Seperti Jogja, Surabaya pernah dihebohkan dengan kematian akibat miras oplosan. Tahun 2013, 11 orang meninggal usai menenggak cukrik, minuman dari arak yang dicampur racikan antah berantah. Minuman yang seharusnya menjadi sarana rekreasi justru menjadi ajang menuju mati.
Kisah 8 tahun silam
Kisah singkatnya begini, ada satu orang meninggal setelah menenggak miras oplosan. Karena sedih mendengar kabar tersebut, rekan almarhum memutuskan untuk turut minum setelah menguburkan korban.
Malam itu ternyata nahas buat 5 orang yang menenggak cukrik yang dicampur barang antah berantah tersebut. Paginya, 5 orang yang minum-minum itu sudah ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
Kejadian selanjutnya terjadi berturut-turut hingga kemudian total ada 11 orang meninggal dunia karena minuman oplosan. Kematian secara beruntun itu menjadi perbincangan yang besar di Surabaya. Obrolan dari warung kopi, kampus-kampus, hingga perkantoran terus membincangkannya waktu itu. Tidak henti-hentinya bahasan mengenai arak ini. Bagaimana tidak, waktu itu kejadiannya sangat miris ditambah permasalahan semacam ini seperti kejadian yang terus berulang.
Selama 8 tahun setelahnya, kisah itu terus membayangi saya. Terlebih karena memang dulunya saya suka berkeliaran di dekat tempat kejadian perkara. Di pasar yang sekarang sudah digusur.
Akhir Juni lalu, selepas kerja saya yang kembali melewati jalan itu menjadi ingin menapaktilasi tempat di mana dulunya saya sering minum-minum di sana. Terasa banyak sekali perubahan di tempat itu.
Waktu menunjukkan pukul 7 malam, biasanya pasar itu sangat ramai. Di sebelah kanan-kiri jalan banyak orang berjualan. Entah sayur, buah, perabotan rumah tangga, hingga pedagang kaki lima yang menjajakan makanan. Namun, karena adanya revitalisasi gedung olahraga, pasar itu menjadi tidak lagi semarak. Seringnya ada obrakan dari Satpol PP membuat para pedagang menjadi enggan berjualan di sana
Setelah 8 tahun kejadian itu, saya yang sedang melintasi Pasar tersebut tiba-tiba berhenti karena melihat sosok yang akan terus saya ingat dalam ingatan.
Dialah Patmo (60), bukan nama sebenarnya, bakul cukrik yang dulu pernah menjadi narapidana atas kejadian miras oplosan yang membuat orang meninggal di Surabaya.
Saya melihatnya sebagai sosok yang berbeda dibandingkan dulu. Berjalan santai dari arah masjid dengan menggunakan sarung serta kopiah, saya melihat wajah yang dulu kelam sekarang menjadi lebih bijaksana.
Dulu, saya sering membeli miras dari beliau. Jadi saya akan terus mengingat wajah itu. Wajah bapak-bapak yang selalu ramah meladeni saya yang kurang makan tapi ngotot beli minuman.
Dari menjual miras ke menjual jus
Saya mendapatkan informasi dari orang sekitar bahwa sudah 4 setengah tahun ini Pak Patmo bebas dari jeruji besi. Setelah menelisik lebih lanjut, saya akhirnya tahu bahwa pekerjaannya sekarang adalah berjualan jus buah.
Karena penasaran dengan sosok yang pernah menjadi langganan saya itu, saya pun segera menemuinya. Perasaan khawatir takut menyinggung perasaannya atau mengungkit-ungkit kejadian masa lalu terus membayangi saya. Tapi, karena melihat sifat Pak Patmo itu yang sepertinya sudah berubah saya pun memberanikannya.
Yang memotivasi saya juga karena ingin meluruskan kejadian masa lalu serta karena keinginan kuat menulis kebaikan. Saya yakin Pak Patmo juga sebenarnya ingin mengungkap kejadian sebenarnya. Dengan mengucap bismillah terlebih dulu, saya pun menuju kedai jus kecil miliknya.
Saya menemuinya di tempat setiap malam harinya beliau berjualan jus. Dengan sabar karena di tiap obrolan musti terputus karena ada yang hendak membeli jus, saya mendengarkan kisah yang membuatnya dibui.
Gayung pun bersambut. Saya memesan jus wortel terlebih dahulu yang disambut Pak Patmo dengan mempersilahkan saya untuk duduk dan saya bersiap mendapatkan cerita yang bermula pada 8 tahun lalu itu.
Bapak yang berjualan jus dengan menggunakan udeng ikat Suroboyoan itu menjelaskan bahwa beliau bukanlah pembuat minuman keras. Beliau hanya tengkulak. Minuman berjenis arak yang di Surabaya sering disebut cukrik itu didapatkannya dari penjual dari Tuban. Ia tidak perlu pergi jauh ke Tuban. Minuman itu dikirim langsung ke rumahnya oleh salah seorang agen.
