MOJOK.CO – Lima tipe ibu-ibu yang belajar mengaji.
Sejak pulang ke Semarang dua tahun lalu, Ayah melibatkan saya dalam “agenda akhirat”-nya.
“Jihadmu kini tidak pakai pedang, tanpa teriakan takbir, dan tidak perlu turun ke jalan. Kamu lihat di dekatmu ada ibu-ibu yang pengin bisa ngaji dengan benar, tapi tidak ada yang ngajari. Maka ajarilah.”
Sebagai anak yang berbakti dan punya banyak waktu luang karena jomblo, saya pun mengiyakan ajakan Ayah. Jadilah malam-malam saya habis di bawah atap Gedung Dakwah. Jadwal ngajinya Senin sampai Kamis, diliburkan kalau hujan gerimis.
Awalnya, saya kira ngajar ngaji ibu-ibu bakal lebih santai. Ternyata nggak juga.
Kalau ngajar ngaji anak-anak, kita mulai betulan dari nol, dari alif ba ta, mengenalkan harakat, tanda baca, hukum tajwid mulai dari aneka mad sampai bedanya qalqalah kubra dan sughra, lalu melipir ke aktivitas seru seperti melukis kaligrafi.
Kami juga belajar menelisik sejarah nabi, kenalan dengan tokoh Islam macam Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, membayangkan Perang Badar, mengenal taktik perang Salman a-Farisi, kesal pada Abu Jahal, sampai jatuh hati pada Bilal bin Rabbah, Umar bin Khattab, dan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Anak-anak juga banyak bertanya, tapi lekas mengerti dan mudah ingat. Mungkin karena memorinya masih gaspol. Syukur wal hamdulillaah punya kesempatan terlibat di sana, walau keadaannya serbaterbatas: papan tulis pakai tembok, penerangan minim, pengajar sedikit.
Sementara itu, banyak ibu baru mulai mengeja huruf hijaiyah dan itu lebih butuh penanganan dibanding ngajarin anak-anak karena para ibu ini lebih banyak lupanya. Maklum, pikiran mereka sudah banyak diisi soal kerjaan dan rumah tangga.
Dengan ibu-ibu, tidak ada aktivitas melukis kaligrafi atau mengenal tokoh Islam, melainkan sharing hadis sampai curhat soal rumah tangga dan perkara kehidupan ala ibu-ibu lainnya.
Misalnya, dosakah memarahi suami yang malas bekerja? Atau, dosakah saya kalau anak saya nanti tumbuh jadi anak nakal padahal saya sudah mendidiknya sebaik mungkin? Perkara yang penting, substansial, dan datang betulan dari kehidupan sehari-hari.
Setelah intensif bergaul dengan ibu-ibu tadarus ini, saya berhasil memetakan setidaknya 4 tipe ibu-ibu tadarus.
Pertama, tipe Terjatuh dan Berusaha Bangkit Lagi.
Mereka ibu-ibu yang mulai ngaji dari jilid 1 sampai 6, belajar tajwid dan makhraj dari nol. Ibu tipe ini banyak lupa dan ragu, biasanya lupa mana huruf wa mana fa. Mengeja bacaannya juga peeelaaan-peeelaaan, jadi harus full didampingi tiap mengaji. Agak lelah memang, tapi ibu inilah cermin esensi kehadiran kita bagi mereka.
Ibu-ibu tipe pertama ini biasanya hafal surat pendek, tapi ya hafal saja. Tidak tahu huruf hijaiyahnya, tidak tahu hukum bacaan, tidak tahu artinya, karena memang tidak diajari, hanya disuruh menghafal.
Jadi kalau disuruh baca surah pendek macam An-Naas, ya bisa saja, tapi begitu diminta membaca surat tersebut sambil nyemak Juz ‘Amma, mereka malah nggak bisa. Akibatnya, ibu-ibu tipe ini cenderung lama belajar Juz ‘Amma dan hanya akan lanjut ke level Al-Qur’an jika sudah lebih lancar membaca. Walau tertatih, yang penting semangatnya tetap ’65, eh ’45 maksudnya.
