MOJOK.CO – Ngapain sih agenda pertemuan WB-IMF di Bali itu? Benarkah forum itu menguntungkan Indonesia?
Bali, “rumah tinggal para dewa” sekaligus salah satu tempat teraman di negeri ini dalam sebulan terakhir menjadi tempat perhelatan lembaga-lembaga internasional dalam menggelar agendanya. Kalau september 2018 ada Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT), Satu forum yang “memaksakan diri” untuk ngomongin tembakau dalam kaitannya dengan kesehatan.
Sementara Oktober 2018, hari-hari ini, menjadi ajang Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (World Bank-IMF Annual Meeting). Ya, Bali kembali menjadi tempat yang disorot seluruh dunia. Forum bergengsi yang mempertemukan otoritas moneter seluruh dunia.
Jangan tanya kenapa di Bali, ya!
Itu sih sama saja bertanya kepada kecebong cara menyelam tanpa takut tenggelam dan atau bertanya kepada kampret cara bergelantungan tanpa takut jatuh hingga gegar otak. Bali, sejauh ini menjadi tempat paling stabil di negeri ini. Tidak ada ceritanya para penolak agenda-agenda tersembunyi yang ingin menggerogoti Indonesia datang “secara garang” seperti laiknya Adian Napitupulu dengan pasukan Forum Kota-nya di masa muda yang begitu gagah menentang agenda neoliberalisme.
Untung dong Indonesia dengan penyelenggaraan tersebut?
Ya, sektor pariwisata pasti bergerak positif. Tidak mungkin kan mereka hanya rapat selama di Bali? Mereka harus menukar dollarnya ke rupiah untuk biaya menginap dan plesir selama acara berlangsung. Apalagi kalau mereka datang dengan membawa keluarga, dua agenda langsung dapat dieksekusi, Rapat dan Piknik. Itu kalau kita hanya sekedar sekilas saja melihat manfaat di permukaan.
Sayangnya, kalau bicara kepentingan yang jauh lebih besar, kita sering gagap dengan agenda di balik forum ropat rapet tersebut. Dalam kasus APACT tempo hari, forum tersebut terus melanjutkan usahanya untuk merangsek dan mempersempit industri hasil kretek. Bagaimana dengan pertemuan WB-IMF?
Awal 1998, beberapa bulan sebelum kerusuhan rasial paling terkutuk yang pernah ada, dimana Jakarta menjadi kota paling bedebah, tanpa hukum, dan menjadi neraka dunia untuk banyak penduduk tidak bersalah. Ada satu fragmen sejarah, yang hingga kini selalu ditayangkan ulang betapa negeri ini pernah dipaksa takluk dan tunduk oleh IMF. Satu lembaga internasional yang dikemudian hari terbukti menjadi penghancur ekonomi Indonesia alih-alih menjadi donor yang menyehatkan perekonomian Indonesia.
Foto Michael Camdessus, dalam lagak angkuh sambil berdiri sedekap mengawasi Soeharto yang menandatangani dokumen syarat-syarat pinjaman yang diterapkan oleh IMF menjadi prasasti terjajahnya negeri ini di abad modern. Banyak orang yang tidak suka dengan penguasa orde baru tersebut, tetap saja terperangah melihat IMF memperlakukan negeri ini. Tak kurang Mahathir Mohamad, kolega Soeharto yang sama lamanya berkuasa di Malaysia turut menyatakan ketidaksukaan pada gaya Michael Camdessus yang memang sungguh jancuk itu.
“Badai krisis yang melanda Asia Tenggara memang didesain untuk menjatuhkan Soeharto. Para pemimpin negara ASEAN mendudukkan, Pak Harto sebagai orang tua. Kejatuhan Pak Harto merupakan kerugian besar di Asia Tenggara karena beliau sangat dihormati oleh para pemimpin ASEAN lainnya”, kata Mahathir 20 tahun silam.
Ya, sah-sah saja Mahathir mengatakan demikian, namanya juga teman dekat yang sehalauan.
Tidak beda dengan sebagian dari kita yang hari-hari ini melihat dan membenarkan pernyataan pemerintah yang menjadi penyelenggara pertemuan tahunan kali ini. Pertama, mempunyai keyakinan tinggi posisi Indonesia dianggap penting. Kedua, kalau pun forum tersebut dianggap nggak penting dan merugikan, salahkan saja SBY. Presiden terdahulu yang menggagas pertemuan tersebut.
Cara mudah mengendus IMF atau World Bank, sebenarnya dapat melihat kembali apa yang pernah diungkapkan Joseph Stiglitz juga Paul Krugman. Ekonom asli Amerika, negeri dimana IMF dan WB bermarkas. Itu untuk menjawab pertanyaan yang terus menyala di kepala kita.
“Apakah IMF-WB menjadi sarang kepentingan para kreditor dalam menjalankan rencana globalnya dan ingkar terhadap janji saat pembentukan, menjamin stabilitas ekonomi global dan menyediakan dana pinjaman bagi negara-negara yang mengalami krisis agar dapat memulihkan dan memperkuat kembali sistem keuangannya?”
Menurut Stiglitz, ekonom peraih Nobel Ekonomi 2001, negara yang meminta bantuan IMF tak ubahnya seperti pasien yang memasuki rumah sakit alih-alih sehat malah jadi sekarat. Indonesia sudah membuktikan! Setelah mendapat “satu obat untuk sejuta penyakit”, ekonomi Indonesia justru semakin memburuk.