Setahun Pak Padmo berjualan, tidak pernah ada komplain. Bahkan pelanggannya pun semakin bertambah. Bapak itu menjual hanya kepada orang yang dikenalnya dan tidak menjual untuk anak-anak. “Dulu pernah ada yang beli pakai seragam sekolah, tapi langsung saya tolak karena anak seusia itu belum pantas untuk minum arak,” ujarnya.
Diceritakannya bahwa setahun berjualan itu tidak ada kejadian apa-apa. Memberikan uang kepada pihak keamanan secara rutin juga turut membuat usahanya lancar jaya.
Pak Patmo yang rambutnya mulai banyak uban itu juga menjelaskan bahwa harga arak yang ia jual dulu Rp 32 ribu untuk yang botol berukuran 1.500 ml dan Rp 15 ribu untuk 600 ml. Beli dari tengkulaknya Rp 27 ribu untuk botol besar dan Rp 10 ribu untuk botol tanggung.
Selama setahun, Pak Patmo menjual cukrik dari rumahnya langsung. Sehari ia bisa menjual 100 botol kalau sedang ramai, kalau sepi biasanya hanya 20 botol. Selama 24 jam Pak Patmo setia melayani langganannya. Dari bapak-bapak berkantong tebal hingga pemuda berwajah kurang makan yang ngotot beli minuman seperti saya.
Lalu muncul kabar bahwa satu per satu langganannya meninggal. Pak Patmo itu menjadi terjadi tertekan. Apalagi yang meninggal itu juga ternyata adik kandung istrinya sendiri. Karena merasa terus dihantui rasa bersalah, bapak yang sangat tidak ingin saya sebutkan nama aslinya dan dan diambil gambarnya ini pun menyerahkan diri ke kepolisian.
Dijelaskan pula olehnya bahwa yang meninggal itu pertamanya hanya satu. Lalu yang meninggal setelah pemakaman itu ada lima. Entah kenapa berita yang beredar itu jadi 11. Sepertinya yang meninggal di daerah lain juga disangkut pautkan dengan kasusnya.
Pak Patmo ini pun akhirnya harus mendekam di hotel prodeo. Dengan dakwaan menjual barang ilegal tanpa izin, bapak 2 anak ini pun harus ikhlas menerima nasib kurungan 3,5 tahun di penjara. Hukuman ini cukup ringan karena pembuat arak dari Tuban itu juga tertangkap. Penjual dari Tuban yang tidak bisa saya sebutkan namanya ini menjadi tersangka utama karena menjual minuman keras berbahaya tanpa izin.
Tidak ada tuntutan dari para keluarga korban yang meninggal akibat miras. Keluarga korban seperti memaklumi bahwa yang salah memang pembeli minuman itu adalah atas ulahnya sendiri.
“Saya menyerahkan diri, nggak pakai tangkap-tangkapan. Saya diantarkan istri saya langsung ke kantor polisi. Saat di persidangan saya juga tidak mendapatkan tuntutan dari siapa pun. Saya berani berbuat, berani bertanggung jawab,” kata Pak Patmo.
Karena dianggap mau kerjasama dengan kepolisian, hukuman itu yang dijatuhkan kepadanya pun tervonis cukup ringan. Meskipun waktu itu diceritakan bapak juga tidak menggunakan pengacara karena tidak mampu dengan biayanya.
Tak bijaknya peminum adalah masalah
Pak Patmo dengan berani menjelaskan ke pengadilan bahwa ia memang bersalah tapi tidak sepenuhnya bersalah. Dijelaskannya bahwa bisa saja yang salah adalah peminumnya yang mencampuri minuman itu dengan zat-zat berbahaya. Perlu diketahui, santer terdengar di obrolan pasar bahwa orang-orang di sana suka mengoplos minumannya dengan autan, pentol korek, spiritus, dan lain-lain.
Mengoplosnya dengan zat berbahaya macam ini dulu dipercaya bisa menimbulkan efek mabuk yang lebih kuat. Karena campuran semacam ini harganya sangat murah, mereka jadi tidak berpikir 2 kali untuk langsung mengoplosnya.
Memang dulu saya juga suka mengoplosnya. Tapi tidak dengan dengan barang berbahaya macam itu. Saya bersama teman seper tongkrongan biasanya mencampurinya dengan minuman ringan agar bisa mengubah rasanya lebih enak dan juga agar minumannya menjadi lebih banyak. Biasanya yang dipakai itu yang bersoda. Seperti Coca Cola, Fanta, Tebs, Calpico Soda, dan kalau punya kelebihan rejeki dengan bir Bintang.
Selain itu mabuk di sana juga kadang dijadikan ajang adu kekuatan. Yang minumnya kuat akan diakui hebat. Siapa yang bisa minum lebih banyak akan menjadi yang terkuat juga menjadikan mereka tidak menjadi peminum yang bijak. Dan berujunglah kisah adu kuat menenggak miras ini dengan cerita yang nahas.
Pak Patmo tidak memungkiri adanya dugaan kuat tentang hal itu. Juga karena selama setahun ia berjualan belum pernah ada keluhan tentang minuman yang dijualnya itu bermasalah. Baru setelah ada kejadian meninggal itulah Pak Patmo jadi ketiban apesnya.
