MOJOK.CO – Di Jogja terdapat perguruan bela diri yang legendaris bernama Prisai Sakti Mataram (PSM). Perguruan ini mengusung landasan Tri Sakti dengan semangat pengabdian, pengorbanan, dan kesetiaan.
Resmi berdiri sejak 9 Agustus 1953 dan berpusat di Jogja, perguruan ini memiliki seragam latihan berwarna putih layaknya Karate atau Judo Gi. Warna dan desain seragam ini sengaja diadopsi oleh sang pendiri karena ketertarikannya dengan bela diri Jepang.
Pada 20 Juni 1981, PSM disarankan untuk bergabung menjadi anggota Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) supaya resmi terdaftar sebagai sebuah organisasi.
Namun, pada prakteknya Prisai Sakti Mataram bukanlah perguruan yang murni beraliran pencak silat, tapi gabungan dari berbagai macam jenis bela diri. Hal ini terlihat dari berbagai macam teknik yang ada di perguruan ini.
Seiring berjalannya waktu, anggota Prisai Sakti Mataram tidak hanya dari kalangan orang dewasa. Latihan rutin yang berlangsung 2 kali dalam seminggu, banyak juga yang mengikuti dari kalangan pelajar, dengan kategori minimal kelas 9 SMP atau usia 14 tahun.
Sejarahnya, adalah sosok Ki Netra Widjihartani yang merintis organisasi bela diri ini. Ia merupakan pendekar silat yang namanya cukup akrab di kalangan pegiat bela diri di Jogja.
Guru besar Prisai Sakti seorang ABRI
Ki Netra Widjihartani lahir di Jogja pada 11 Juli 1928. Sang guru besar, selain aktif sebagai pesilat juga tercatat sebagai anggota ABRI Batalyon X dan aktif berperang dalam membela kemerdekaan Republik Indonesia.
“Pendiri PSM terkenal dengan kemampuannya pada jurus bantingan dan lemparan. Beliau merupakan tokoh yang mempraktikkan dua teknik tersebut tanpa alas atau matras. Awalnya teknik bantingan tanpa matras ini mengundang kontroversi dari banyak pihak. Namun, Ki Netra Widjihartani berhasil membuktikan bahwa dengan teknik yang tepat, dan mental berlatih kuat maka keselamatan tetap terjamin,” ujar Agus Suraji, pelatih PSM Pusat Yogyakarta.
Kemampuan bela diri yang Ki Netra Widjihartani, ia miliki tercipta berkat berguru ke sejumlah pendekar penting di Jogja. Beberapa di antaranya yakni Kiai Supingi, R. Djojoprawiro, Sugiman, Tan Liem Hoo dari Kun Tau aliran Shaolin Kungfu, juga Louw Djing Kie ahli Kungfu yang dimakamkan di Temanggung. Guru-guru tersebut membuat Ki Netra mempunyai wawasan bela diri yang luas.
“Sebagai anggota PETA ‘Budanco Rengsai Iku Tai’ beliau telah mengikuti latihan Judo, Jiu Jit Su, Sumo, Kendo, dan Jut Ken Jut di bawah asuhan mendiang opsir Ken Pei Tai Susak Kimura,” ujar Budi Ismunaji, putra Guru Besar sekaligus penerus generasi kedua PSM.
Terdapat lima tingkatan bagi anggota perguruan ini. Mulai dari tingkat dasar, kader pelatih, pelatih utama, dewan guru, hingga guru besar. Tingkatan tertinggi itu merupakan jabatan penggali dan penyusun keilmuan bagi PSM sesuai perkembangan zaman.
Pertarungan bebas tanpa matras
Salah satu yang membedakan PSM dengan perguruan lain adalah pertarungan bebas, tanpa matras, dan pelindung apapun. Sejak awal diciptakan oleh Ki Netra Widjihartani, PSM memang untuk bela diri sebagai bekal hidup, bukan sekadar olahraga. Tidak hanya fisik, anggota PSM juga terlatih dari sisi mentalnya.
Prisai Sakti Mataram, mengajarkan beragam teknik bela diri. Hal ini sesuai dengan apa yang oleh pendiri dulu dapatkan saat berlatih. Pertarungan bebas, dengan beragam teknik pukulan, tendangan, tolakan, hindaran, pernapasan, lemparan, kuncian, pemecahan benda keras, hingga berbagai macam senjata, mulai dari pedang, tongkat, nunchaku (double stick), hingga suriken (senjata rahasia ninja).
Bahkan, jauh sebelum yoga berkembang di Indonesia, sejak 1950 Ki Netra Widjihartani sudah mengajarkan Yoga ke murid-murid PSM sebagai penunjang kekuatan fisik. Dulunya, sang Guru Besar belajar langsung dari seorang Yogi asal India yang menetap di Jogja.
Ki Netra Widjihartani wafat pada 16 Juli 1994. Namun, perjalanan Prisai Sakti Mataram masih terus berlanjut dan berkembang hingga sekarang.
Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Agung Purwandono