Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Melihat Kehidupan Malam Tanpa Perlu Jadi Hakim Kebenaran

Esty Dyah Imaniar oleh Esty Dyah Imaniar
8 Januari 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ini adalah kisah saya sendiri di tengah kehidupan malam kota Semarang. Ketahuilah, sesungguhnya ada banyak dimensi kehidupan di sekitar kita yang tak perlu dihakimi.

Malam mulai naik ketika kami tiba di penginapan. Aku tidak tahu bagaimana menyebut tempat ini; motel atau hotel—yang bahkan dibilang kelas Melati pun belum bisa. Meski begitu, tempat ini cukup ramai dengan pengunjung muda yang hanya beberapa tahun sedikit lebih tua dibanding kami.

Aku mengekor dua teman lain yang mengatur pemesanan menuju kamar kami. Sempit dan menyesakkan. Tidak ada jendela, apalagi AC. Hanya kipas angin kecil yang kalah telak melawan udara panas Semarang. Kalau tidak terpaksa, aku pasti memilih kembali ke Solo saat itu juga. Tapi mengabari Ibu kalau anaknya berada dalam perjalanan menjelang tengah malam tampaknya bukan ide yang bagus. Lebih baik akbermalam di sini sebelum besok kembali pagi-pagi sekali.

Jam delapan malam, kedua temanku menawari makan ke luar. “Sekalian cari udara,” kata mereka. Keduanya pasti cukup frustasi karena tidak bisa merokok di sekitar kamar yang 3S: sempit, sumpek, dan sumuk. Daripada harus turun ke lobi untuk sebats, lebih baik sekalian jalan-jalan menikmati angin malam Semarang.

Aku yang menolak gabut sendirian di kamar 3S itu memilih bergabung dengan mereka, meskipun tahu konsekuensinya akan pulang larut malam. Lagi pula kapan lagi bisa jalan malam begini? Kalau di Solo, bisa-bisa aku disidang pengurus kos muslimahku! Hehe.

Malam semakin tinggi ketika kami memasuki kawasan Kota Lama. Sepertinya, saat itu hampir jam 12 malam ketika kami melewati deretan tenda di pinggir jalan. Kalau di Solo, warung seperti itu biasa kukenali sebagai hik, tempat nongkrong mahasiswa minimalis sambil berdiskusi macam-macam. Atau kalau buat ukhti sepertiku, tempat beli nasi kucing dan teman-temannya ketika esok hari mau puasa dan malas memasak buat sahur.

Tapi tenda-tenda yang mirip hik itu tidak menjual nasi kucing. Tenda-tenda di hadapan kami begitu riuh menyuarakan musik karena ternyata itu tempat karaoke. Aneh juga, pikirku. Bagaimana kita bisa syahdu menyanyi kalau “kamar karaoke” berdempetan tanpa kedap suara begitu?

“Itu karaoke plus plus,” kata temanku, mengurai kerut di balik jilbabku.

“Oh, I see.”

Pantas saja hawa di sini agak beda. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan hawa yang berbeda itu. Tapi jujur, bagi muslimah yang sangat asing dengan kehidupan malam, berada sedekat itu dengan kawasan plus-plus membuatku merasa insecure. Untungnya, kedua temanku berbaik hati mempersilakanku berjalan di tengah, alias diapit keduanya. Hehe.

Pengelola karaoke tenda itu mayoritas sudah lanjut usia—mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari ibuku yang saat itu berusia lima puluhan. “Tapi kenapa mereka masih bekerja seperti itu? Di mana anak mereka?” pikirku naif. Toh ibuku juga masih harus bekerja untuk menambah biaya hidup kami setelah meninggalnya Bapak.

“Yang jajan di sini biasanya anak sekolah. Bayarnya juga seadanya,” kata temanku lagi, sekaligus menjelaskan berhentinya sebuah motor di salah satu tenda. Dilihat dari tampilannya, pengendara yang mulai bercakap dengan ibu pengelola karaoke itu jauh lebih muda dariku. SMA, atau mungkin masih SMP.

“Padahal kalau yang jajan anak sekolah begitu bikin rugi. Duit nggak seberapa, masih nawar, nggak mesti aman juga.”

Teman-temanku masih mengobrol tapi suara mereka hilang di rimba pemikiranku. Seperti ada sesak di dada yang melebihi sesak kamar penginapan kami melihat dua manusia di tenda karaoke bernegosiasi.

Iklan

Kalau mau selow melihat mereka dari kacamata bisnis, pemandangan itu biasa saja: seorang konsumen yang sedang nego harga dengan produsen. Kalau oke, deal, proses jual beli jasa terlaksana.

Sayangnya, aku yang baperan melihat mereka dalam peran-peran sosial yang lain. Seorang ibu yang sedang bekerja untuk keluarganya, dan seorang anak yang entah bagaimana memilih menyelesaikan hajatnya pada perempuan yang lebih pantas menjadi ibunya.

Aku mencoba tampak woles dengan terus melanjutkan perjalanan. Di sekitar jembatan (atau di mana tepatnya aku lupa), beberapa ratus meter dari kawasan karaoke plus-plus, kami menjumpai banyak anak muda nongkrong.

“Semarang memang nggak ada matinya,” batinku, teringat tempat tinggalku di desa yang sudah pasti senyap di jam segini.

“Mikir a! Arek jilbaban ngene ditawari!” kata temanku berteriak dalam logat jawa timurannya, sambil menarikku kembali berjalan di tengah.

“Eh?” Aku yang tadi sibuk melamun jelas bingung dan bertanya pada teman satunya.

“Tadi kamu ditawari ‘jajan’ sama mas-mas yang di dekat motor itu.”

“Astaghfirullah!” aku auto-istighfar. Hanya karena berjalan-jalan di malam hari, mereka pikir aku bebas ditawari hal semacam itu. Padahal pakaianku masih utuh dengan jilbab lebar, rok panjang, plus kaos kaki tebal!

Aku merasa direndahkan. Pelecehan memang tidak mengenal tampilan yang dikenakan. Toh mbak-mbak di sekitarku, yang nongkrong di atas motor masing-masing, juga berpenampilan cenderung menutup. Nggak provokatif, kalau kata orang-orang.

“Mereka jualan juga?” tanyaku merujuk pada para perempuan pengendara matic yang tersebar di sepanjang jalan. Temanku mengangguk, lalu menjelaskan cara kerja pasar di sini.

Tidak seperti tenda karaoke, konsumen perempuan matic ini kebanyakan bermobil dan tampak lebih matang. Mereka akan mendekati salah satu mbak incarannya, mengobrol sebentar, lalu pergi diikuti perempuan yang terpilih. Produsen di pasar ini juga lebih muda dan berpenampilan menarik.

Kalau menurut prinsip “ana rega ana rupa”, tentu tarif mereka juga lebih tinggi. Mungkin pilihan tempat kerja mereka juga jauh lebih baik daripada kotak sempit tenda karaoke. Bisa jadi, para pelanggan mereka juga mau lebih bermodal dengan beli pengaman. Meski begitu, rasa sesak tadi yang mestinya hilang dengan angin segar di sepanjang jalan tidak juga berkurang.

Kami masih berjalan ketika beberapa meter kemudian kujumpai sekelompok laki-laki berbaju koko lengkap dengan sarung dan pecinya keluar dari mobil. Aneka asumsi memenuhi kepalaku sebelum lelaki terakhir (kecuali supir) keluar dengan sekotak nasi bungkus dan membagikan kardus lain dengan isian sama pada teman-temannya. Mereka mulai bergerak membagikan makanan pada tunawisma yang sepanjang jalan memang banyak kutemui tidur di emperan bangunan.

Ada rasa sesak baru yang menyeruak masuk ke dadaku. Rombongan putih-putih ini datang dengan makanan, bukannya pentungan. Mereka bahkan tidak berceramah atau mencekal “pasar manusia” yang hanya beberapa meter dari tempat mereka bersedekah. Mereka kerja berdampingan tanpa gontok-gontokan. Aneh sekali bagiku yang anak LDK saat itu.

Kenapa para akhi itu tidak mendakwahi saudara-saudara mereka yang bekerja penuh kemaksiatan? Kenapa mereka diam saja dengan praktik prostitusi yang hanya beberapa meter darinya, dan justru dengan tenang membagikan nasi bungkus untuk tunawisma? Apakah mereka pikir perbuatan baik dari sedekah itu cukup sebagai hujjah untuk tidak mencegah kemungkaran?

Aku hampir berprasangka lebih jauh sebelum temanku menepuk pundakku dan mengajak putar balik menuju penginapan.

Sepanjang malam aku sulit tidur. Bukan hanya karena kamar yang sumpek-sempit-sumuk, tapi juga karena pemandangan kehidupan yang kulihat sepanjang jalan tadi. Rasanya sedih dan sesak sekali, tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya tahu kalau banyak sekali yang belum kuketahui. Selama ini aku hanya mengecam hal-hal yang kusebut kemaksiatan dalam diam, tetapi ketika berpapasan langsung dengannya, aku mendadak bungkam.

Bukan, ini bukan karena aku tidak lagi meyakini standar kebenaranku, tapi karena paham bahwa sekalipun keyakinanku benar, ada banyak dimensi kehidupan yang lebih membutuhkan uluran tangan sebagai bantuan, bukan tamparan.

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: karaoke plus-pluskehidupan malampelecehanProstitusitunawisma
Esty Dyah Imaniar

Esty Dyah Imaniar

Artikel Terkait

Sanggrahan Jogja: Dulu Kampung Prostitusi, Kini Jadi Kampung Takwa
Video

Sanggrahan Jogja: Dulu Kampung Prostitusi, Kini Jadi Kampung Wisata

15 November 2024
Warung di atas makam Kembang Kuning Surabaya. MOJOK.CO
Ragam

Menjemput Rezeki di Antara Pusara Kembang Kuning Surabaya

1 November 2024
Cerita ‘Anjelo’ di Jaksel: Dapat 4 Juta Semalam Hasil Antar-Jemput PSK, Tapi Dituduh jadi Simpanan Tante-tante oleh Tetangga.MOJOK.CO
Ragam

Desa Dukuhseti di Pati Pernah Jadi Kampung Pelacuran dan Simpanan Pejabat, Dulu Perempuan Diibaratkan Sepetak Sawah

13 Juni 2024
musala sarkem Jogja.MOJOK.CO
Catatan

Musala di Tengah Sarkem Jogja, Takmirnya Rela Jadi Makmum “Anak Kecil” dan Saksi Pekerja Prostitusi Mengaji

13 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.