MOJOK.CO – Semua orang tua toh punya nama, jadi mestinya mereka sudah tahu nama ini atau nama itu tidak begitu bagus buat masa depan. Nyatanya, tiap tahun tetap saja ada orang yang bikin nama bayi aneh.
Adalah berhak dan reliabel ketika seorang perempuan bernama Prima menulis artikel ini. Sekalian saya ingin menyampaikan unek-unek saya akibat nama diri yang identik laki-laki itu. Momennya juga pas karena netizen tengah larut dalam diskusi nama anak gara-gara nama bayi artis Fiersa Besari digubah seirama dengan ideologi bapaknya: indie~
Setidaknya, nama Kinasih Menyusuri Bumi itu bisa diperkirakan tak akan bikin repot si anak sebagaimana nama Prima Sulistya. Entah sudah berapa juta kali obrolan saya dengan orang asing lewat chat, email, dan ojek online menimbulkan salah sangka berupa panggilan “Mas Prima”. Menangos.
Atas refleksi pribadi, mengamati unek-unek orang lain secara daring dan luring, serta pengalaman saya sendiri menjadi pelaku perundungan nama orang lain (sumpah, sekarang saya udah tobat), maka tersusunlah daftar ini. Daftar 9 larangan nama anak yang entah kenapa masih perlu ditulis padahal mestinya semua orang ngerti anjir.
1. Nama anak tuh jangan susah ditulis
Kata penulis Mojok Bachtiar W. Mutaqin, bahkan huruf “c” di nama “Bachtiar” aja udah bikin dia repot. Ini baru satu huruf “c” lho.
Rekor nama paling susah ditulis (karena susah diingat) yang saya tahu adalah penulis Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Sampai-sampai tulisan barusan aja mesti saya copas dari Google dulu. Pernah suatu kali saya meluangkan diri berlatih menulis nama Ziggy tanpa harus lihat contekan. Orang yang seselo itu, sejauh yang saya tahu, hanya sahabat saya Dewi Kharisma Michellia.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana ritual Ziggy ketika sedang ada urusan di kelurahan atau puskesmas. Atau kerepotan paling klasik ala siswa jadul yang pernah merasakan Ujian Nasional tertulis. Jika boleh pakai “Ziggy Z” saja saat menghitamkan bulatan-bulatan di lembar jawaban, tentu alhamdulillah. Tapi kalau dipaksa mencantumkan nama lengkap… ya, saya cuma bisa menyampaikan simpati kepada Ziggy.
Kalau dipikir-pikir, di antara teman-teman saya dengan nama paling bikin saya panik saat menulisnya adalah teman-teman dari Jawa Timur yang punya kultur pesantren. Misal, ada teman baik saya yang nama lengkapnya Muhammad Lubabun Ni’am Asshibamal Shodamiyah. Nama dia ini nggak terindeks Google jadi saya juga nggak pasti, Muhammad-nya dengan m satu atau dua? Pakai u atau o? Huruf s, h, dan segala macamnya sudah betul belum?
Suatu waktu pula, datang dua mahasiswa UIN Sunan Kalijaga magang di Mojok. Salah satunya bernama Lu’lu’il Maknun. Jujur, aslinya saya sempat lupa nama ini karena di Mojok ia minta dipanggil Lulu saja. Saya bisa ingat lagi Kebetulan semalam saya ngobrol dengan Anwar, teman yang anak pesantren, soal nama-nama yang sulit.
“War, pernah ada anak magang Mojok namanya… Lu’lu’il… Makmun?”
“Lu’lu’il Maknun,” Anwar mengoreksi saya. “Artinya mutiara terpendam.”
Yah, rupanya susah-nggaknya sebuah nama bisa relatif juga. Jangan-jangan saya yang salah karena nggak pernah belajar bahasa Arab.
2. Nama anak jangan menimbulkan pertanyaan
So pasti (anjir, ’90-an banget) bukan perkara nanya arti nama yang saya maksud. Itu sih pertanyaan murni ingin tahu. Jangan menimbulkan pertanyaan di sini merujuk ke pertanyaan yang murni bingung.
Singkat saja. Alkisah, ada seorang teman sastrawan muda. orangnya supel, tulisannya bagus, kini jadi dosen di Jawa Tengah dan sedang kuliah di Tiongkok. Mungkin kalian pernah dengar namanya: Eko Triono.
Pertama dengar nama itu, saya bukan orang yang cukup kritis untuk tahu kejanggalannya. Tapi di lain kesempatan, saya mendengar sendiri ada orang bertanya kepada Eko.
