MOJOK.CO – Lulusan kampus ternama sering kalah bersaing dengan lulusan kampus “nggak jelas”. Kekalahan itu sudah terlihat ketika wawancara kerja dan ditanya mau minta gaji berapa.
Sahabat Celenger yang sudah nabung sejak kecil tapi uang tak kunjung menggunung,
Wawancara kerja bisa sangat menyiksa karena unsur subjektivitasnya tinggi. User bisa langsung memutuskan menolak hanya karena tampang kita seperti mantannya. Hih… Nyebelin! Apalagi kalau sudah sampai pertanyaan seputar penghasilan. Padahal, wawancara kerja tidak selalu berkaitan dengan benar dan salah, tapi juga soal hati. Maksudnya hati-hati….
Namun akui saja, sekolah, sampai saat ini, diyakini sebagai jalan terbaik yang dipilih manusia untuk mendapatkan pekerjaan. Ada pula yang menjawab sekolah adalah jalan mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, untuk mengisi waktu, bersosialisasi, menambah jaringan, dan bahkan agar ketemu jodoh. Namun, muaranya sudah hampir pasti, itu semua dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan setelah lulus.
Tidak heran kalau sejak masih kanak-kanak sudah pada memproklamasikan cita-citanya dalam wujud profesi yang menghasilkan uang. Adakah dari ragam profesi yang disebutkan anak, mulai dari jadi polisi hingga astronot, bukan merupakan profesi yang mendapatkan uang?
“Oh, ya jelas ada, Om! Keponakan saya tuh ingin jadi super hero yang mempertahankan bumi dari serangan alien yang mengancam kelangsungan spesies manusia. Mulia sekali bukan?”
Itu jelas jawaban orang yang keracunan film, baik keponakan maupun omnya. Tidak bisa secara jelas membedakan mana keinginan untuk menjadi pemeran super hero atau benar-benar menjadi orang yang ingin bertarung dengan alien yang ingin memusnahkan manusia. Dalam benaknya belum terpikir apa yang lebih merisaukan para super hero setelah mereka menikah kelak.
“Mas Superman, ini beras tinggal untuk sarapan besok pagi. Mana parfum juga sudah tinggal sekali semprot. Belum setrikaan yang sudah nggak panas lagi. Maaf, makanya seragam terbangmu kurang alus. Izinkan mulai besok aku untuk bekerja lagi ya?” Superman, yang sedang terbang menuju sarang musuh, tiba-tiba langsung lemas setelah membaca Whatsapp seperti itu.
Realita seperti itu yang tidak dengan detail ditampilkan Hollywood. Seolah-olah, pahlawan super adalah manusia yang sudah selesai dengan dirinya; tidak butuh wawancara kerja lagi, tidak membutuhkan penghasilan, tidak membutuhkan asuransi kesehatan, tidak ingin membeli kendaraan sebagai penunjang aktivitas, dan hal-hal lain yang sifatnya materi.
Wajar sebenarnya kalau “cita-cita” hanya usaha untuk menitipkan idealisme pada satu jenis pekerjaan yang sebenarnya sangat berkaitan dengan menghasilkan uang. Sejak awal, mengenalkan cita-cita pada anak, secara metodologi sudah benar. Paling penting menonjolkan pada karya, bagaimana mereka bisa bermanfaat untuk orang lain. Bukan profesi mana saja yang menghasilkan banyak uang.
Sekarang tinggal kita lihat saja bagaimana desain pendidikan juga budaya orang Indonesia dalam mempersiapkan diri sebelum masuk ke kelompok usia produktif, juga pasar tenaga kerja. Umumnya, sebagian dari kita hanya memahami bahwa bekerja itu setelah kita lulus sekolah.
Oleh sebab itu, pikiran kita menjadi terlalu sederhana ketika melihat orang lain bisa sekolah atau kuliah sambil bekerja. Kebanyakan dari kita memandang mereka sebagai orang yang mandiri, ulet, dan memerlukan tambahan uang. Tidak lebih.
Kita melupakan hal yang teramat penting. Bekerja memerlukan latihan secara bertahap dan terus menerus. Maka tidak heran anak-anak muda di kota besar cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tumpah ruah dibandingkan dari kota kecil. Mereka sudah lebih awal mempersiapkan diri terjun ke dunia kerja.
Saya pribadi dulu tidak berproses seperti itu, tetapi menjadi saksi bagaimana ketangguhan teman dari luar daerah yang bekerja paruh waktu. Merasa nyaman tinggal bersama orang tua, dan juga merasa kebutuhan sudah tercukupi sebenarnya keliru. Saat masuk kelompok usia produktif, sementara masih ada orang tua yang membiayai, sebenarnya merupakan media belajar bekerja yang ideal.
