Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Untuk Prabowo dan Peserta Aksi 22 Mei, Ini Kiblat Belajar Mereka yang Kalah Pemilu

Iwan Jemadi oleh Iwan Jemadi
23 Mei 2019
A A
Untuk Prabowo dan Peserta Aksi 22 Mei, Ini Kiblat Belajar Mereka yang Kalah Pemilu
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Untuk Prabowo, politikus 02, dan para peserta aksi 22 Mei, kalah bukan akhir semuanya. Inilah kiblat belajar bagi mereka yang kalah di Pemilu 2019.

Kita akhirnya tiba di sebuah hari, ketika harapan, survei, dugaan dan keyakinan para politisi, berhadapan muka dengan kenyataan yang sebenarnya. KPU telah mengumumkan hasil Pemilu 2019, sehari lebih gesit dari jadwal seharusnya. Jokowi menang, dan Prabowo kalah. Kenyataan pahit yang betulan terjadi.

Yang sungguhan menang, boleh sujud syukur dan merayakannya di sela-sela waktu berbuka. Meskipun manusia seperti kita, kerap memperlakukan sujud dan syukur sebatas ikhtiar dan gagah-gagahan belaka.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh mereka; Pak Prabowo, politikus, peserta aksi 22 Mei, yang takluk dalam Pemilu? Nasihat terbaiknya adalah putar lagi wejangan Mario Teguh. Ia seperti diciptakan secara khusus oleh Tuhan untuk orang-orang kalah, seperti juga ia telah dihibahkan bagi mereka yang patah hati seperti Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei.

“Kalau kita telah berupaya keras, tapi tetap gagal, mau lanjut atau berhenti?” tanyanya sekali waktu. Tentu saja, nasib orang kalah tidak segampangan omongan Om Mario.

Saya agaknya percaya, masa depan negeri ini tidak hanya ditentukan oleh mereka yang unggul dalam perayaan demokrasi lima tahunan. Toh jumlah mereka tidak seberapa dibandingkan orang-orang yang impiannya dipecundangi kenyataan di luar konteks Pemilu. Bagaimanapun juga, Pemilu selalu menghasilkan lebih banyak orang kalah daripada mereka yang beruntung. Jika pada yang menang kita menaruh harapan akan Indonesia yang lebih bergemuruh, lalu apa yang bisa diharapkan pada Prabowo dan peserta aksi 22 Mei; mereka yang tersisih?

Konon, Niccolo Machiavelli menuliskan Il Principe setelah takluk dalam perang. Di tempat pembuangannya, Machiavelli menuliskan siasat yang diperlukan oleh seorang penguasa untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. “Agar penguasa dipandang dan didengar, ia harus tampak berbelas kasih, setia, punya integritas, kemanusiaan, dan agama,” tulisnya perihal cara penguasa menjaga kesetiaan.

Karya masyhur itu barangkali tak akan pernah kita baca, seandainya Machiavelli menghabiskan hari-hari di pembuangan dengan berpura-pura juara sambil mencaci maki nasibnya sendiri.

Kasus serupa dialami Pramoedya Ananta Toer bertahun-tahun kemudian. Ia tumbang di tangan rezim yang tak adil. Pram lalu dibuang ke Pulau Buru. Alih-alih menuliskan “wasiat”, Pram memilih melahirkan tetralogi, yang di kemudian hari membuat namanya diwacanakan masuk nominasi nobel sastra.

“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!” Kalimat Nyai Ontosoroh di halaman akhir Bumi Manusia ini bisa dijadikan kekuatan untuk menerima kekalahan. Percayalah, Pram juga menuliskan itu untuk mereka yang telah sengit berjuang, tapi malah melutut dalam Pemilu.

Barangkali kekalahan yang mirip nasib Pak Prabowo dan pendukungnya di aksi 22 Mei dialami sastrawan Peru, Mario Vargas Llosa. Dua kali ia ikut bertarung di pemilu Peru, dua kali pula ia tumbang oleh lawan yang sama. Persis seperti Prabowo di hadapan Jokowi. Rakyat lebih memilih Alberto Fujimori yang kemudian dituduh melakukan banyak kejahatan dalam pemerintahannya.

Mario Llosa tak pandai bersujud syukur atas kekalahannya atau berpura-pura merayakan keunggulan setelah pemilihan selepas “KPU Peru” mengumumkan Fujimori sebagai kampiun. Dua kali kalah membuatnya tahu diri. Kekuasaan tidak bisa membuat seseorang abadi.

Sesuatu terjadi bertahun-tahun kemudian setelah pemilu Peru dan kekalahan mendera Mario Llosa. Ia menuliskan Lima Sudut, sebuah novel yang mengambil latar Peru. Lewat tulisannya, ia mengkritik habis-habisan demokrasi Peru yang berjalan pincang.

Melalui pengalaman Mario Llosa, sastra adalah pilihan untuk membalas, semacam ikhtiar untuk menuntaskan dendam atas kehancuran dalam pemilu. Melalui novel tersebut, ia mengkritik media yang tampaknya dipelihara pemerintah untuk melanggengkan kepentingannya sendiri. Elegan memang. Tentu saja hal itu tidak mengubah kenyataan. Mario Vargas Llosa tunduk, tapi kemudian ia unggul dalam soal lain dan menerima nobel sastra.

