MOJOK.CO – Tirtonadi bukan sembarang terminal. Namanya melambung karena tembang campur sari Didi Kempot. Selain itu, fasilitas publik yang satu ini jadi percontohan di tingkat nasional.
Mungkin ketika mendiang Didi Kempot menciptakan lagu “Terminal Tirtonadi”, fasilitas publik yang terletak di Jalan Ahmad Yani belum sebagus sekarang. Terminal ini seperti fasilitas publik pada umumnya pada waktu itu, lekat dengan kesan kumuh, rawan copet, dan sarang preman.
Terminal terbesar di Surakarta itu sebenarnya pengganti dari stasiun bus atau Stanplat Harjodaksino di Gemblegan. Stanplat yang terletak di sisi selatan kota itu hanya bisa memuat 10-12 bus saja, padahal kebutuhan akan kendaraan bus kian meningkat. Di sisi lain, Stanplat Harjodaksino tidak mungkin bisa berkembang lagi. Akhirnya, pemerintah memindahkan stanplat ke sisi utara kota. Sebuah lahan kosong di seberang Taman Tirtonadi pun terpilih karena memiliki lahan yang luas.
Melansir Solopos, pada waktu terminal sudah melayani bus AKDP seperti Solo-Semarang dan Solo-Pekalongan dan bus AKAP. Terminal ini mengalami perluasan pada 1988 seiring kian banyaknya bus yang masuk dan keluar. Awalnya terminal hanya menempati lahan kosong dan bekas pemukiman warga, kemudian diperluas hingga 5 hektar dengan mengambil lokasi Taman Tirtonadi.
Perluasan itu menutup salah satu kolam rekreasi yang menjadi hulu Sungai Pepe. Sisa taman yang tidak terpakai kemudian tumbuh menjadi area kumuh. Lokasi itu digunakan untuk usaha warung makan, kios, hingga batu nisan.
Terminal Tipe A
Wajah terminal Tirtonadi berubah seiring ambisi pemerintah Kota Surakarta untuk menjadikannya terminal tipe A sejak 2009. Pembangunan terminal tipe A yang berlangsung pada 2009 hingga 2016 itu menelan investasi hingga Rp186 miliar.
Pada saat itu, dibangun empat zona pelayanan mirip bandar udara maupun stasiun kereta api. Empat zona itu meliputi penumpang bertiket, zona penumpang sebelum bertiket, zona perpindahan penumpang, serta zona untuk pengendapan kendaraan.
Pengembangan terus berlanjut. Pada awal 2022 barulah benar-benar terlihat Tirtonadi bukan sekadar terminal bus biasa. Fasilitas publik yang satu ini menjadi contoh pertama penerapan konsep baru pengelolaan sebuah terminal di Indonesia. Konsep yang dimaksud, terminal bisa memberi nilai tambah dan mendukung berbagai sektor lainnya seperti pariwisata, industri, sosial, seni budaya, ekonomi dan lainnya.
Terminal Tirtonadi terhubung dengan Stasiun Solo Balapan dan Bandara Adi Sumarmo. Penumpang bus yang akan melanjutkan perjalanan kereta bisa berjalan melalui jembatan (Sky Bridge) sepanjang kurang lebih 500 meter menuju Stasiun Solo Balapan. Setelah itu penumpang bisa lanjut menggunakan Kereta Bandara Adi Sumarmo (KA BIAS) menuju bandara, begitupun sebaliknya.
Terminal yang menempati lahan seluas 5 hektar (ha) itu juga memiliki ruang untuk berbagai kegiatan seperti pameran, konser musik, pernikahan, kegiatan seni budaya, olahraga, kuliner, dan kegiatan lainnya. Tercatat, bangunan Sport Center seluas 1.512 meter persegi mampu menampung 300 penonton tribun. Kemudian, Convention Hall seluas 3.564 meter persegi yang mampu menampung hingga 2.500 orang. Beberapa musisi nasional bahkan pernah tampil di Convention Hall Tirtonadi seperti Tulus, God Bless, dan Fiersa Besari.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi