MOJOK.COÂ – Presiden Jokowi baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu ini menjadi pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi kebijakan ini, buruh dan pekerja di Yogyakarta menolak dengan tegas Perppu Cipta Kerja tersebut. Sebab hal tersebut dinilai merupakan suatu bentuk pembangkangan terhadap putusan MK.
“Pemerintah menerbitkan perppu tanpa partisipasi publik yang menyeluruh. Sementara putusan MK mengamanatkan pemerintah untuk memperbaiki prosedur dan memaksimalkan partisipasi publik,” papar Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY, Irsad Ade Irawan saat dikonfirmasi, Sabtu (31/12/2022).
Menurut Irsad, secara prosedur, pemerintah mengambil jalan pintas yang tidak demokratis dengan mengabaikan secara total prosedur pembuatan UU dengan menerbitkan perppu tersebut.
Pemerintah juga tidak cermat dan cenderung sembrono dengan menerbitkan perppu untuk menggantikan UU yang sudah tidak ada obyeknya lantaran telah dinyatakan inkonstitusional permanen jika tidak ada perbaikan selama 2 tahun.
Alih-alih mengadakan perbaikan, pemerintah justru secara sepihak mengeluarkan Perppu tanpa partisipasi publik. Karenanya Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil karena UU Cipta Kerja sudah tidak ada setelah adanya putusan MK yang menyatakan UU aquo inkonstitusional bersyarat.
“Pembentukan perppu juga tidak ada memenuhi syarat umum. Syarat umum berupa keadaan yang memaksa tidak terjadi Indonesia. Kami menolak dalih dari pemeritah tentang dampak perang Rusia-Ukraina dan ancaman krisis bagi negara berkembang,” tandasnya.
Berdasarkan putusan MK, pemerintah dilarang membuat kebijakan strategis. Perppu tersebut jelas suatu kebijakan yang strategis karena akan berdampak pada pembuatan kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan demikian DPD KSPSI DIY menuntut pemerintah taat kepada putusan MK. Diantaranya dengan mencabut perppu tersebut.
Selain itu pemerintah perlu melakukan revisi Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) se-Indonesia dengan kenaikan minimal 50 persen.
“Hal ini penting agar pemerintah mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang kepentingan pemilik modal,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi