MOJOK.CO – Ramainya pembicaraan Aldi Taher mencerminkan pemilih politik di Indonesia yang teralinenasi. Pakar UI menyebut ada bahaya jika hal ini terus terjadi dan Aldi Taher sukses melenggang ke parlemen.
Aksi lucu Aldi Taher belakangan ini menyita perhatian publik. Terbaru, publik tertawa dengan banyolan-banyolan jenakanya saat salah satu stasiun TV Indonesia mewawancarainya.
Sebagai informasi, stasiun TV tersebut hendak mewawancarai Aldi terkait langkahnya nyaleg melalui dua partai, yakni Partai Perindo dan Partai Bulan Bintang (PBB). Stasiun TV tersebut juga menanyakan terkait visi politik Aldi.
Namun, alih-alih mendapat jawaban terang, Aldi malah menjawab secara ngawur (meski ada yang bilang jujur). Mulai dari menyanyikan lagu “Yellow” setelah membuka salam, mengajak presenter membaca surah Al-Fatihah, hingga memberi jawaban ngalor-ngidul dan tak nyambung yang bikin pembawa acara bingung.
Misal, terkait motivasinya nyaleg, dengan entengnya ia menjawab “ingin membaca Al Quran di Senayan, karena membaca Al Quran adalah solusi”.
Bukannya bikin geram, aksi konyol tersebut malah buat netizen terhibur. Bahkan, tak sedikit yang mendeklarasikan dukungan untuk Aldi dengan mengatakan akan memilihnya di Pemilu 2024 nanti.
Fenomena ini banyak yang membaca sebagai hal lumrah, mengingat persona Aldi sebagai selebriti yang jenaka. Tapi dalam diskursus politik, sebenarnya ia menunjukkan adanya indikasi alienasi politik. Apa itu?
Mengenal alienasi politik
Dosen komunikasi politik FISIP UI Keyza Widiatmika dalam pemaparannya, mengartikan alienasi politik sebagai perasaan terasing, kecewa, maupun putus asa terhadap sistem politik.
Fenomena ini, salah satunya, karena terabaikannya partisipasi (keterlibatan) rakyat dalam proses pembuatan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup mereka ke depannya.
Misalnya, dalam konteks Indonesia, ini terlihat dari banyaknya undang-undang yang sebenarnya ramai penolakan tapi legislatif tetap mengesahkan. Seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga terbaru masih tarik ulurnya Omnibus Law UU Kesehatan.
Selain itu, menurut Keyza, alienasi politik juga bisa terjadi saat publik mulai merasa pemerintah tidak lagi mewakili kepentingan mereka dan tidak berfungsi secara efektif.
Ini terlihat dari mulai gamblangnya politik dinasti, yang mana politisi berbondong menaruh sanak-famili mereka di posisi-posisi penting pemerintahan. Hal ini yang akhirnya bikin publik merasa politisi hanya mewakili kepentingan pribadi mereka dan keluarganya saja, bukan rakyat.
Pun demikian, Keyza menganggap bahwa alienasi politik adalah fenomena lumrah, niscaya, dan harusnya tidak mengherankan. Sebab, menurut hasil survei Strategic and International Studies (CSIS), minat anak muda Indonesia terhadap politik memang rendah.
Dampak alienasi politik dan pencalonan Aldi Taher
Masih menjadi tanda tanya, apakah Aldi Taher bakal benar-benar mampu melenggang ke kontestasi atau sekadar cari sensasi. Tapi, seandainya ia berhasil memenuhi syarat, lolos sebagai caleg, apalagi terpilih, menurut Keyzia ini akan mendatangkan konsekuensi serius.
Pertama, kata dia, ini bisa mengalihkan isu yang sebenarnya lebih krusial. Misalnya saja, dari wawancara singkat dan konyolnya bersama salah satu stasiun TV itu, nama Aldi Taher mampu trending dan menutup isu esensial lain.
Bandingkan saja, sejak Aldi Taher muncul di TV, interest over time “Aldi Taher”, “Partai Perindo”, dan lagu “Yellow”—yang Aldi nyanyikan—menunjukkan grafik naik di pencarian Google. Sementara kasus penganiayaan Mario Dandy terhadap David Ozora, yang sebenarnya harus dikawal tuntas, alami penurunan.
“Padahal, saat itu warganet geram akibat beredarnya video Mario memasang borgol kabel ties sendiri,” kata Keyzia, mengutip laman resmi fisip.ui.ac.id, Selasa (13/6/2023).
“Tapi dibandingkan dengan penilaian masyarakat terhadap Mario yang seolah mendapat perlakuan istimewa dari pihak kepolisian, Aldi Taher mampu mendominasi trending,” sambungnya.
Kedua, jika Aldi terpilih, bukan tidak mungkin dia akan melakukan buck passing. Menurut Keyzia, dalam politik hal ini merujuk pada “pengalihan tanggung jawab atas konsekuensi keputusan kebijakan dan menyalahkan orang atau lembaga lain sebagai gantinya”.
Seperti yang sudah kita lihat dalam potongan video yang beredar, Aldi Taher secara terang-terangan (meskipun satir) meminta agar masyarakat tidak memilihnya. Ini ia sampaikan secara berulang-ulang.
“Apabila masyarakat yang dalam keadaan sadarnya memilih orang yang tidak ingin dipilih, maka sebaiknya jangan menaruh harapan besar untuk sebuah pertanggungjawaban,” tegas Keyzia.
Sementara yang ketiga, lanjut Keyzia, bisa terjadi ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Menurutnya, ini bisa jadi potensi bahaya paling besar.
“Keputusasaan publik terhadap lembaga negara dan politikus dapat memicu konflik sosial, ketegangan politik, hingga aksi massa. Hal itu jelas akan menghambat stabilitas negara,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi