Warteg mereka “lebih sehat”
Secara tampilan, makanannya sama saja. Tapi, untuk rasa, sedikit berbeda. Di Singapura rasa makanannya cenderung lebih hambar. Mungkin mereka sengaja mengurangi garam dan bahan penyedap agar lebih sehat.
Secara konsep, warung sederhana di Singapura sama dengan di Indonesia. Bedanya ada pada kualitas bahan baku dan alternatif menu. Kalau di warteg Indonesia, kita kesulitan mencari makanan rendah lemak. Maklum, rata-rata warteg menggoreng lauk sementara sayurnya dimasak dengan santan.
Sementara di Singapura, setiap warung masih menyediakan pilihan makan sehat seperti steam ikan atau sup asparagus. Ketika harus menggoreng, mereka menggunakan minyak goreng dengan kualitas baik. Saya tidak pernah melihat ada warung yang menggoreng ayam dengan minyak menghitam yang sudah dipakai puluhan kali.
Apakah para semua pemilik warteg di Singapura memang kesadaran akan kesehatan? Kalian salah besar. Sebab, pemerintah Singapura memiliki peran penting dalam mengontrol penggunaan bahan makanan dan minyak goreng di kedai, restoran, sampai kelas warteg.
Kontrol ketat negara terhadap kualitas makanan
Saat berkunjung ke warteg di Singapura, saya melihat banyak meja yang ditempeli stiker (barcode) yang bisa di-scan. Tujuan dari barcode ini adalah supaya pengunjung bisa memeriksa jumlah kalori dalam seporsi makanan. Hal ini memudahkan warga mengatur asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya.
Singapura juga mengontrol kualitas bahan makanan di restoran sampai warteg. Tempat makan tersebut akan mendapatkan stiker dari pemerintah jika menggunakan minyak mutu tinggi dan bahan masak alami.
Tidak hanya makanan, pemerintah mereka juga mengontrol produk minuman (susu dan minuman kemasan) di supermarket. Pemerintah mewajibkan semua produsen menempelkan label nutri-grade (huruf A, B,C,D).
Jadi, label A untuk minuman dengan kadar gula paling rendah. Label B, lebih tinggi gula dari A. Lalu, C lebih tinggi gula dari B, dan seterusanya. Jika ada produk minuman mendapatkan label D, produk tersebut tidak boleh diiklankan.
Kontrol ketat bahkan sampai ke kafe
Nutri-grade tidak hanya berlaku untuk minuman kemasan, tapi juga minuman di kafe. Misalnya Starbucks Singapura, di mana semua minumannya memiliki label nutri-grade. Mereka bahkan menuliskannya di papan menu.
Misalnya, Salted Caramel Macchiato Starbucks yang saya minum nyaris setiap hari di Surabaya ternyata mendapatkan label C (tinggi gula). Sungguh mengerikan.
Nutri-grade membuat produsen dan penjual minuman di kafe berlomba menawarkan minuman yang lebih sehat. Sebab, kalau minumannya tinggi gula, mereka tidak bisa mengiklankan minuman tersebut di media dan tempat umum lainnya. Dengan label nutri grade, warga Singapura yang awam kesehatan bisa memilih minuman yang lebih rendah gula.
Meski warga Singapura sama-sama hobi minum boba mirip dengan orang Indonesia, tapi mereka bisa tetap sehat. Semua berkat kebijakan pemerintah Singapura yang berpihak pada kesehatan warganya.
Pejabatnya tidak sekedar koar-koar tentang pentingnya makanan sehat. Namun, mereka berperan aktif menciptakan budaya sehat tersebut melalui regulasi bahan pangan dan memberikan fasilitas pendukung kesehatan.
Contoh paling sederhana. Air minum adalah kebutuhan vital dan penting untuk kesehatan tubuh. Masalahnya, Singapura tidak memiliki sumber air sendiri dan mereka harus impor dari Malaysia. Bahkan Aqua kemasan 750 ml di Singapura dibandrol dengan harga 3 SGD (Rp37 ribu).
Namun, alih-alih ribut soal air minum kemasan yang luar biasa mahal, mereka justru sibuk membuat mesin penyuling. Hasilnya, warga bisa minum air secara gratis dari kran di rumah masing-masing secara gratis.
Deteksi dini kesehatan mudah dan murah
Surabaya menjadi kota yang warganya banyak bepergian ke Singapura. Tidak hanya untuk keperluan bisnis atau liburan saja, melainkan untuk berobat.
Maklum, rumah sakit di Singapura memiliki pelayanan yang efisien, teknologi canggih, dan biayanya lebih murah daripada Indonesia. Yang membuat saya kagum dan berfikir kalau Menteri Kesehatan Singapura benar-benar bekerja adalah sistem deteksi dini kesehatan yang mudah diakses serta gratis.
Kita bisa memeriksa kadar kolesterol, asam urat, dan berat badan (semacam MCU basic) di mesin gym yang ada di pusat perbelanjaan secara cuma-cuma. Saya pernah mau mencoba mesin tersebut, tapi gagal karena saya bukan warga lokal. Hmmm.
Di Singapura, saya banyak melihat lansia masih aktif bekerja. Pembuat kopi di kedai, penjual makanan, pekerja kebersihan, bahkan petugas bandara sekalipun banyak yang sudah lansia.
Saya juga pernah mengobrol dengan petugas kebersihan di Bandara Changi. Usianya sudah lebih dari 65 tahun tapi masih cekatan. Kakek tersebut bilang kalau di Singapura pemeriksaan kesehatannya online. Dengan sistem online, para lansia akan diprioritaskan saat melakukan cek kesehatan sehingga mereka tidak perlu mengantre.
Gabungan antara kualitas bahan makanan yang baik, dari restoran sampai kelas warteg, memberi dampak positif. Kampanye kesehatan mereka begitu efektif dan kebijakan yang dikontrol dari atas ke bawah membuat warga Singapura memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Inilah yang menjadikan mereka sebagai negara tersehat di dunia.
Artinya, makanan sehat itu memang penting. Tapi, masyarakat tidak mungkin mengkonsumsi makanan sehat kalau harganya mahal dan ketersediaannya terbatas.
Kebiasaan warga untuk hidup sehat harus didukung oleh negara dengan membuat regulasi yang memihak warga. Minimal memberikan akses kesehatan yang murah dan mudah bagi warga.
Selain tentu saja terus menerus menginformasikan dan mengkampanyekan tentang gaya hidup sehat. Sebuah pelajaran penting, tapi sebetulnya mudah ditiru oleh Indonesia. Tapi, niat apa nggak? Itu masalahnya.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Singapura Memang Semenyenangkan Itu, dan Memang Bikin Betah Banget, Wajar kalau Pada Pindah dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.













