Rambat dan Midah boleh jadi adalah pasangan yang ideal. Keduanya sudah saling jatuh cinta sejak mereka duduk di bangku SMA. Dasar nasib mujur, orangtua keduanya kok ya ndilalah kenal baik dan punya hubungan yang erat pula. Maka, tak heran jika begitu lulus SMA, keduanya sudah langsung dijodohkan dan akhirnya menikah setelah masing-masing lulus kuliah.
Rambat adalah anak seorang carik, sedangkan Midah anak seorang mantri kesehatan. Orangtua Rambat dan orangtua Midah kenal baik, sebab, bapaknya Midah sering diminta untuk memberikan penyuluhan kesehatan di desa tempat bapaknya Rambat bertugas.
Rambat anak pertama, ia lelaki yang sebenarnya tidak cakep-cakep amat. Yah, kalau skala 1 sampai 10, Rambat ini mentok di angka 7. Sedangkan kalau Midah, ia memang seorang bunga sekolah. Cantiknya ngedap-edapi, sejak jaman masuk SMA, ia sudah menjadi incaran para siswa lelaki di sekolahnya, dan Rambat adalah salah satunya.
Sebagai seorang bunga sekolah dengan paras yang cuantik, tentu banyak siswa lelaki yang mendekati Midah. Semuanya berlomba-lomba untuk memberikan hadiah atau bingkisan untuk Midah. Mulai dari coklat, puisi, gelang, buku paket, bahkan sampai ada yang berniat membelikan Midah hewan ternak —yang oleh Midah ditolak mentah-mentah, tapi oleh bapaknya dipaksa untuk diterima.
Nah, dari semua pemberian dari para lelaki tersebut, ternyata tidak ada yang bisa menarik perhatian Midah, kecuali satu: pemberian dari Rambat. Usut punya usut, ternyata Rambat yang juga menjadi salah satu pasukan ngalap berkah asmara-nya Midah, dulu ikut-ikutan memberikan hadiah buat Midah. Dan tahu apa hadiahnya? Satu bungkus roti selai merek Sariroti dan satu gelas susu kemasan merek Susu Murni Nasional. Bersama hadiahnya itu, Rambat menuliskan pesan, “Ini roti dan susu buat dik Midah. Rotinya penuh nutrisi, bagus buat kesehatan Dik Midah. Sedangkan susunya susu UHT, gizinya baik dan terjaga, Insya Alloh baik juga buat kesehatan Dik Midah.”
Sebagai anak seorang mantri kesehatan, Midah segera tertarik dengan hadiah dari rambat yang sangat memperhatikan unsur kesehatan. Sejak saat itu, Midah mulai memperhatikan Rambat, dan perlahan, tumbuh juga benih-benih cinta kepada Rambat. Bahkan, Midah dululah yang berinisiatif menembak Rambat, bukan sebaliknya.
Setelah lulus kuliah dan menikah, keduanya kemudian membeli rumah sederhana di dekat kantor kelurahan tempat bapaknya Rambat bekerja. Di rumah kecil yang sederhana itu, mereka berdua merajut bahtera rumah tangga yang senantiasa menyenangkan. Rambat bekerja sebagai layouter di salah satu penerbitan di kota. Sedangkan Midah, yang seorang lulusan fakultas bahasa Inggris bekerja dari rumah dengan menerima jasa penerjemahan artikel dan dokumen yang ia iklankan melalui internet. Gaji Rambat sebagai layouter ditambah uang honor terjemahan yang didapat Midah lebih dari cukup untuk membiayai operasional rumah tangga mereka berdua.
Pelan tapi pasti, rumah mereka yang sederhana pun tumbuh menjadi tak sederhana lagi. Hampir setiap bulan mereka mencicil perbaikan rumah, membeli furniture baru, sampai menambah elektronik seperti kulkas, mesin cuci, sampai AC. Hingga tak terasa, di usia pernikahan mereka yang lima tahun, rumah mereka sudah bukan lagi rumah sederhana, melainkan rumah mewah yang boleh jadi masuk dalam daftar 10 rumah paling menjanjikan kesenangan di kampungnya.
