Film panas yang goda gelora muda
Sejak awal 2000-an, ketenaran Bioskop Senopati mulai memudar. Masuknya jaringan Empire-21, yang menawarkan modernitas dalam industri bioskop, akhirnya bikin Senopati kalah pamor.
Deni pun mengaku sudah lupa kapan terakhir kali berkunjung ke Bioskop Senopati. Alasannya karena sejak akhir 1990-an, ia sudah harus pindah ke Magelang.
Namun, yang jelas, satu ingatan yang tak mungkin ia lupakan adalah bagaimana dirinya bisa menikmati film-film panas secara bebas pada masa itu.
“Aku inget banget film panas ‘Call Girls’, lupa pasnya tahun berapa. Zaman segitu film ini lagi banyak diomongin sama teman-teman sekolah ,” kisahnya.
Tarif buat nonton Call Girls sendiri, kata Deni, saat itu seharga Rp750. Mengingat harganya cukup lumayan—untuk kalangan “rakyat jelata” seperti dia—Deni harus putar otak supaya bisa dapat uang buat nonton. Alhasil, ia pun harus mengumpulkan uang saku selama seminggu demi menonton film panas tersebut.
Saat uang sudah terkumpul, masalah baru datang. Penjagaan bioskop yang cukup ketat menyusahkan remaja-remaja di bawah umur menonton film kategori 18+.
“Akhirnya kita patungan beli rokok sama minum (alkohol) buat penjaganya. Eh, jadinya lama-lama malah akrab. Kalau ada film esek-esek lagi, gampang aja lah kita masuk,” ujar Deni, disambung tawa yang lepas.
Kini, Bioskop Senopati tinggal memori. Saat terkahir berkunjung ke Shopping Center dan Taman Pintar pada 2017 lalu pun, Deni sudah tak bisa melihat wajah asli tempat nongkrong favoritnya dulu. Semua telah berubah, yang ada hanya tumpukan buku yang diperjual-belikan.
“Muda mudi pacaran di sepanjang trotoar, remaja-remaja yang rokokkan sambil mabuk di angkringan, siswa-siswa yang bolos, udah enggak bisa ditemui lagi. Ya, biarin itu jadi nostalgia aja, karena setiap masa ada orangnya,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi