Semua hal pasti memiliki standar, ukuran yang kerap mesti dipenuhi agar sesuatu atau seseorang, bisa dikategorikan layak dan bermutu. Standar ini juga kerap digunakan masyarakat untuk menilai apakah sebuah hal bisa dianggap normal atau tidak. Hal serupa juga berlaku pada nilai kecantikan. Saya seorang perempuan, lahir dan besar di Indonesia, memiliki kulit sawo matang yang sering dianggap tidak normal.
Saya sebenarnya bingung bagaimana kulit putih menjadi standar kecantikan di Indonesia. Ini hal absurd mengingat di Indonesia ada 1.340 suku bangsa. Setiap suku tinggal di beragam lingkungan, tradisi, dan juga pola kehidupan yang berbeda. Tentunya membuat satu patokan warna kulit sebagai ukuran cantik bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang sia-sia.
Saya, misalnya. Lahir sebagai keturunan Tionghoa, memiliki kulit kuning langsat, yang bagi banyak orang dianggap sebagai standar kecantikan perempuan Indonesia. Padahal, saya senang sekali berada di bawah sinar matahari sejak kecil—saya senang berenang, senang main sepak bola bersama banyak teman laki-laki, juga senang bermain sepeda. Semua kegiatan yang saya sukai sejak kecil akhirnya terhenti ketika beranjak dewasa. Ini karena saya sempat merasa bahwa memiliki kulit sawo matang adalah sesuatu yang salah, sehingga harus ‘memutihkan’ kulit sebaik mungkin dengan mengurung diri di rumah.
Saya, sebagai seorang keturunan Tionghoa dijejali imaji bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang memiliki kulit kuning langsat dan jika mungkin, seputih susu. Tidak jarang, saya bertemu banyak orang dewasa di masa kecil—baik itu keluarga maupun kerabat kedua orang tua yang berkata, “Sefin item, ya.” tanpa menyadari ucapan itu punya dampak serius.
Saya yang bahkan belum menginjak masa pubertas menganggap perkataan tersebut sebagai hal yang serius dan menjadi memori yang membuat sedih dan sakit hati. Apalagi Mama memiliki kulit yang putih dan tubuh yang kurus, sementara saya memiliki kulit sawo matang dan tubuh yang cenderung berisi atau gemuk. Orang kerap membandingkan fisik saya dengan Mama. Di sisi lain, Papa saya memiliki kulit sawo matang yang selalu dianggap wajar dan mungkin, maskulin, karena beliau adalah seorang laki-laki.
Saya tak sendiri, seorang sahabat sebut saja namanya Nindy juga mengalami hal serupa. Sahabat saya ini juga terlahir di keluarga keturunan Tionghoa dengan warna kulit sawo matang. Saya ingat betul bagaimana ia seringkali bicara pada dirinya sendiri, “Gue item banget, nih.” padahal, tidak ada yang pernah salah dengan warna kulitnya. Dan sebagai seorang Tionghoa non-muslim, masalah kulit ternyata membuatnya merasa dibedakan, terutama ketika ingin makan makanan non-halal karena seringkali dikira muslim dan pribumi.
Saya sendiri tidak pernah mengalami hal serupa dengan Nindy dan cukup terkejut ketika ia menceritakan pengalamannya. Bagaimana ia bisa didiskriminasi pada perkara makanan hanya karena warna kulit, ia dikira muslim dan pribumi. Tapi toh pada akhirnya, Nindy bilang ia mulai terbiasa. Terbiasa menjelaskan ke orang-orang bahwa ia keturunan Tionghoa—tanpa bermaksud rasis, hanya karena ia seringkali ditanya, “Kamu orang mana sih?”
Stereotip itu jahat. Membuat kita memberikan prasangka-prasangka negatif pada orang lain. Orang Jawa seringkali diidentikkan berkulit sawo matang. Keturunan Tionghoa diidentikkan dengan kulit kuning langsat dan mata sipit. Orang Papua sering diidentikkan dengan rambut keriting dan kulit yang hitam. Maka ketika orang-orang menyadari bahwa saya ternyata memiliki mata yang tidak sipit tapi kecil dengan lipatan kelopak ganda, serta bulu mata yang cukup panjang dan tebal, banyak orang yang bilang “Tumben ya Cina matanya nggak sipit.” Awalnya saya agak tersinggung, tapi lama-lama saya menganggapnya sebagai pujian bahwa ternyata mata saya lumayan bagus juga.
Lain lagi ceritanya dengan sahabat saya yang lain, Sofie yang merupakan orang Jawa, tepatnya berasal dari Yogyakarta. Kulitnya juga sawo matang, tapi cenderung lebih gelap. Eksotis, menurut saya. Sofie bercerita bagaimana awalnya ia merasa minder dengan kulit sawo matangnya, terutama ketika ia aktif di dunia modeling pada tahun 2000-an. Saya ingat betul, itu zaman ketika model majalah Aneka Yess! jadi standar kecantikan. Semua modelnya kurus, putih, dan tinggi. Dan itu pula yang dialami Sofie, saat baru awal modeling ia sempat minder karena yang dicari rata-rata model yang berkulit putih. Meski demikian, dari pengalamannya sendiri lama-lama Sofie jadi lebih paham bahwa standar kecantikan fisik bukanlah hal yang utama, karena pada akhirnya prestasi juga lah yang berbicara.
Pada akhirnya saya bisa bilang bahwa Indonesia memiliki standar kecantikan yang tidak mungkin. Dan saat saya melihat salah satu kampanye produk kecantikan dimana diadakan survei pada perempuan remaja tentang stereotip perempuan berprestasi, saya cukup sedih ketika kebanyakan dari mereka memilih perempuan berkulit putih atau terang dianggap lebih berpretasi hanya dengan melihat fotonya saja. Padahal, prestasi tidak pernah bisa ditentukan dari warna kulit.
Apapun warna kulit yang dimiliki perempuan Indonesia, saya tetap percaya bahwa setiap perempuan memiliki hak yang sama untuk mencapai cita-citanya—apapun itu. Klise, tapi ternyata realitanya tidak sesimpel itu. Mereka yang dianggap ‘kurang cantik’ seringkali tidak mendapat kesempatan terbaik.
Setelah saya berhasil kabur dari imajinasi untuk memiliki kecantikan sempurna yang sesuai dengan standar kecantikan Indonesia yang memang tidak mungkin terjadi, kini saya bertahan dengan berusaha terus menggelapkan kulit saya segelap mungkin, terutama ketika saya bepergian. Jika mereka mau mengejek karena warna kulit, saya akan pamer bahwa baru saja bepergian ke tempat yang mungkin belum pernah mereka datangi. Begitu saja.