“Eko, jadi kamu ini anak pertama atau ketiga?”
Sayang sekali saya lupa apa jawaban Eko. Maaf ya, para pembaca.
3. Nama anak jangan sampai membentuk singkatan yang tidak-tidak
Di koran dan majalah cetak, ada tradisi menyingkat nama yang kemudian singkatan itu jadi terkenal sebagai nama juga. Misalnya Goenawan Mohamad jadi GM. Di bidang lain, ada Chairul Tanjung yang disingkat CT, Tomy Winata jadi TW, Jusuf Kalla jadi JK, dan seterusnya.
Dengan mempertimbangkan kelak anak kalian akan jadi orang besar, sangat dianjurkan agar para orang tua tidak menggubah nama indah tapi singkatannya nyebelin. Jadi, misalnya, cukuplah Arizona State University saja yang singkatannya kurang enak didengar orang Jawa.
4. Nama anak jangan multitafsir
Poin ini diilhami oleh Pak Kentut yang pada 2018 lalu mengganti namanya menjadi Ihsan Hadi. Ia sempat viral karena alasan yang sudah tak perlu saya jelaskan. Usut punya usut, nama Kentut seharusnya ditulis dan dibaca “Kenthut”, kata Jawa yang artinya ‘kuat’. Tapi berhubung Pak Kentut merantau ke Jakarta dan kemudian muncul tafsir-tafsir tak enak atas namanya, ia memutuskan ganti nama saja.
Demikian juga dengan nama Jawa “Thukul”. Artinya sih memang ‘tumbuh’, tapi ada lho orang yang memaknai tukul itu sebagai palu.
Satu nama lagi adalah nama mantan ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Sebenernya nggak bermasalah sih, cuma kadang orang bercanda kalau Pak Din ini pemeluk Zoroaster. Ini karena din berarti ‘agama’ dan syamsu artinya ‘matahari’. Padahal maksud aslinya “matahari agama” gitu. Jangan marah lho, Pak Din.
5. Nama anak jangan terlalu berat
Biarlah hanya raja-raja yang mengemban nama dengan arti ‘memangku dunia’, ‘poros dunia’, atau ‘poros alam’. Jika nama-nama seperti itu diberikan kepada orang biasa, takutnya si anak jadi minder atau pas udah gede dikatain punya orang tua halu. Ya gimana, misal namanya “pemimpin di zamannya” tapi dia cuma jadi kacung, kan malah kayak mendemotivasi, “Oh, tuh orang tua kamu doanya nggak makbul.” Ingatlah video yang pernah kamu tonton di acara ESQ Ary Ginanjar yang tak ingin kamu ulang itu: apa pun prestasi kita, kita ini cuma sebutir zarah alias atom di hadapan alam semesta.
Toh Nicholas Saputra walau namanya gitu doang, pribadinya tetap sempurna di darat, laut, dan udara.
6. Nama anak jangan membuat riskan posisinya di absen sekolah
Perihal ini saya punya saran konkret: hindari nama berawalan A, B, N, M, dan W-Z.
Jaman sekolah, para sahabat dengan nama Aditya ada di deretan orang yang selalu mengeluh karena pasti duduk di depan saat ujian. Bukan cuma satu-dua tahun, mereka bahkan sudah mengalaminya sejak SD. Untunglah, ketika kuliah model urutan tak lagi berdasarkan nama melainkan NIM.
Aditya baru akan bernapas lega jika ia sekelas dengan Aan. Memang dahsyat nama Aan ini. Double kill. Niscaya cuma baterai yang bisa menggeser namanya dari absensi nomor pertama.
Nah, soal nama N-M dan W-Z, masalahnya juga sama. Jadi kerap ketika ujian, satu kelas dipecah jadi dua agar tiap orang bisa duduk sendirian. Akibatnya, nama N-M akan jadi the next Aditya di kelas kedua. Lalu, karena urutan duduknya mengular, nantinya pemilik nama W-Z dipastikan juga akan berakhir duduk di depan.
7. Nama anak sebaiknya bisa dipenggal jadi panggilan yang enak
Ini masih soal anak magang di Mojok. Namanya Bachtiar. Sampai hari ini saya terlalu malu untuk bertanya kepadanya, sebenarnya panggilannya apa sih. Kadang saya panggil dia lengkap: Bachtiar. Kadang jadi Tiar. Tapi, Tiar pun masih rumit karena kadang saya butuh panggilan satu suku kata. Masak jadi “Ti”? Tapi males juga nulis “Yar” karena huruf y kan aslinya nggak ada di sana.
