MOJOK.CO – Angka kelahiran anak di Indonesia terus mengalami penurunan dalam tiga dekade terakhir. Benarkah ini mengindikasikan fenomena resesi seks di Indonesia?
Menurut data World Population Prospects, pada tahun 1990 angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) Indonesia masih berada di level 3,10. Artinya, setiap satu orang perempuan rata-rata melahirkan tiga anak sepanjang masa reproduksinya.
Kemudian, dalam tiga dekade selanjutnya, angka ini terus merosot. Bahkan, TFR bergerak turun hingga mencapai 2,15 pada 2022 lalu. Secara kumulatif, angka kelahiran Indonesia sudah berkurang 30,64 persen selama periode 1990-2022.
Lebih lanjut, data proyeksi PBB itu juga mencatat bahwa angka TFR di Indonesia sejak 1950-2023 terus menunjukkan penurunan tiap tahunnya. Misalnya saja, sejak 2020 angka kelahiran konsisten turun 0,8 persen tiap tahunnya.
Sudah diprediksi
Meski demikian, sebenarnya kemerosotan ini sudah diprediksi sejak 2016 lalu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) bersama Badan Pusat Statistik (BPS), kala itu telah memproyeksikan bahwa bakal ada penurunan angka kelahiran signifikan pada 2023.
Berdasarkan data gabungan Kemenpppa dan BPS tersebut, 32,24 persen atau 83,4 juta jiwa penduduk Indonesia pada tahun 2016 adalah anak-anak. Namun, proporsi ini tidak akan mengalami perubahan signifikan pada tahun-tahun berikutnya.
Menurut data Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia itu, secara umum pada 2016 hingga 2022 angka kelahiran ada sedikit peningkatan. Namun, ia akan mengalami penurunan pada 2023, dari yang berjumlah 84.323.000 menjadi 84.032.000.
“Hal ini dapat diasumsikan sebagai akibat dari mulai menurunnya angka Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia pada masa-masa yang akan datang,” tulis laporan tersebut, dikutip dari laman kemenpppa.go.id, Kamis (16/2/2023).
Menurut lembaga tersebut, ada banyak hal yang mempengaruhi angka TFR menjadi turun. Salah satunya adalah mulai meningkatnya concern masyarakat Indonesia terhadap pentingnya kualitas anak di dalam pendidikan dan kesehatan.
“Ada juga karena tingginya kesadaran akan kesetaraan gender, sehingga konsep banyak anak sudah mulai ditinggalkan,” sambungnya.
Akibat resesi seks?
Sebelumnya, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengakui bahwa Indonesia punya potensi mengalami resesi seks. Hal ini mengingat di sejumlah kota atau kabupaten di Indonesia, banyak yang tidak mengalami kelahiran baru alias zero growth.
Gaya hidup, menurut Hasto, ia duga menjadi salah satu pemicu dari peristiwa resesi seks. Tak hanya itu, banyak perempuan atau laki-laki yang menunda pernikahan karena menempuh studi atau karier.
Resesi seks (sex recession) sendiri pertama kali pertama dicetuskan oleh peneliti dan penulis Kate Julian dalam tulisannya untuk The Atlantic pada 2018. Istilah ini merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian surut.
Menurut Kate, salah satu ancaman yang timbul akibat resesi seks adalah penurunan tingkat kesuburan dan angka kelahiran di suatu negara. Bahkan, penurunan ini sudah dialami sejumlah negara, seperti Korea Selatan, China, Jepang, dan Thailand.
Bahkan, pada akhir 2022 lalu, TFR Korea Selatan mencapai rekor terendah yaitu 0,79. Banyak warga Korsel yang menunda atau memilih tidak mempunyai anak di tengah perlambatan ekonomi dan tingginya harga rumah. Sehingga, pemerintah semakin gencar memberikan insentif agar pasangan muda termotivasi memiliki keturunan.
Kendati menyebut “ada potensi resesi seks di Indonesia”, Hasto tetap menegaskan bahwa penurunan angka kelahiran ini sama sekali tidak mengindikasikan bahwa saat ini Indonesia mengalami resesi seks, sebagaimana di Korsel, Jepang, maupun Thailand.
“Di Indonesia, dalam satu tahun yang lahir hampir 4,8 juta (anak). Jadi, jauh dari resesi seks,” tegasnya kepada Detik.
“Orang mau berkeluarga di Indonesia cenderung untuk prokreasi atau mendapatkan keturunan, itu hampir 99 persen. Coba tanyakan ke pasangan usia subur atau orang yang baru menikah, tujuannya pasti prokreasi,” kata Hasto.