Kedua, tipe Nggak Pedean.
Sudah masuk level al-Qur’an, sudah pernah tahu dan paham, tapi ibu-ibu suka lupa itu bacanya gimana. Tipe ini juga sering tiba-tiba nge-blank, berhenti di tengah jalan, nyengir dan mengeluarkan tawa yang menular ke jamaah lain, lalu nanya, “Eh, iki piye mbacanya, Mbak?”
Plus, ibu nggak pedean ini juga selalu ragu tiap ngaji.
“Qoola dzaaalika… eh bener, ya? Bener, tho?”
“Inggih, leres, Bu,” kata saya, “monggo dilanjut.”
“Qoola dzaalika maa kunna, bener, kan? Ini na-nya dibaca pendek, kan?”
“….”
Gitu terus sampai saya berani minta foto bareng sama Mahfud Ikhwan.
Kalau sudah gemas, saya genggam tangannya sambil bilang, “Bu, baca aja. Ibu sudah bagus kok bacaannya. Nanti kalau ada yang keliru pasti saya beri tahu.”
Si Ibu ngguyu lagi.
Ketiga, tipe Senior.
Ini yang sering bikin lelah jiwa. Mungkin karena merasa jauh lebih tua dan telah menelan pahit manis kehidupan dibanding saya, seorang jomblo yang masih sabar nungguin Mas-nya (batuk bentar), ibu-ibu tipe ini cenderung nggak nyaman untuk dikoreksi. Kita yang mau mengoreksi bacaannya pun jadi segan. Bikin dilema, deh. Kalau dikoreksi, beliau mungkin saja ngambek dan kesal. Kalau nggak diperbaiki bacaannya, bisa-bisa saya yang salah, bahkan berdosa kerana mendiamkan perkara yang saya tahu salah dan saya tahu cara memperbaikinya.
Misalnya? Gini, beliau membaca,
“Far tada….”
“Ibu, ini bacanya, far tadda, karena ada tasydid jadi huruf da-nya dibaca dobel, seolah ada dua.”
Si Ibu menghela napas. Tiba-tiba volume beliau jadi meninggi, “FAR TADDAAAA~”
Saya nyengir. Selow ae, Bu~
Ibu-ibu tipe ini biasanya juga nggak sabaran, tidak tertib panjang pendeknya, ketemu hukum tajwid yang harusnya si huruf dibaca melebur pun nggak digubris. Menghadapi yang begini harus memantapkan senyum dan mempertebal sabar, tapi tetap seru.
Tipe terakhir, the most swag!
Tipe ini termasuk ibu-ibu yang mudah paham huruf dan tanda baca, sudah tartil pula, qalqalah jelas, panjang-pendeknya dapet. Kalau dikoreksi nggak menampakkan kekesalan, dan selalu tanya kalau nggak tahu. Duh, berkah dalem untuk ibu-ibu yang sabar ini. Kebanyakan sudah berumur hingga 60 tahun.
Kepada ibu-ibu ini, saya pernah tanya, “Kenapa tidak ngaji di rumah saja, Bu? Wong bacaan makhraj Ibu bagus, saya malah kalah.”
Mereka menjawab, “Enak di sini, ada temannya. Ada yang nyimak.”
Aih, uwuwuwu~
Bagaimanapun tipenya, menghadapi ibu-ibu tadarus sama saja dengan mengajari anak-anak: kudu sabar dan telaten. Apalagi bagi ibu-ibu ini, menyisakan waktu untuk ngaji bareng di jam-jam rawan lelah setelah seharian bekerja, masak, dan ngurus anak-bojo jelas tidak mudah. Belum kalau mata sudah mulai rabun. Diasyikin aja ya, kan.
Jadi, kesimpulannya… kapan aku bisa ngaji sama ibukmu, Mas?