Problem itu sampai sekarang belum terpecahkan. Alhasil, percakapan kami di chat jadi mirip novel romantis. “Mohon besok kirim update liputannya lagi ya, Tiar.” Ciye, Tiar.
8. Nama anak jangan pasaran agar mudah di-googling
Ada nama yang saking pasarannya, kita justru jadi sulit menemukan orang yang dimaksud di mesin pencari. Katakanlah nama seperti Indah Pratiwi dan Muhammad Fajrin. Bahkan teman saya Agus Mulyadi bukan sekali dua kali mengeluh, selain tentang namanya pasaran, juga karena guyonan basi “Agus Agak GUndul Sedikit yaaa”. Sepertinya dia sudah muak.
Jenis nama pasaran juga bisa diturunkan dari nama sosok terkenal, yang saking terkenalnya sampai para orang tua di satu periode semua memakai namanya. Demikian kurang lebih derita yang dirasakan orang dengan nama Sadam Husein, Yaser Arafat, Husni Mubarak, Robiatul Adawiyah, Jalaludin Rumi, hingga Muhammad Iqbal. Bukan hanya harus bersaing dengan sesama pemilik nama itu untuk muncul di halaman satu Google, mereka bahkan harus bersaing dengan sang tokoh asli yang dikagumi ortu mereka. Ha ya jelas kebanting.
Yang susah, jika nama sudah unik, tapi top of mind orang malah ke arah lain. Ini saya saksikan pada teman saya Akhmad Muawal Hasan. Panggilannya Awal dan ketika memperkenalkan diri, orang sering sekali menimpali, “Awaludin ya?” Hadeeeh.
Permasalahan ini jika mau disimpulkan, pesan moralnya begini. Demi skor SEO terbaik, susunlah nama anak yang unik tapi tidak sulit, mudah tapi tidak pasaran.
9. Nama anak jangan sampai menimbulkan perpecahan atau mengundang bahaya
Memang belum ada contohnya, tapi saya berharap siapa pun yang berniat menamai anaknya “Tuhan Ada Tiga”, segera membuat inisiatif itu jauh-jauh.
Memang barusan contoh ekstrem, tapi poin kesembilan ini sangat berlandaskan fakta. Yang paling dekat adalah bullying akibat nama.
Pak Kentut tadi jelas salah satu penyintasnya. Dan jika kamu ingat, dua tahun lalu ada seorang anak yang curhat di Twitter, tampaknya agak menyesal dinamai Fahri Hamzah gara-gara bapaknya ngefans sama Fahri Hamzah yang itu.
Sebenarnya tak habis-habis koleksi nama indah yang bahasa kita punya (Mojok pernah merangkum daftar kata indah dalam bahasa Indonesia). Saya sendiri mengenang nama-nama orang dan tokoh yang saya sukai bunyinya: Mahisa Cempaka dan Ranggawuni (tokoh Singasari), Saar Ailarang (nama anak Saleh Abdullah), Ging Ginanjar (jurnalis BBC), Sawerigading (tokoh cerita rakyat Bugis), Nisrina Muthahari (nama Iran yang disandang sahabat saya), Bre Redana dan Gitanyali (nama asli dan nama pena jurnalis Kompas), Zidni Ilma (petikan doa Islam ketika hendak belajar), hingga nama lengkap perempuan tercantik di Indonesia: Diandra Paramita. Mau yang tak kalah indah? Tengok saja nama dewi-dewi istri Arjuna.
Terakhir, konon ada sejumlah nama bayi yang dilarang dalam Islam. Cuma ini bukan rubrik Khotbah, jadi saya nggak bisa bahas lebih jauh benar-tidaknya. Saya pun tak berniat menggubah nama-nama islami untuk anak saya, takut terlalu berat. Saat ini ide saya adalah pakai nama ala-ala orang Tiongkok dan Indian yang suka mengutip nama hewan dan tumbuhan seperti “Teratai Putih” atau “Serigala Menari”.
Hal tersebut sudah saya sampaikan kepada calon suami saya. Maksud saya agar ia mulai berpikir, saya tidak mau menerima mentah-mentah usulan nama “Iosif Jughashvili” yang ia usulkan.
“Besok anakku mau aku namain ‘Kepik Kecil’,” saya bilang kepadanya suatu hari.
Diam terdiam agak lama baru kemudian membalas.
“Bagaimana kalau ‘Cakar Harimau Sejati’ saja?”
Saya memelototinya. Lama. Sangat lama.
BACA JUGA Kata Paling Indah dalam Bahasa Indonesia dan esai Prima Sulistya lainnya.