MOJOK.CO – Di lingkungan Keraton Yogyakarta, ada sebuah kampung di mana dahulu para abdi dalemnya merupakan musisi. Tak tanggung-tanggung, jenis musik yang mereka mainkan adalah musik barat, bukan gamelan sebagaimana budaya Jawa. Nama kampung itu, Kampung Musikanan.
Oleh karena keahlian para Abdi Dalem-nya itu, nama kampung ini dinamai “Kampung Musikan”. Konon, nama ini berasal dari kata musikan (bahasa Belanda) atau musician (bahasa Inggris).
Secara administratif, ia terletak di Kelurahan Panembahan, Kemantren Keraton, Kota Yogyakarta. Kalau kalian penasaran ingin berkunjung, lokasinya tepat di sebelah barat SD Keputran.
Pada era kolonial Hindia Belanda, kampung ini tak pernah sepi dari bunyi-bunyian instrumen musik Eropa seperti flute, trombon, trumpet, saxophone, dan klarinet.
Sultan bahkan menyukai dan menikmati jenis musik tersebut. Malahan, pada berikut hari muncul musisi-musisi kondang dari Kampung Musikanan, antara lain FA Warsana, Waryadi, Mas Sardi, Idris Sardi, Suhardjo, Iramayadi, Yudhianto dan sebagainya.
Lantas, seperti apa kisahnya hingga musik Barat dapat begitu berjaya di lingkungan Keraton Yogyakarta?
Untuk menyambut Gubernur Jenderal Hindia Belanda
Mengutip riset Tim Peneliti Akademi Musik Indonesia Yogyakarta berjudul “Musik Diatonik dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta” (1982), para abdi dalem yang khusus memainkan musik barat kemungkinan mulai muncul pada masa pemerintahan Sultan HB VIII sekitar 1923.
Saat itu, Keraton Yogyakarta bersiap menyambut Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk Fock, yang ingin berkunjung.
Untuk menghormati kunjungan itu, Sultan pun berinisiatif mengadakan pementasan musik Barat atau Eropa. Maka, mulailah Sultan membeli alat-alat musik Eropa dari Batavia. Ia juga membentuk Abdi Dalem Musikan, yang nantinya akan mengiringi musik untuk sang gubernur jenderal.
Tak sampai di situ, Sultan bahkan juga mendatangkan seniman multitalenta asal Jerman bernama Walter Spies pada November 1923. Spies ia minta untuk bekerja sebagai instruktur dan dirigen musik.
Selama di Yogyakarta, Spies tinggal di rumah KRT Jayadipura. Untuk pekerjaannya itu, ia mendapat gaji 100 ribu gulden per bulan.
Kraton Orcest Djogja terbentuk di Kampung Musikanan
Kehadiran Spies memberikan pengaruh yang cukup besar. Kala itu, ia berhasil membuat kesatuan musik Eropa di keraton yang memiliki 40 anggota. Kelompok orkesnya itu ia namai Kraton Orcest Djogja, yang bertugas mengiringi perarakan gunungan saat Garebeg Sawal, hingga berbagai pementasan saat menyambut tamu resmi.
Para Abdi Dalem yang tergabung dalam Kraton Orcest Djogja juga diberi nama dengan kata-kata dari bahasa Belanda. Misalnya, mereka menggunakan nama-nama hari seperti Zondag (Minggu), Maandag (Senin), dan Dinsdag (Selasa), dan seterusnya.
Ada juga yang menggunakan nama-nama dari istilah dalam opera. Misalnya, Aida, nama opera karya G. Verdi yang muncul tahun 1871 di Italia; Carmen, judul opera karya Georges Bizet yang muncul pada tahun 1875 di Perancis; atau Leoni, nama seorang komposer berkebangsaan Italia yang hidup antara tahun 1864-1949 bernama Franco Leoni.
Selain mengiringi acara seremonial, Kraton Orcest Djogja juga punya kegiatan rutin lain. Seperti pementasan di Pagelaran Kraton atau Pasowanan. Ada juga pementasan dua kali sebulan di Societeit de Vereeniging (kini Taman Budaya Yogyakarta).
Spies wariskan kejayaan musik Barat di Keraton Yogyakarta
Sayangnya, Spies hanya tiga tahun bekerja di Keraton Yogyakarta. Pada 1927 ia memutuskan pindah dan menetap di Bali. Namun, sebelum pindah ia sempat ia meninggalkan beberapa manuskrip notasi gamelan untuk dimainkan dengan piano.
Setelah Spies berhenti bekerja, jabatan dirigen kemudian beralih ke abdi dalem bernama Mas Lurah Regimentsdochter. Saat Mas Lurah Regimentsdochter wafat pada tahun 1931, jabatan dirigen turun pada putranya yang bernama Leoni.
Setelah menjadi dirigen, Leoni kemudian bergelar Raden Lurah Regimentsdochter II.
Memasuki masa pendudukan Jepang (1942-1945), kejayaan musik Barat di keraton mulai pudar. Alasannya, Jepang melarang segala hal yang berbau Eropa. Imbasnya, jumlah pementasan terus menurun, jumlah anggota Kraton Orcest Djogja juga dipangkas, dan nama-nama Abdi Dalem yang berbau Belanda harus diganti.
Kraton Orcest Djogja memang masih diizinkan pemerintah Jepang untuk pentas. Namun, lagu-lagu yang mereka mainkan pun harus lagu-lagu berbahasa Jepang, seperti “Kimigayo”, “Mioto”, “Akatsuki”, “Gunkan”, dan sebagainya.
Setelah Indonesia merdeka, ada usaha untuk menghidupkan kembali kelompok orkestra ini. Salah satunya dengan bikin konser tur ke Jakarta pada 1949. Sayangnya, pada 1950 musik mereka tak terdengar lagi dan mengalami masa surut.
Sekitar 70 tahun kemudian, atau tepatnya 21 Juni 2021, Keraton Yogyakarta menghidupkan kembali kelompok musik ini yang kemudian dinamai Yogyakarta Royal Orchestra.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Yogyakarta Royal Orchestra akan Gelar Konser Musik di Pelabuhan Sunda Kelapa
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News