MOJOK.CO – Apa yang kita makan bisa sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim. Sistem pangan yang destruktif bisa jadi pemicu kerusakan alam.
Pernahkah kamu menyangka, kalau perubahan iklim ternyata bisa disebabkan oleh makanan yang kamu konsumsi sehari-sehari?
Pertanyaan ini diajukan Deputi Riset dan Advokasi Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia, Gusti Nur Asla Shabia.
Peneliti isu iklim dan pangan tersebut memaparkan bahwa memang, sistem pangan telah berkontribusi besar dalam terjadinya krisis iklim pada hari ini.
“Mungkin kalau kita berbicara soal krisis iklim, teman-teman akan membayangkan sesuatu yang jauh dari kita,” papar Shabia, dalam orasinya di acara Sarasehan Bijak Memilih di Fisipol UGM, Rabu (31/5/2023).
“Padahal, yang dekat dengan kita; makanan yang kita konsumsi sehari-hari, sebut saja mie instan, punya kontribusi besar dalam mempercepat krisis iklim,” sambungnya.
Sistem pangan berkontribusi pada perubahan iklim
Ditemui Mojok seusai acara, Shabia memaparkan bagaimana makanan berpengaruh pada perubahan iklim. Menurut dia, dalam sistem pangan terdapat proses struktural yang amat panjang dan saling terhubung. Mulai tahap produksi, distribusi, pemrosesan, konsumsi, hingga berakhir jadi sisa-sisa makanan (sampah).
Pada tahap pra-produksi, terdapat kegiatan deforestasi—sekaligus menjadi kontributor terbesar dalam sistem pangan. Deforestasi sendiri merupakan kegiatan menebang pohon atau penggundulan hutan sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan.
Dalam sistem pangan, deforestasi dialihfungsikan untuk kegiatan pertanian.
Menurut Shabia, kegiatan ini diperkirakan telah berkontribusi atas 15-18 persen emisi gas rumah kaca (GHG).
“Jadi untuk membangun sebuah kegiatan pertanian industrial itu, kita butuh lahan yang sangat luas dan seringkali menebang pohon,” ujarnya.
Ini baru dalam kegiatan pembukaan lahan. Pada tahap berikutnya, seperti pertanian yang menggunakan pupuk pestisida kimia, misalnya, telah menyumbang sekitar 11-15 persen emisi GHG.
Selanjutnya, hasil pertanian ini harus ditransportasikan ke daerah-daerah atau bahkan lintas negara. Ini belum termasuk proses lain seperti pengolahan dan pengemasan, hingga misalnya menjadi mie instan yang kerap kita konsumsi.
Lebih lanjut, proses panjang ini berakhir menjadi sisa-sisa makanan. Fyi, sampah sisa makanan ini bahkan masih berkontribusi sebesar 3-4 persen dalam emisi GHG.
“Pangan direduksi sebagai penyumbang emisi dari sisi produksi saja, yang umumnya adalah pertanian. Padahal sistem pangan bukan hanya mengenai produksi, tapi juga bagaimana kita mendistribusikannya, mengonsumsinya, hingga membuang limbahnya,” tukasnya.
Tapi malah dilanggengkan negara
Lebih lanjut, Shabia menuturkan bahwa negara menjadi aktor yang harus bertanggungjawab atas terjadi krisis iklim.
Sebab, pemerintah yang memiliki modal dan kuasa, malah memelihara sistem yang destruktif ini. Misalnya, salah satunya melalui kebijakan food estate yang ia katakan salah arah.
“Niatnya kan food estate itu dibangun untuk mengatasi krisis pangan, tetapi nyatanya ia malah menyebabkan deforestasi 600 hektar di Kalimantan Tengah,” kata Shabia.
Selain menerapkan proyek-proyek yang kontraproduktif, pemerintah juga malah memastikan agar proyek-proyek tersebut mendapat karpet merah. Salah satunya dengan melolosnya UU Cipta Kerja.
Kata Shabia, substansi dari aturan tersebut justru mempermudah izin-izin deforestasi dan kegiatan ekstraktif yang merusak lingkungan lainnya. Bahkan, aturan tersebut juga melanggengkan impunitas dan memberi kekebalan hukum bagi aktor-aktor perusak lingkungan.
“Jadi, ini makin melanggengkan sistem pangan yang merusak tadi, karena negara malah memberi keleluasaan kepada para aktornya melalui aturan ini,” tegasnya.
Shabia juga menyayangkan karena selain permisif terhadap perusak lingkungan, pemerintah gemar menarasikan “solusi-solusi palsu” untuk mencegah perubahan iklim. Salah satunya, ia menyontohkan, melalui gerakan menanam mangrove.
Menurut sejumlah penelitian, benar mangrove punya kontribusi dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, itu skalanya sangat kecil dan akan jadi percuma jika kegiatan perusakan lingkungan tetap dilakukan di mana-mana.
“Tak cukup sampai di situ, karena yang dibutuhkan adalah solusi berbasis HAM di mana seluruh masyarakat dilibatkan secara adil dan partisipatif,” kata Shabia.
“Perlu juga memastikan perlindungan atas produsen pangan berskala kecil dan masyarakat adat, misalnya FPIC [free, prior and informed consent] yang menjamin kalau ada korporasi yang melanggar hak masyarakat adat, ia bisa ditindak,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Benarkah Keluarga Berencana Jadi Solusi dari Perubahan Iklim?
Cek berita dan artikel lainnya di Google News