Namun, kehidupan yang mapan tersebut tak serta merta menyenangkan Rambat dan Midah. Mereka merasa kehidupan rumah tangga mereka belum lengkap sebab di tahun kelima pernikahan mereka, Tuhan belum juga memberikan mereka keturunan. Ini menjadi beban tersendiri dalam rumah tangga mereka.
Rambat dan Midah telah mengikuti saran kawan-kawannya agar bisa segera mendapatkan momongan. Mulai dari terapi fisik, minum ramuan tradisional, sampai meminta doa kepada orang-orang yang dianggap alim. Hasilnya selalu nihil.
Sebagai suami yang pengertian dan penuh cinta, Rambat berusaha menghibur Midah istrinya agar tabah menghadapi kenyataan ini.
“Cinta Mas tak akan berubah walau kita tidak punya anak, Dik” hibur Rambat kepada Midah. Namun, Midah tetap tidak bisa tenang, ia merasa tiada guna menikah jika dia tidak bisa hamil. Padahal menurut pemeriksaan dokter, mereka berdua sehat-sehat saja. Tidak seorang pun diantara mereka yang mandul. Midah dan Rambat senantiasa berusaha tanpa mengenal putus asa, walau batin mereka berdua sejatinya menderita juga, tiap hari gundah gulana.
Tahun-tahun berlalu, tapi permasalahan keturunan ini tidak juga berakhir. Segala upaya nampaknya sia-sia, sementara umur keduanya terus bertambah. Teman-teman mereka pun tak henti-hentinya memberikan masukan kepada mereka berdua agar bisa segera punya momongan. Namun, makin giat mereka berusaha, makin jauh mereka dari harapan.
Midah dan Rambat mulai merasa pernikahan mereka sial betul. Hal tersebut mau tak mau kemudian memengaruhi hubungan Rambat dan Midah. Yang tadinya saling pengertian dan saling menyokong saat suka dan duka, akhirnya terguncang juga. Rambat jadi jarang pulang tepat waktu, karena jika pulang, yang dia dapati hanya wajah murung istrinya. Sedangkan Midah, demi mendapati suaminya selalu pulang larut malam, ia pun mulai berprasangka yang tidak-tidak. Dia curiga suaminya selingkuh dan memiliki wanita idaman lain.
Merasa tak tahan menghadapi penderitaan berumah-tangga seorang diri, Midah kemudian menceritakan pada teman dekatnya tentang apa yang terjadi di rumah tangga mereka.
“Coba nanti jika suamimu pulang telat lagi dan mengetuk pintu, kamu menyahut dari dalam kayak gini, ‘Itu kamu, Mas Yanto?’” kata teman Midah.
“Lho kok Yanto? Suamiku kan namanya Rambat?” potong Midah bingung.
“Iyaaa, itu supaya suamimu kapok tidak pulang malam lagi. Biar dia sadar kalau yang punya kesempatan buat selingkuh bukan cuma dia saja, tapi kamu juga bisa. Dari situ, nanti kalian berdua bisa saling membuka diri untuk mencari kebenaran, apakah suamimu selingkuh atau tidak.” jelas temannya.
Midah manggut-manggut paham. Dia segera membuat perencanaan seperti yang dikatakan kawannya jika nanti malam Rambat pulang telat lagi.
Malam harinya, walau terkantuk-kantuk di ruang tamu, Midah tetap berusaha siaga satu agar tidak ketiduran sampai pagi demi terlaksananya rencana ini. Rambat harus dibikin tobat.
Malam itu, Rambat pulang sangat larut, tengah malam. Midah telah menunggu semalaman dengan sabar demi berjalannya skenario. Seperti biasa, Rambat mengetuk pintu tiga kali. Dari dalam Midah segera menyahut.
“Itu kamu, Mas Yanto?” tanya Midah setengah berteriak.
Rambat bingung. Dia celingukan kiri-kanan, dan kemudian segera berbisik melalui sela-sela pintu, “Ini bukan Yanto suamimu, Dek Helen. Ini Bang Rambat”
Seketika itu juga, dari dalam rumah, tercium hawa membunuh yang amat kuat. Kedua mata Midah merah menyala.