Iklan

Tentu saja perihal menerima kekalahan dalam pemilu tak segampang move on setelah ditinggal pergi kekasih ya Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei?

Move on selepas kekalahan dalam pemilu tampak sukar diupayakan, sebab orang kerap mencurahkan lebih banyak waktu dan penghasilan (juga pinjaman) untuk kemungkinan sukses yang lebih pipih dari selapis tisu.

Apapun itu, kekalahan dalam berbagai bentuknya harus bisa diterima. Bagaimana pun caranya, betapa pun sakitnya, meski harus bersandar pada omongan Om Mario. Satu hal yang sangat benar ialah kenyataan bahwa banyak orang yang justru makin menggeliat hebat setelah tumbang dalam gelanggang pertarungan. Bagi mereka, kemenangan yang sejati ditemukan setelah upaya bangkit dari keterpurukan. Seperti Machiavelli, Pram, atau Mario Llosa.

Saya perlu menambahkan beberapa nama, untuk membebaskan diri dari kemungkinan tuduhan membual.

Anjie dan Judika pernah tersisih di gelanggang pertarungan pencarian bakat. Sementara Anjie pulang lebih dahulu di fase awal Indonesian Idol, Judika menyerah di partai puncak setelah bertarung sengit melawan mendiang Mike Mohede.

Mereka tidak mengutuk penyelenggara atau berpura-pura juara. Berbekal hati lapang, keunggulan lawan diakui. Hal yang mengagumkan ialah bahwa cerita mereka tidak berakhir di panggung kekalahan itu. Mungkin pada mereka, Om Mario memberikan nasihatnya untuk kali pertama. “Kalau kita telah berupaya keras, tapi tetap gagal, mau lanjut atau berhenti?”

Pilihan mereka? lanjut! Apa yang terjadi kemudian? Anjie melejit bersama Drive, sebelum makin gemilang dengan solo karier sambil menghidupkan kanal Youtube DuniaManji. Hal yang sama terjadi pada Judika. Ia makin bersinar sebagai penyanyi hebat selepas kekalahan di Indonesian Idol itu.

Bagi mereka, bukan kalah dan menang dalam gelanggan pertarungan yang menentukan langkah, tetapi cara berjuang sesudahnya. Yah, pertarungan di Indonesian Idol barangkali tak serumit pertarungan Pemilu.

Ribuan tahun sebelum Bidadari Tak Bersayap karya Anji dirilis, jauh sebelum Yesus Kristus lahir, sosok Marcus Tullius Cicero lebih dulu tumbuh. Ia juga pernah merasakan getir kekalahan dalam langkah karier politiknya. Mirip dengan kekalahan Pak Prabowo dan peserta aksi 22 Mei.

Sekali waktu, ia dibuang dari Roma. Pada masa pengasingan itu, ia menulis traktat filsafat, politik, dan puisi. Cicero memang tidak kembali ke Roma sebagai kaisar sebagaimana Julius Caesar. Namun, setelah berabad-abad, kita masih mengenal namanya, masih bisa membaca karyanya. Seakan ia abadi. Lagi-lagi mukjizat orang kalah!

Lalu, bagaimana Prabowo, politikus 02, dan peserta aksi 22 Mei; orang-orang yang takluk dalam Pemilu 2019? Saya hanya bisa lamunkan suatu waktu setelah ceracau sepanjang proses itu berlalu, yang muncul adalah karya-karya seni.

Orang-orang menuliskan karyanya, entah novel, puisi, humor atau sebentuk balada. Bukan sebatas caci maki dan sepotong wasiat. Saya bayangkan literatur ilmu politik atau sastra yang grande dan bikin Indonesia makin jaya.

Jika tidak berlebihan, izinkan saya melamunkan suatu keajaiban yang mungkin agak ganjil. Bertahun-tahun kemudian, Pak Prabowo barangkali akan menuliskan novel seperi Lima Sudut di tangan Mario Vargas, sebuah ikhtiar mengkritik pemerintah melalui sastra yang sudah sering dituduh curang!

Terakhir diperbarui pada 22 Mei 2019 oleh

Tags: aksi 22 MeibawaslukpuPemilu 2019prabowo
Iwan Jemadi

Iwan Jemadi

Artikel Terkait

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO
Esai

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
kapitalisme terpimpin.MOJOK.CO
Ragam

Bahaya Laten “Kapitalisme Terpimpin” ala Prabowonomics

21 Oktober 2025
Hentikan MBG! Tiru Keputusan Sleman Pakai Duit Rakyat (Unsplash)
Pojokan

Saatnya Meniru Sleman: Mengalihkan MBG, Mengembalikan Duit Rakyat kepada Rakyat

19 September 2025
Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO
Aktual

Tak Asyiknya Bioskop Belakangan Ini, Ruang Hiburan Jadi Alat Personal Branding Prabowo

16 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.