MOJOK.CO – Waduk Gajah Mungkur Wonogiri menjadi perbincangan belakangan ini. Makam-makam kuno ditemukan di dasar waduk saat airnya asat.
Berita tersiar, kabar beredar, foto-foto terkait pun tersebar. Sejumlah kijing nampak tercecer dan berserakan di dasar Waduk Gajah Mungkur (WGM) Wonogiri yang mengering karena musim kemarau. Ada yang masih utuh, rusak, bahkan hancur terkikis air.
Kijing-kijing tersebut berwarna putih seperti bebatuan kapur. Menurut Sejarawan Wonogiri, Dennys Pradita, zaman dulu daerah selatan Wonogiri terdapat banyak batuan kapur. Masyarakat biasa memanfaatkan bebatuan kapur tersebut menjadi bahan bangunan rumah.
“Pada periode (1970-an) itu batuan kapur banyak dimanfaatkan warga. Biasanya memang (kijing) pakai batu putih, batuan kapur. Kalau sekarang (kijing) banyak yang menggunakan semen,” kata Dennys dalam wawancara dengan detikJateng.
Asal-usul Waduk Gajah Mungkur
Bagi warga sekitar waduk, fenomena ini mungkin tak begitu mengagetkan. Sebab, sebagian mereka barangkali sudah tahu mengenai keberadaan kompleks makam kuno di dasar Waduk Gajah Mungkur ini. Akan tetapi bagi orang awam fenomena ini menarik untuk ditelusuri.
Kemunculan kompleks makam kuno tersebut lekat kaitannya dengan sejarah Waduk Gajah Mungkur. Rencana pembangunan waduk ini sejatinya telah muncul pada 1941 oleh Ir. R.M. Sarsito Mangunkusumo yang saat itu menjabat Kepala Pekerjaan Umum Mangkunegaran di Surakarta. Namun, baru bisa terlaksana pada 1976 hingga diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 17 November 1981.
Upaya mengatasi banjir bandang di Solo
Waduk ini dibangun untuk mengatasi bencana banjir di Solo yang pernah mencapai seluas sekitar 93.600 ha. Di tahun 1970-an, Bengawan Solo selalu meluap di musim hujan. Akan tetapi di musim kemarau, debit airnya yang tak terlalu besar tak mampu mencukupi kebutuhan air untuk masyarakat setempat.
Pembangunan Waduk Gajah Mungkur ini menghabiskan biaya mencapai Rp55 miliar. Rp34 miliar mengambil dana APBN dan sisanya menggunakan bantuan dari Pemerintah Jepang. Pembangunan ini melibatkan hampir 3.000 pekerja, termasuk 35 ahli dari Jepang sebagai penasihat. Waduk ini merupakan satu dari empat waduk besar yang berdiri untuk mengatasi masalah air Bengawan Solo.
Selain bisa mengendalikan banjir di Solo dan sanggup mengairi daerah irigasi, kehadiran waduk ini mampu menghasilkan 12,4 MW tenaga listrik. Waduk seluas 88 kilometer persegi ini mampu menampung debit air hingga 750 juta meter kubik. Pemerintah telah menghitung kontruksi waduk ini mampu bertahan sampai 100 tahun.
Relokasi puluhan ribu jiwa untuk bertransmigrasi ke Sumatera
Saat membangun waduk ini, pemerintah memindahkan 41.369 warga yang tinggal di 45 daerah di 6 kecamatan di Wonogiri. Pemindahan tersebut masuk dalam program transmigrasi ke Sumatera.
Melansir TribunSolo, kemunculan makam-makam kuno rutin terjadi di Kecamatan Wuryantoro. Pada sebagian kijing, tertulis nama jenazah dan tahun meninggal yang tertulis dalam aksara Jawa. Ada yang tertulis tahun 1977, bahkan ada yang 1957.
Camat Wuryanto, Sumardjono Fadjari, mengatakan makam tersebut sudah ada di sana sebelum waduk berdiri. Bangunan fisiknya tak ikut beralih pindah.
“Rumah dan kuburan itu ikut terkena genangan saat proyek pembangunan waduk itu. Makam itu memang ada sebelum pembangunan waduk,” ujar Sumardjono.
Tak hanya makam, bangunan rumah, hingga bekas jembatan juga bakal muncul kala kemarau. Warga setempat kerap menyaksikannya.
Penulis: Iradat Ungkai
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 3 Mitos Seputar Gunung Pegat Wonogiri, Pengantin Baru Tak Boleh Lewat Kalau Tak Mau Celaka
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News