Kita kerap menyorot kehidupan anak muda di barat hanya dari sisi kehidupan liarnya saja. Seks bebas misalnya, atau saat banyak dari mereka yang memutuskan keluar dari rumah begitu sudah kuliah. Ketika melihat keadaan seperti itu, kita juga kerap terjebak dalam simplifikasi yang tidak perlu.
Bekerja apa pun di sana itu enak; cuci piring pun akan dibayar mahal. Di sini, di negara +62, gaji dari cuci piring mana cukup untuk menambal keperluan mahasiswa?
Padahal, nilai moralnya bukan jenis pekerjaan, maupun kecukupan finansialnya. Nilai moralnya terletak pada bagaimana orang mendapatkan manfaat dari pengalamannya bekerja, mulai dari menghargai uang, meningkatkan kemampuan mengatur waktu, memperbaiki komunikasi dengan orang, dan usaha untuk membangun karier. Itu yang tidak didapatkan di bangku kuliah.
Maka tidak perlu heran kalau anak-anak muda dari universitas bergengsi di daerah, begitu masuk pasar tenaga kerja di Jakarta, mudah dilibas anak-anak muda dari universitas “nggak jelas statusnya”. Ya, katakan penyebutan itu berlebihan. Namun, profil sukses di Jakarta lebih ditentukan oleh jam terbang yang sudah tinggi jauh sebelum mereka lulus.
Seberapa spesial kamu ketika wawancara kerja?
Benar bahwa lulusan perguruan tinggi negeri jauh unggul kalau kita membicarakan dunia Ke-PNS-an. Rasanya memang tidak banyak lulusan swasta yang menjadi PNS, telanjur terkapling lulusan perguruan tinggi negeri (PTN). Namun, untuk urusan percaya diri dan kemampuan memvisualkan mimpi-mimpinya, anak PTN harus banyak belajar dari “anak swasta”.
Berangkat dari pengalaman, mereka lebih paham cara menghargai dirinya saat wawancara kerja. Sama-sama menjadi sales asuransi, misalnya, saat wawancara kerja mereka akan tahu berapa nilai yang disebutkan saat mendapatkan pertanyaan, “Anda mau gaji berapa?”
“Saat bekerja di PT X, saya mendapatkan gaji 15 juta di luar allowance dan bonus. Terakhir di PT Y, gaji saya sudah 20 juta. Saat ini yang lebih saya butuhkan, selain gaji 30 juta, mendapat COP, program kepemilikan mobil.”
Tangkas, percaya diri, riwayat pekerjaan jelas dapat ditelusur, dan pandai bernegosiasi ketika wawancara kerja. Padahal, disebutkan di lowongan kalau pekerjaan itu untuk fresh graduate dan S1 semua jurusan. Kualifikasi yang sepintas lalu dapat dipenuhi oleh semua orang.
Bandingkan dengan yang belum punya pengalaman, walaupun berasal dari universitas bergengsi dan tahu berapa gaji senior-seniornya yang telah sukses. Namun, saat menghadapi wawancara kerja dan ditanyakan mau minta gaji berapa, jawabannya akan tertatih-tatih dan sering harus bertanya balik.
“Boleh tahu standar gaji fresh graduate di sini, Bu? Pada dasarnya saya siap digaji sesuai kebijakan perusahaan. Siap ditempatkan di mana pun, dan siap memberikan kontribusi penting pada perusahaan.”
Untuk jawaban “ngambang kebingung-bingungan” ketika wawancara kerja seperti itu, kemungkinannya hanya dua. Pertama, Langsung ditolak. Kedua, diberi masa percobaan karena dipandang punya riwayat pendidikan bagus, dipandang secara psikologi memiliki potensi untuk jadi aset penting perusahaan, dan berasal dari universitas yang sama dengan usernya. Ya begitulah, keadilan itu memang hanya milik Tuhan. Hehehe…
Pernah juga ada satu kejadian di mana si pencari kerja yang berasal dari PTN ternama saat ditanya mau minta gaji berapa, jawabannya “Sebesar UMR saja.” Sementara kebijakan di perusahaan tersebut gaji untuk fresh graduate sebesar dua kali UMR. Sebagai orang Sunda, dia sepertinya terpukau pada satu tagline minuman yang legendaris, “Apa pun wawancaranya, jawabannya teh UMR.”
Ini belum kalau diberlakukan zonasi di dunia kerja. Semua lowongan di Jakarta hanya boleh diisi penduduk DKI, termasuk gubernur yaaa. Kalian yang di daerah akan semakin menangysss.