MOJOK.CO – Sebuah partai politik baru yang seluruh kebijakannya diambil berdasarkan kecerdasan buatan/artificial inteliligence (AI) dibentuk di Denmark. Synthetic Party dipimpin oleh sebuah chatbot, berharap dapat mencalonkan diri dalam pemilu 2023.
Synthetic Party didirikan pada akhir Mei 2022 oleh oleh kolektif seniman, Computer Lars. Partai AI ini ingin menjangkau sekitar 20 persen suara warga Denmark yang tidak menggunakan hak pilih mereka dalam pemilihan sebelumnya tahun 2019. Mereka meyakini, banyak warga Denmark memilih golput lantaran tidak ada partai tradisional yang kompeten.
“Kami telah menganalisis semua publikasi tertulis partai-partai pinggiran Denmark sejak 1970 yang akan dipakai untuk merancang sebuah program yang mewakili ‘visi politik orang biasa’,” kata Asker Bryld Staunaes, salah seorang pendiri partai, menjelaskan visi partai, dikutip dari majalah Fortune.
“Kami juga mewakili semua partai yang gagal maju ke parlemen, atau orang-orang yang sudah punya visi misi tapi modal mereka tidak cukup untuk mencalonkan diri,” imbuh aktivis LSM MindFuture ini.
Sebagaimana diungkapkan Staunaes, di Denmark sendiri ada ratusan partai kecil, yang kebanyakan gagal maju ke parlemen. Berdasarkan catatan resmi otoritas pemilu, saat ini Denmark memiliki 230 partai mikro, termasuk Synthetic Party.
“Mendirikan partai ini, selain sebagai cara untuk meniru dan menyimulasikan proses politik di seluruh dunia, tetapi sekaligus konfrontasi langsung dari aparat pembuat undang-undang, penegakan politik, dan hak-hak organisasi,” serunya, saat ditanya motivasi awal pendirian partai.
Staunaes juga menjelaskan, salah satu visi partai adalah penetapan pendapatan dasar universal atau universal basic income (UBI) sebesar 100 ribu kroner (setara Rp200 juta) per bulan—dua kali lipat gaji rata-rata Denmark. UBI sendiri merupakan sejumlah pendapatan yang diterima oleh warga negara sesuai haknya sebagai warga negara, dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok agar bisa hidup dan berkecukupan.
Kendati memiliki visi yang dianggap mumpuni, masih harus dilihat apakah partai tersebut memiliki cukup dukungan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan 2023 mendatang. Data otoritas pemilu menyebut, mereka masih memerlukan sekitar 20.182 tanda tangan lagi. Saat ini, mereka baru memiliki kurang dari 100 tanda tangan.
Akan tetapi, jika berhasil memenangkan kursi di parlemen, partai ini berencana akan menggunakan mandatnya untuk menghubungkan AI dengan pekerjaan yang dilakukan oleh anggota majelis. Mereka, menurut Staunaes, mendukung secara penuh penambahan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB ke-18, yang memungkinkan manusia dan algoritma untuk hidup berdampingan.
“Idenya adalah untuk mengambil kekuatan politik dan ekonomi yang sangat besar melalui algoritma, untuk mencoba memasukkannya ke dalam sistem politik tradisional,” kata Staunaes.
Staunaes juga menyebut, orang-orang dapat berinteraksi langsung dengan pemimpin partai yang diberi nama Leader Lars, melalui platform perpesanan Discord melalui chatbot. Bahkan pada bulan lalu, partai telah mengadakan rapat umum pemilihan pertama mereka.
“Leader Lars merupakan tokoh utama partai. Denmark adalah negara demokrasi perwakilan, begitu juga dengan manusia yang mewakili Leader Lars di surat suara dan berkomitmen sebagai perantara AI,” terang Staunæs.
“Para pendukung Synthetic Party harus percaya dengan program yang kami jalankan, karena hanya dengan cara itulah kebijakan AI dapat tersampaikan secara tepat,” pungkasnya.
Fenomena “politikus virtual”, sebagaimana ditunjukkan Synthetic Party, sebenarnya bukanlah hal baru. Di sejumlah negara, pemimpin serupa Leader Lars pernah bermunculan dan dicalonkan ke parlemen.
Di Rusia, misalnya, pada 2017 lalu pernah muncul sosok Alisa. Pemimpin virtual ini dikembangkan sedemikan rupa sebagai pesaing calon presiden Rusia yang lain, seperti petahana Vladimiri Putin, konglomerat Boris Titov, hingga aktivis antikorupsi Alexei Navalny.
Dilaporkan Moscow Times, hanya dalam waktu 24 jam sejak kemunculannya, Alisa telah mendapat 25.000 dukungan di situs webnya untuk maju sebagai presiden Rusia. Alisa punya kampanye sarkas: “bergantung pada logika” dan “tidak dipimpin oleh emosi, tidak mencari keuntungan pribadi dan tidak membuat penilaian”, sebagai bentuk kritik pada Putin.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi