Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Lah, Kalian Itu Mau Rekonsiliasi atau Perang Lagi?

Iqbal Aji Daryono oleh Iqbal Aji Daryono
5 Oktober 2015
A A
Lah, Kalian Itu Mau Rekonsiliasi atau Perang Lagi?

Lah, Kalian Itu Mau Rekonsiliasi atau Perang Lagi?

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

“Jadi orang jangan absolut-absolutan. Jangan mutlak-mutlakan.” ~ Rusdi Mathari.

Ketika menyimak debat rutin di akhir September, petuah suci Cak Rusdi berdenging di telinga saya. Benar, terlalu banyak yang main mutlak-mutlakan dalam membicarakan Tragedi 1965. Umat jadi terbelah dua.

Di sebelah kanan ada sejarawan Orde Baru, kelompok Islam, antikomunis, dan generasi bentukan pendidikan Orba. Mereka ngotot bahwa perkara ’65 itu nggak perlu diungkit lagi. Satu-satunya yang wajib dijalankan negara hanyalah membentengi Indonesia dari bahaya laten komunis, melarang hadirnya simbol palu-arit, gitu-gitu deh. 

Di sebelah kiri ada intelektuil kritis, sejarawan kontemporer (baik sejarawan beneran maupun yang part time), dan juga mereka yang memang pro-komunis. Bagi barisan ini, yang harus dijalankan adalah permintaan maaf negara kepada korban pembantaian massal pasca-Oktober 1965, pelurusan sejarah yang telah dipalsukan Orba, pencabutan larangan Marxisme, dan sebangsanya. 

Itu saja. Itu saja.

Golongan kanan sama sekali tak pernah membahas pembantaian massal, yang menurut mereka hanyalah “reaksi spontan dan wajar” atas kekejaman PKI. Persetan ribuan korban tak bersalah dalam air bah penyembelihan manusia, pokoknya yang bau-bau komunis wajib digilas.

Sementara golongan kiri tak pernah membicarakan bagaimana provokatif, ngehek, bahkan brutalnya orang-orang PKI sejak jauh hari pra-1965. Seolah segala yang mengabarkan kelakuan orang komunis itu semua-muanya tak lebih dari produk propaganda Soeharto. Seolah Soeharto semacam “Tuhan” yang tinggal bilang “Kun fayakun!”, maka yang tadinya tidak ada tiba-tiba mak-cling jadi ada.

Sebenarnya, sudah agak lama kulit kepala saya gatal gara-gara menyimak kelompok kiri itu. Kalau yang kanan, yah, kan memang mayoritas bukan orang sekolahan. Tapi yang kiri kebanyakan berpendidikan, baca buku pula. 

Hingga pada satu malam, Mahfud Ikhwan (penulis novel Kambing & Hujan itu, tuuuh) menata pertanyaan-pertanyaan lama saya dalam kalimat asyik: “Bagi sejarawan Orba, sejarah ibarat berhenti di Oktober 1965. Bagi sejarawan kontemporer, sejarah seakan baru dimulai pada Oktober 1965.”

Jlebbb!

***

Gara-gara saya mengeluh tentang itu di Fesbuk, seorang pemuda nan-progresif melempar komentar: “Mas, jangan mau dibohongi Orde Baru. Belajar sejarah dulu.” Huahahaha! Mantap, memang.

Begini, Anak Muda. Generasi saya ini lumayan beruntung karena mencicipi sedikit keberimbangan. Menjalani SD sampai SMA pada masa Orba, dan masuk kuliah persis setelah Reformasi 1998.

Ibarat imunisasi, cekokan bius indoktrinasi Soeharto masuk ke tubuh saya secara sempurna. Lengkap. Mulai Penataran P4, nonton rutin film Arifin C. Noor, bikin tugas pelajaran Sejarah dan PMP yang nganu-nganu itu, hingga upacara bendera tiap 1 Oktober. Namun, saya juga merasakan bagaimana gelombang wacana yang mengkritik Orba membludak bak jamaah haji di Terowongan Mina.

Maka saya pun membaca tulisan-tulisan yang mendekonstruksi narasi sejarah resmi Orba. Mulai Robert Cribb, Ben Anderson, Asvi Warman Adam, Hermawan Sulistiyo, hingga Hilmar Farid. Saya juga menonton film John Pilger, The New Rulers of The World; Mass Grave-nya Lexy Rambadetta, dan Shadow Play-nya Chris Hilton.

Iklan

Setelah puluhan tahun dijejali pelajaran sejarah ala Nugroho Notosusanto, sudah barang tentu sumber-sumber yang saya akses pasca-1998 itu bikin terpesona. Maklum, Anak Muda, menjadi rebel itu seksi, bukan? Ayolah, ngaku saja. 

Saya pun jadi latah, ikut-ikutan memancangkan iman bahwa PKI memang 100% tak lebih dari korban pergolakan global, pelanduk yang mati gepeng di tengah tarik-ulur masa Perang Dingin. Saya memuja Pramoedya setinggi Gunung Merapi. Saya menjunjung Gus Dur sedikit di atasnya.

Seiring umur (halah), saya kemudian bertanya-tanya: bagaimana bisa api itu berkobar begitu cepat dan dahsyat di tahun 1965-1966, jika sekam di bawahnya memang tidak panas sedari mulanya? Nggak mungkin, Bro. Mbok mikir to…

Saya pun kembali mendengarkan cerita-cerita lama. Kisah-kisah dari para orang tua. Kesaksian-kesaksian yang beraneka rupa. Nah, di sinilah untungnya. Sebab generasi saya masih mengalami keberadaan kakek-nenek yang menjadi saksi mata segala kejadian di tahun 1950-1960an. Jelas, bukan buku sejarah Orba yang saya baca. Terlalu banyak kebohongan di dalamnya.

Tapi apa iya kita mau menyangkal kesaksian para orang tua yang—ketika kalian jadi sperma pun belum—merasakan betapa panas dan mencekamnya tahun-tahun itu, sekaligus betapa brutalnya orang-orang komunis pada masa itu?

Akhirnya saya tiba pada kesimpulan, bahwa ini memang luka bagi semua. Terlalu bodoh jika mengimani sepenuhnya dongeng ala Orba. Tapi terlalu lebay jika ber-euforia, sampai-sampai menganggap tingkah polah orang-orang komunis waktu itu sepenuhnya baik-baik saja.

Eits, kalian kaum progresif titisan Semaoen jangan ngamuk dulu ya. Saya tidak sedang bicara tentang apa itu komunisme, Marxisme, dan segala yang normatif tentangnya. Itu kalian urus sendiri, lah. Saya cuma bicara tentang kelakuan orang-orang komunis sebelum 1965, sebab itu nyata. Meski pastilah tidak separah gambaran Soeharto.

Yang sisi kanan juga jangan buru-buru menyumpal mulut saya. Saya tidak sedang menghidup-hidupkan kembali komunisme. Sebagai tradisionalis-kejawen, toh saya akan dicemplungkan dalam kategori setan desa oleh mereka. Tapi gini, Akhi. Yang namanya pembantaian massal 500.000 hingga 2 juta jiwa pasca-1965 itu ada! Jelas ada.

Gelombang pembantaian itu pun tidak sesederhana spontanitas pembelaan diri. Aspek “amok” jelas terlibat—sebagai reaksi mengingat gaya orang-orang PKI. Tapi bahwa Sarwo Edhie dan segenap tentara melakukan road show, menata skenario pembantaian dengan beragam bumbu dan fitnah (misalnya pemotongan penis para jenderal), melakukan ratusan ribu eksekusi tanpa proses peradilan, itu juga nyata.

Belum lagi korban-korban tak bersalah yang turut menjadi tumbal para algojo haus darah. Hanya karena seorang perempuan ikut Gerwani, misalnya, tak peduli seumur hidupnya dibaktikan demi pendidikan masyarakat, tak peduli dia nggak ikut-ikutan melakukan serbuan mental ke kelompok seberang, tetap saja ia disembelih seolah bukan manusia. Bahkan hanya karena seorang pemuda pernah main bola dengan anak-anak Pemoeda Rakjat, ia turut dibabat lehernya.

***

Negara memang harus menulis ulang buku Sejarah Nasional Indonesia. Sembari itu, agar terjadi rekonsiliasi, permintaan maaf juga harus disampaikan kepada semua korban kebohongan dan pembantaian negara. Maka, selain kepada korban Tragedi 1965, negara juga wajib minta maaf ke korban Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Haur Koneng, dan sebagainya. Juga kepada rakyat Aceh yang dibunuhi, rakyat Papua yang ditembaki, dan lain-lain. Sebaliknya, kalangan komunis juga selayaknya meminta maaf atas kesalahan-kesalahan masa lalu mereka.

Benar sekali, semua harus saling maaf dan memaafkan.

Tapi… tentu saja adegan begituan cuma akan muncul dalam drama princess-princess-an. Jadi, ya sudahlah, saya saja yang minta maaf. Sini, salim satu-satu!

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: #50Tahun65IndonesiaKomunisRekonsiliasi
Iqbal Aji Daryono

Iqbal Aji Daryono

Penulis dari Bantul. Lulusan Sastra Jepang, UGM.

Artikel Terkait

kerja sama indonesia prancis.MOJOK.CO
Sosial

Indonesia-Prancis Teken Kerja Sama Perfilman di Candi Borobudur, Angin Segar Industri Sinema Tanah Air

29 Mei 2025
Irfan Afifi: Kalau Tidak Ada Tanda Maju, Mengapa Indonesia Tidak Pilih Mundur Saja?
Video

Irfan Afifi: Kalau Tidak Ada Tanda Maju, Mengapa Indonesia Tidak Pilih Mundur Saja?

26 Maret 2025
bti, petani, tani.MOJOK.CO
Ragam

Rumus “3S-4J-4H” Wajib Dijalankan Pemerintah Kalau Mau Petani di Indonesia Maju

28 Januari 2025
Irfan Afifi: Orang Jawa Punya Skill Berpura-pura sehingga Cocok dalam Berpolitik
Video

Irfan Afifi: Orang Jawa Punya Skill Berpura-pura sehingga Cocok dalam Berpolitik

8 November 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Macam-macam POV orang yang kehilangan botol minum (tumbler) kalcer berharga ratusan ribu MOJOK.CO

Macam-macam POV Orang saat Kehilangan Tumbler, Tak Gampang Menerima karena Kalcer Butuh Dana

28 November 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.