Erick Toussaint, orang yang getol menolak penghapusan utang untuk dunia ketiga bahkan mengatakan sejak pendiriannya IMF kerap menyokong para diktator asal sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat. Walaupun menyengsarakan rakyat? Ya! Bahkan utangannya kepada Belanda pernah digunakan sebagian untuk agresi militer di Indonesia. Ironisnya, Indonesia turut menanggung pembayaran utang tersebut sesuai amanat Konferensi Meja Bundar.
Tidak ada contoh negara yang berhasil ditangani dengan hasil memuaskan oleh IMF. Lembaga tersebut terbukti tidak pernah dapat mengatasi problem mendasar penyebab krisis. Argentina, Venezuela, dan Indonesia di waktu lalu merupakan sebagian negara yang justru krisisnya semakin dalam dan lebih lama. Bandingkan dengan negara tetangga kita yang juga terhantam krisis moneter tapi justru selamat; Malaysia tegas menolak campur tangan IMF, Thailand tegas hanya mengambil waktu satu tahun dari lima tahun yang direncanakan.
Satu obat untuk sejuta penyakit?
Indonesia dipaksa untuk menaikkan suku bunga hingga 70% agar tidak terjadi pelarian modal ke luar negeri. Akibatnya? Sektor riil babak belur, orang memilih simpan deposito daripada untuk modal usaha atau konsumsi. Saat hendak menerapkan kebijakan kurs tetap, IMF menghalanginya dengan ancaman memblokir bantuan dan boikot. Mau keluhannya perut sakit, jantung sakit, dan kepala sakit obatnya hanya satu, amputasi!
Dimana ekonom Indonesia saat itu?
Para arsitek ekonomi orde baru berbaris rapi di belakang Soeharto sebagai bentuk dukungan terhadap keputusan mematikan tersebut. Indonesia membiarkan IMF berjalan melenggang menjalankan funsinya memimpin liberalisasi ekonomi. Kredonya selalu masuk akal bagi pemikiran awam; cabut subsidi, naikkan pajak, naikkan suku bunga, dan jalankan privatisasi. Pada saat situasi politik stabil dan pertumbuhan ekonomi tengah baik atau malah meroket, saran tersebut dapat dijalankan dengan aman dan penuh tanggung jawab. Tetapi tidak bagi negeri yang tengah sakit.
Krugman, seorang ekonom peraih Nobel Ekonomi 2008, (lagi-lagi) dari Amerika Serikat, yang kebetulan bukunya juga menjadi pegangan para ekonom neolib, eh. Terkadang juga memberikan kecaman terhadap IMF. Menurutnya, lembaga tersebut sudah memberikan syaratnya menyiksa, begitu dipenuhi, saat cairnya pun tersendat-sendat. Krugman melihat bahwa IMF sebenarnya juga mengalami keterbatasan dana
Siapa yang untung saat-saat IMF dimintai bantuan?
Tangan-tangan oligarki yang bersembunyi dibalik para kreditor dengan berbagai kepentingan, dari mulai usaha menguasai pasar hingga sumberdaya alam.
Dapatkah IMF ditengarai sebagai kaki tangan negara maju?
Secara terbuka tidak dapat terbaca sambil lalu, tetapi dapat kita raba dari jumlah hak suara yang bisa jadi mencerminkan kepentingannya. AS menjadi negara dengan jumlah suara terbesar di IMF (16,52) berturut-turut diikuti Jepang (6,15%), Cina (6,09%), Jerman (5,32%), Prancis (4,03%), Inggris (4,03%), Italia (3,02%), India (2,64%), Rusia (2,59%), dan juga Arab Saudi (2,02%).
Celengers yang cerdas walau sering kesulitan menyisihkan pendapatan untuk ditabung, apakah kalian familiar dengan perkataan orang seperti Christine Lagarde, direktur pelaksana IMF yang beberapa waktu lalu memberikan pujian habis-habisan pada Indonesia?
“Presiden Jokowi memberi contoh yang bagus kepada negara-negara berkembang; sederhana, tidak ada kepentingan bisnis dengan pemerintah, fokus pada pekerjaannya dan memiliki team work yang bagus. Belum pernah sepanjang karir saya melihat ada persiapan penyelenggaraan begini besar”
Celakanya Bro dan Sis Celengers, Lagarde menyanjung team work hebat saat pemerintah baru saja menganulir kenaikan bbm premium yang diumumkan menteri ESDM. Juga di waktu rupiah kita berada di posisi terendah sepanjang sejarah. Adakah kata yang lebih pantas selain “licik dan berbahaya”?
Dalam takaran ringan, itu sebenarnya persis sebagaimana cara pandang telemarketing bank terhadap kita. Kalian akan dihubungi dan dianggap penting oleh mereka atas 2 perkara: punya uang cukup dikelola bank dan layak dibujuk untuk diutangi. Berikut ini ilustrasi percakapan saja, pada awalnya tanya kabar, meminta waktu sebentar, memuji, dan akhirnya menyuruh kita utang.
“Apa kabar, Om? Kami sengaja hanya menghubungi nasabah yang memang layak. Saya tau, Om punya rekening gendut yang menyesuaikan dengan berat badannya. Itu juga yang menjadi alasan mengapa kami menghubungi, Om. Fasilitas pinjaman langsung cair berbunga sangat rendah ini dapat dimanfaatkan agar tidak mengganggu cash flow. Lumayan lho, dapat untuk beli Vespa… ”