominan, sehingga proses penerjemahan informasi terdistorsi oleh faktor-faktor yang secara tidak sadar membentuk pola pikir mereka.
Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka akan tetapi ketika hal tersebut menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnis, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang cukup. Pemilih rasional-emosional adalah tipikal pemilih yang lebih pasif dan suka mengamati.
Pendeknya, pemilih rasional-emosional merupakan tipe yang punya pandangan konservatif secara nilai, tapi ia lebih rasional dalam mengambil tindakan. Mereka mungkin punya kesamaan nilai sebagaimana yang dianut kandidat pilihannya, tapi tak cukup fanatik untuk menjadi tipe tradisional.
Robert Rohrscheneider (2002) yang membagi dimensi pemilih menjadi (1) yang mengedepankan policy-problem-solving dan (2) yang mendepankan ideologi, menempatkan pemilih rasional-emosional di kategori ke-2. Namun, tetap harus digarisbawahi, tipe ini tidak cukup radikal untuk menjadi simpatisan yang fanatik.
Kecenderungan umum: memilih figur berdasarkan faktor emosi (identitas, agama, etnisitas, dsb), tapi lebih bersikap menahan diri (pasif) dalam menyuarakan pilihannya, bahkan cenderung tertutup.
#3 Pemilih Rasional
Di antara tiga kategori pemilih, tipe ketiga adalah yang paling ideal dalam politik elektoral. Pemilih rasional, begitu ia didefinisikan Asmiati Malik, adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi.
Proses analisis dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk. Ia juga mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka, dalam artian, bisa menjawab secara rinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis.
Kelompok ini termasuk dalam kategori kritis dan skeptis. Dalam artian, mereka tidak segan menjabarkan alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka membuat keputusan tersebut.
Kategori ini biasanya diisi oleh orang-orang dari kelas ekonomi menengah ke atas, atau orang-orang dengan pendidikan tinggi, seperti mahasiswa, akademisi, dan lain sebagainya.
Kecenderungan umum: memilih figur berdasarkan faktor rasional (rekam jejak, kebijakan, dsb), serta memilih pasif maupun aktif dalam menyuarakan pilihannya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda
BACA JUGA Suara Pemilih Pemula Bisa Menangkan Kandidat Perempuan dalam Pemilu