MOJOK.CO – Mujair (Oreochromis mossambicus) jadi ikan air tawar yang paling mudah dijumpai dan paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Tapi siapa sangka, ternyata penemu ikan mujair merupakan seorang dengan latar belakang santri dari Blitar Selatan.
Sosok Mudjair lahir di Blitar pada 1890. Ia merupakan sosok yang bersajaha dan sangat mencintai dunia perikanan. Kisahnya menemukan ikan yang akhirnya diabadikan menggunakan namanya itu juga tak lepas dari ketekunannya membudidayakan ikan air tawar.
Pada program Jasmerah di kanal YouTube Mojok, pembawa acara Muhidin M. Dahlan mengulas sosok Mudjair dan kehidupannya berdasarkan buku Moedjair: Sejarah Tersembunyi Ikan Mujair. Sampai akhirnya ia menemukan ikan yang di kemudian hari begitu populer di Indonesia. Berikut Mojok rangkumkan sejumlah fakta tentang figur sang penemu ini.
#1 Seorang santri
Mudjair tidak datang dengan latar belakang peneliti maupun akademisi. Disebutkan bahwa sosok ini menempuh pendidikan sebagai santri di pesantren milik Kyai Soleh di Kuningan, Kanigoro, Blitar. Ia belajar di sana kurang lebih tujuh tahun sejak 1910.
Pesantren itu punya banyak kolam yang memelihara ikan gurameh. Mudjair mulai berkenalan dengan budidaya ikan air tawar lewat kolam-kolam di pesantren itu.
#2 Penjual sate
Selepas menimba ilmu di pesantren, Mudjair juga disebut pernah menjadi pedagang sate. Hal itu ia lakoni untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain berjualan sate, ia juga menjual cikar atau gerobak sapi. Hasil berjualan cikar ini kemudian digunakan untuk membeli sepetak tanah untuk dijadikan kolam. Mudjair kemudian melanjutkan hal yang sudah ia lakukan di pesantren, budidaya ikan gurameh.
#3 Tekanan ekonomi
Usahanya di desa Kuningan pada akhirnya mengalami kebangkrutan di era 30-an. Ia lalu pindah ke desa Papuangan dengan modal menjual tanah dan kolamnya. Di dekat tempat tinggal barunya, ia menggunakan sisa tabungannya untuk membeli sepetak tanah yang kemudian dibuatnya menjadi tiga petak kolam.
Muhidin menyebut bahwa Mudjair begitu mencintai dunia perikanan. Sehingga di mana pun ia tinggal, sebisa mungkin tak jauh-jauh dari kolam.
#4 Momentum satu Syuro
Suatu ketika, saat jelang perayaan tahun baru Islam, Mudjair dan warga desa hendak merayakan momen tersebut di Pantai Serang. Jarak pantai dengan desanya, sekitar empat puluh kilometer. Perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki.
Mendekati pantai, tepatnya di muara Sungai Serang, Mudjair terbesit untuk mencari benih ikan. Benih tersebut ia harap bisa dibudidayakan di kolamnya.
Di sana, ia melihat ada beragam jenis ikan dan menangkapnya. Namun saat dibawa pulang, tidak ada satu pun yang bertahan saat coba dimasukkan ke kolam. Hasilnya nihil. Ikan dari air payau itu gagal beradaptasi di kolamnya.
#5 Keuletan berujung penemuan ikan mujair
Gagal dialami Mudjair. Namun kecintaan dan rasa penasaran membuatnya kembali ke muara sungai itu. Ia masih yakin bahwa ikan-ikannya mati karena stress, bukan karena gagal beradaptasi.
“Mudjair kemudian kembali ditemani dua anaknya. Memikul wadah ikan dengan hati-hati. Barulah pada percobaan yang kesepuluh, Mudjair melihat ada dua jenis ikan yang tabiatnya berbeda dengan yang lain,” ujar Muhidin.
Setelah dipelihara di kolam ternyata ikan ini mampu bertahan. Penemuan ikan ini kemudian menggegerkan Blitar. Bukan hanya karena kemampuannya beradaptasi, namun juga karena mudahnya berkembang biak.
Ia pun diundang ke Surabaya untuk mengikuti konferensi ahli perikanan air tawar. Pada November 1939, ikan itu kemudian diberi nama mujair sesuai nama sang penemu.
Saat sampel ikan dibawa ke eropa, barulah diketahui bahwa ikan tersebut aslinya berasal dari Benua Afrika. Tepatnya dari Mozambik. Ditengarai, penemuan jenis ini di Blitar disebabkan perdagangan akuarium pada masa-masa sebelumnya.
Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi