MOJOK.CO –Â Empat keraton Jawa saling bertemu dalam Pergelaran Catur Sagatra di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, Jumat (22/07/2022) malam. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Pakualaman serta Pura Mangkunegaran pun mencoba melakukan rekonsiliasi empat kerajaan melalui bedhaya atau tarian klasik Catur Sagatra.
Pergelaran ini pun menjadi pertalian trah Mataram Islam yang ada di Jawa antara antara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Keraton Kasunanan Surakarta, Pura Pakualaman dan Pura Mangkunegaran. Konsep rekonsiliasi melalui bedhaya berawal dari gagasan dari empat raja Jawa: Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, Sri Paduka Paku Alam (PA) VIII, Sri Susuhunan Pakuwono XII serta Sri Mangkunegara VIII.
Empat tarian yang diciptakan para raja ditampilkan secara khusus kali ini. Sebut saja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang menampilkan tarian Bedhaya Mintaraga dan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menampilkan tarian Bedhaya Ratu.
Pura Pakualaman menampilkan tarian Bedhaya Wasita Ngrangsemu. Sedangkan Pura Mangkunegaran dengan tarian Bedhaya Ladrang Mangungkung.
Bedhaya Mintaraga yang ditampilkan para penari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan tari yang diilhami dari serat Lenggahing Harjuna. Serat ini ditulis langsung oleh Raja Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X.
“Pergelaran kali ini menjadi gareget rekonsiliasi budaya dan manunggalnya kembali Trah Mataram, dari Catur Sagatra menuju Catur Sagotrah,” papar Raja Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X disela acara.
Menurut Sultan, identitas budaya Sagotrah ini semakin bermakna. Sebab Surakarta dan Ngayogyakarta memiliki satu lambang Dwi Naga Rasa Tunggal, dua naga yang menghadap ke arah Barat dan Timur, meski begitu, ekornya tetap bertaut menjadi satu.
Keempat entitas budaya itu disebut catur sagatra yang memiliki satu garis Trah Mataram. Karenanya entitas tersebut menjadi pewaris sah dari Budaya Mataraman
Sultan menambahkan, pergelaran kali ini menampilan kaidah-kaidah seni tari klasik yang sudah dibakukan. Beragam unsur seni yang ditarikan dapat seterusnya disajikan secara abadi.
“Selain itu kaidah tari klasik mengalir tanpa putus berkesinambungan hanyut dalam karakteristiknya yang mbanyu mili,” paparnya.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan (disbud) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengungkapkan pergelaran ini digelar pertama kali sejak pandemi. Kolaborasi terakhir digelar pada 2019 silam dan sempat vakum selama dua tahun.
“Masing-masing tarian yang ditampilkan sangat istimewa dan sarat makna,” jelasnya.
Dian menambahkan kegiatan tersebut sangat penting untuk melestarikan warisan budaya. Selain itu mengenalkan khasanah budaya di Yogyakarta dan Surakarta secara luas pada masyarakat.
Apalagi empat Kraton dinasti Mataram di Yogyakarta dan Surakarta menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan leluhur. Karenanya diharapkan gelar budaya ini menjadi salah satu pusat pengembangan budaya.
“Ini menjadi momentum yang sangat strategis dan tepat mengenalkan warisan budaya berupa seni tari yang harus dilestarikan oleh semua pihak,” tandasnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi