MOJOK.CO – Tronjal-tronjol berarti ‘terabas-terobos’ dalam bahasa Jawa. Nah, sudahkah kamu mempelajari aturan pengulangan kata agar tak bertindak tronjal-tronjol seenaknya?
Kata ‘tronjal-tronjol’ kini sedang naik daun berkat pasangan calon presiden dan wakil presiden fiktif kesukaan kita semua: Nurhadi-Aldo. Namun, pernahkah kamu bertanya-tanya, apa sih sebenarnya makna dari tronjal-tronjol itu??? Apakah ia ada hubungannya dengan lagu “Jol” milik Doel Sumbang???
Penggunaan kata ‘tronjal-tronjol’ menarik perhatian saya untuk mengingat pelajaran bahasa bertahun-tahun yang lalu. Baik dalam kelas Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa, materi soal pengulangan kata jelas diberikan. Pengulangan kata, pada dasarnya, ditandai dengan penggunaan tanda hubung (-), yang sama-sama kita tahu bahwa istilah ‘tronjal-tronjol’ telah memenuhinya.
Lalu, apakah pengulangan kata dalam bahasa Indonesia sama dengan bahasa Jawa?
Saya ingat betul, guru bahasa Jawa menyebut istilah dwilingga (lingga: bentuk dasar), atau pengulangan kata dalam bahasa Indonesia. Penting diingat, bentuk ini berbeda dengan bentuk ulang, seperti pada kata laba-laba, yang memang untuk membentuk maknanya harus dalam bentuk berulang.
Setidaknya, ada 6 bentuk pengulangan kata yang kerap kita temui dalam bahasa Indonesia. Dari paparan di bawah ini, coba tebak: di manakah seharusnya posisi kata tronjal-tronjol berada?
Pertama, pengulangan kata sempurna atau dwilingga. Kata-kata akan diulang secara sempurna tanpa perubahan bentuk, misalnya: anak-anak, pagi-pagi pasti happy, mobil-mobil.
Kedua, pengulangan kata sebagian atau dwipurwa. Pada hal ini, pengulangan terjadi pada suku kata pertama dengan pelemahan vokal, misalnya: dedaunan, pepohonan, lelaki, tetamu.
Ketiga, pengulangan bagian belakang kata atau dwiwasana. Seperti yang telah disebutkan, dalam bentuk ini, pengulangan kata hanya terjadi di separuh belakang kata, misalnya: perlahan-lahan, sekali-kali, pertama-tama.
Keempat, pengulangan kata berimbuhan. Reduplikasi yang terjadi, dalam hal ini, adalah pada lingga pertama maupun lingga kedua, misalnya: bermain-main, tarik-menarik, sapa-menyapa.
Kelima, pengulangan kata yang bukan hanya terjadi dua kali, melainkan tiga, atau disebut dengan nama trilingga. Ia merupakan fenomena pengulangan onomatope dengan variasi fonem.
Eh, tunggu—onomatope itu apa???
Dalam KBBI, onomatope adalah kata tiruan bunyi, misalnya “kokok” yang merupakan tiruan bunyi ayam. Sampai sini, sudah paham, kan, Maemunah? Aziz? Syaiful? Oke, lanjut~
Contoh dari bentuk trilingga itu sendiri adalah: dag-dig-dug duer Daia, cas-cis-cus, dar-der-dor.
Keenam, pengulangan kata berubah bunyi atau dwilingga salin suara. Jenis yang satu ini merupakan pengulangan dengan variasi fonem, misalnya: mondar-mandir, pontang-panting, bolak-balik, tindak-tanduk, hingga…
…tronjal-tronjol!!! Ya, akhirnya kita menemukan jenis kata ulang yang dipakai Nurhadi-Aldo ini!!!
Selain bentuk pengulangan kata di atas, ada pula pengulangan kata berubah konsonan. Hampir sama prinsipnya dengan pengulangan kata perubahan bunyi vokal, bentuk yang satu ini mengalami perubahan tidak sempurna, misalnya: sayur mayur, cerai-berai, ramah-tamah.
Lalu, pertanyaan selanjutnya: kalau ada gabungan kata yang mau diulang, apakah kita harus mengulang gabungan kata itu secara utuh???
Mari kita berandai-andai sejenak. Bayangkan kita melihat sebuah rak buku yang menarik di toko perabotan (rak buku merupakan bentuk gabungan kata). Beberapa saat kemudian, kita melihat sebuah rak buku lagi yang tak kalah bagusnya. Karena sedang punya uang banyak, kita pun memutuskan untuk membeli kedua rak buku tadi. Nah, manakah yang sekiranya bisa kita ucapkan ke mbak-mbak penjaga toko tadi?
a. “Mbak, saya mau beli rak buku-rak buku itu, ya.”
b. “Mbak, saya mau beli rak-rak buku itu, ya.”
Usut punya usut (nggak tahu, deh, siapa yang ngusut), bentuk kalimat kedua (b) adalah yang paling tepat. Prinsipnya, bentuk ulang gabungan kata harus ditulis dengan mengulang unsur pertama saja. Contoh lainnya: mantan-mantan pacar (cieeee!), bus-bus patas, surat-surat berharga.
Terakhir, pertanyaan berikutnya: apakah pengulangan kata di atas selalu ditulis dengan kapital dalam judul?
Jawabannya ternyata sederhana: tidak.
Dari keseluruhan bentuk pengulangan kata yang kita baca di atas—termasuk tronjal-tronjol tadi—hanya satu saja bentuk pengulangan kata yang berhak diberi kapital di setiap unsur, yaitu pada bentuk dwilingga alias pengulangan kata sempurna. Pada bentuk yang lain, huruf kapital hanya digunakan pada huruf pertama unsur pertama.
Sebagai contoh, misalnya untuk proposalmu melamar kekasih idaman, kamu bisa memberi judul berikut:
a. Anak-Anak adalah Prioritas Kesejahteraan dalam Pernikahan Kita Kelak
b. Sayang, Aku Tidak Bermain-main dengan Pilihan Hati
Tapi, by the way, orang macam apa, sih, yang melamar kekasih pakai proposal dengan judul cheesy begitu?