Sebagai reseller Pak Patmo tidak tahu bahwa yang barang yang dijualnya itu punya cacat saat diproduksi atau tidak. Narasi-narasi itulah yang digunakan Bapak untuk memperingan kasusnya.
Setelah proses persidangan yang singkat, Pak Prapto pun akhirnya mendekam di Rutan Medaeng untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Pertamanya saya dijebloskan ke Rutan Medaeng, tapi nggak tahu kenapa 4 bulan setelahnya saya dipindahkan ke Bangil. Nah di Pasuruan inilah saya bertemu dengan banyak kiai dan ustad sehingga saya sepenuhnya bisa menuntun untuk berubah menjadi lebih baik,” ceritanya.
Berjanji berubah menjadi lebih baik
Di dalam sel itu, Pak Prapto mendekam dengan 5 orang yang alhamdulillah sepemikiran dengannya untuk bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Di Rutan Bangil, Pasuruan itulah Pak Prapto menjadi rajin salat dan mulai belajar mengaji.
“Sedari kecil yang memang sebenarnya rajin salat, tapi untuk membaca tulisan Al-Quran saya baru belajar di sana. Di sana saya benar-benar merenungi segala hal yang telah saya lakukan selama hidup. Saya akan berusaha menjadi lebih baik selepas keluar,” ceritanya kepada saya sambil meladeni jus alpukat dari pembelinya.
Di penjara itu diceritakan bahwa sehari-harinya Pak Patmo diisi dengan siang hari mengerjakan tugas dan malamnya diisi dengan pengajian. Pada siang hari biasanya Pak Patmo mendapat tugas untuk mengecat bermacam peralatan.
Kadang juga Pak Patmo mendapat tugas untuk berternak ikan lele. Setelah selesai melakukan tugas, Pak Patmo mandi dan langsung ikut mengaji. Ilmu-ilmu yang diajarkan di penjara Bangil itulah yang mulai diaplikasikan Pak Patmo hingga saat ini.
Karena di penjara terus menunjukkan kelakuan baik, Pak Patmo akhirnya bisa mendapatkan remisi satu tahun. Pak Patmo yang dulunya divonis 3,5 tahun masa penahanan dipangkas menjadi 30 bulan saja. Pada bulan September 2015, Pak Patmo pun akhirnya bisa berkumpul kembali dengan keluarganya.
Diceritakanlah kepulangannya dipenuhi oleh suasana haru. Beberapa rekan lamanya yang tidak sempat menjenguknya di penjara mulai ke rumah. Banyak yang tidak menyangka bahwa menjual miras seperti ini bisa sampai di penjara sekian lama. Tidak ada yang menyangka juga berawal dari menjual minuman seperti bisa sampai menyebabkan orang meninggal.
Mereka satu per satu memberikan semangat kepada Pak Patmo agar lebih semangat menjalani hidupnya. Anak-anak yang sudah mulai besar dan kenal pacaran pun tidak bisa dipungkiri mengubah sifat Pak Patmo. Pak Patmo yang dulunya jarang ke Masjid untuk salat berjamaah sekarang menjadi rajin. Pak Patmo jadi sering ikut tahlilan dan juga bersosialisasi lagi dengan tetangganya.
Pak Patmo tidak memungkiri ada perasaan malu ketika berhadapan dengan keluarga korban miras yang adalah tetangganya sendiri itu. Tapi ketika dijelaskannya bahwa istri dari yang meninggal itu sudah jengkel melihat kebiasaan suaminya yang doyan mabuk dan berakhir meninggal itu Pak Patmo tidak bisa berbuat banyak.
Kebiasaan mabuk di daerah itu memang seperti sudah melebihi batas kewajaran. Seringkali ada omongan bahwa istri dan juga ibu mulai marah-marah mendapati para suami dan anak pulang ke rumah dalam keadaan sempoyongan. Kebiasaan mabuk seperti ini memang sering membuat pekerjaan para lelaki itu menjadi terlalaikan.
Karena mendapat beban mental seperti itu, Pak Patmo sekarang ingin terus berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun dulu sempat membuka usaha dengan berjualan lontong kikil bersama istrinya tapi digusur karena pembangunan gedung olahraga, Pak Patmo tidak putus asa. Ia terus menjalani hidup dengan kebaikan agar apa yang dilakukannya mendapatkan berkah.
Yah, Pak Patmo sekarang berjualan jus buah bersama istrinya di tempat yang baru. Memulai semuanya dari awal lagi, dan tidak lupa selalu berdoa. Apa yang dialaminya, mengajarkan sesuatu. Bahkan setiap orang bisa berubah asal ada kemauan.
Saya melihat itu di setiap senyum ramahnya melayani setiap pembeli jus buahnya. Senyum yang beda dengan 8 tahun lalu ketika saya ke rumahnya, dan senyum itulah yang membuat saya percaya bahwa dia telah berubah menjadi lebih baik.
BACA JUGA : Sejarah Lapen yang Terlupakan, dari Jamu di Jalan Solo hingga Jadi Miras Oplosan dan liputan lainnya di SUSUL.