MOJOK.CO – Saat Jakarta mengalami mati listrik berjam-jam, Homo Jakartanicus malah memamerkan kepanikannya di media sosial. Menderita sih, tapi tetep pingin eksis.
Tumbuh kembang pada 2000-an awal, di Flores, Nusa Tenggara Timur, saya dan teman-teman sudah terbiasa dengan mati listrik. Maklum, saat itu, pemadaman lampu bisa terjadi beberapa hari dalam satu minggu, dimulai sejak sore hingga pagi dini hari.
Mati listrik model begini merupakan siklus normal di wilayah sekelas ibu kota kabupaten. Wajar. Biasa. Di kampung-kampung pedalaman, persoalannya bisa jauh lebih pelik. Apalagi saat musim hujan. Hidup dalam gelap sambil ditemani ritme ritmis air hujan sudah jadi kebudayaan.
Saya masih ingat dengan baik, saat itu, saya dan teman-teman mengatur waktu untuk mengerjakan PR lebih awal sebelum matahari terbenam. Kami benar-benar dikejar waktu, karena mengerjakan PR pada malam dalam terang cahaya yang kami sebut lampu pelita bukanlah situasi yang asyik. Iya sih romantis, tapi bikin mata sakit. Apalagi lampu pelita kerap mengeluarkan asap hitam dengan bau menyengat.
Kalau jadwal mengerjakan PR sampai terlewat, maka kami harus siap-siap bangun pagi hari untuk mengerjakan tugas sekolah dalam suhu yang cukup dingin ketika lampu sudah kembali nyala.
Di wilayah saya, tepatnya di Manggarai, suhu pagi hari bisa turun sampai 10 derajat celcius. Sering, saya mengerjakan tugas di depan tungku perapian agar tubuh lebih hangat sambil tetap mengenakan kain tidur. Percaya sama saya, bangun pagi saat suhu sedang dingin-dinginnya tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi karena cuma buat mengerjakan PR.
Di kampung, ketika saya berlibur ke rumah Kakek, jadwal pemadaman listrik membuat siapapun bergegas ke pemandian. Tujuannya? Untuk bersih diri dan menimba air lebih cepat.
Di sana, air tidak hadir satu per satu ke rumah. Siapapun yang butuh air harus datang ke sumbernya. Generasi yang pernah menenteng jerigen ke sumber air pada sore hari pasti ingat betul.
Biasanya saya menenteng jerigen ini bareng-bareng dengan teman lain. Saat berjalan menuju sumber, jerigen kami ketuk-ketuk bak alat musik dan bernyanyi sesuka hati. Di antara kami, pasti ada anak-anak yang lebih kreatif. Mereka biasanya membawa jerigen lebih banyak dengan gerobak bambu yang bertumpu pada roda buatan dari kayu. Tapi kalau ada mereka, itu artinya antrenya bisa lebih lama.
Bayangkan, saat jerigen sudah terisi penuh, kami semua harus menentengnya sambil berlari kalau matahari mulai terbenam. Kampung yang semakin gelap membuat siapapun ingin bergegas masuk rumah. Saat itu, di pojok rumah akan diletakkan beberapa lampu pelita. Asapnya yang gelap membuat dinding berwarna hitam. Tapi tenang, parahnya nggak bakal seberbahaya polusi kota Jakarta kok.
Waktu itu, kami tidak memiliki hubungan mesra dengan alat elektronik. Satu-satunya relasi terbaik adalah pembicaraan tatap muka. Telepon akan dilakukan bila pulsa ada, sehingga tuntutan untuk ngecas hape pun jarang.
Apakah “ketertinggalan” seperti ini membuat kami stres? Sepertinya tidak. Yang muncul adalah semacam solidaritas bagi peran.
Anak-anak seumuran saya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Bila minyak tanah habis, maka kami akan bergegas membantu orang tua ke warung untuk membelinya. Bila cucian piring makan siang belum diselesaikan, maka pekerjaan itu akan segera dibereskan. Pemadaman lampu yang rutin bikin kami semua hidup serba tergesa-gesa membereskan segala hal sebelum matahari total terbenam.
Saat Jakarta mengalami mati listrik berjam-jam, banyak orang yang menunjukkan kepanikannya di media sosial. Banyak meme atau postingan teman saya yang berasal dari Indonesia Timur bermunculan di linimasa merespons situasi ini.
Hampir semuanya merasa bangga, merujuk pada pengalaman, bahwa mereka lebih “tahan banting”. Tidak sedikit yang menilai penduduk kota sebagai penghuni metropolitan yang lemah. Hm, saya sih malah kurang sepakat dengan anggapan itu.
Ketidaksepakatan saya juga muncul saat membaca tulisan Denny Siregar berjudul “Mati Lampu Ala Orang Papua”. Denny menilai kalau orang Jakarta itu cengeng. Denny bahkan mengatakan yang ribut adalah orang yang panik karena tidak berselancar di Internet.
Wow, yakin cuma karena itu saja nih? Mas Denny mungkin tidak memperhatikan orang-orang yang sedang terjebak di MRT atau lift. Situasinya lumayan menegangkan juga lho kalau saya bayangkan.
Atau mereka yang mobilitas hidupnya bergantung pada transportasi seperti KRL. Masa harus naik ojek—yang karena permintaan tinggi—harganya bisa mendadak mahal dan berpotensi kena macet? Transjakarta sih tetap jalan meski mati listrik. Namun haltenya kan tetap gelap gulita.
Esok harinya usai mati lampu, alias hari Senin, ada teman yang tinggal di Jakarta ngaku nggak mandi saat berangkat kerja karena air di rumahnya tidak mengalir.
Mas Denny barangkali mau mengatakan bahwa betapa cepatnya Homo Jakartanicus panik dalam situasi seperti ini. Tetapi, paniknya Homo Jakartanicus memang cukup unik bagi saya. Di satu sisi mereka menderita, di sisi lain mereka malah menunjukkannya.
Saat listrik mati, muncul berbagai macam orang di medsos yang “berlomba-lomba” menampilkan betapa menderitanya mereka. Saya jadi heran, apa perlu sih orang tahu kalau kamu nggak mandi saat berangkat ke kantor pagi hari?
Apa dengan menunjukkan itu, kamu bisa dianggap sebagai orang hebat yang bisa menghadapi hal berat di dalam hidupnya? Apa dengan itu, kamu tengah memberitahu yang lain bahwa kamu turut menderita dan solider dengan persoalan mati listrik yang sering kami alami ini?
Kalau boleh jujur, kepanikan karena mati listrik sebenarnya juga dialami oleh mereka yang di beberapa daerah Indonesia Timur. Di NTT—misalnya, di desa saya, masyarakat juga panik kok kalau listrik tak kunjung nyala. Ibu-ibu, misalkan, akan begitu kecewa ketika sinetron kesayangannya tak jadi ditonton.
Jangankan nonton sinetron, yang hapenya low baterai sama paniknya juga. Soalnya, meski kami ini kaum udik, kami juga bisa lho main media sosial dan berkomunikasi lewat video whatsapp. Saya pernah mengalami sendiri situasi seperti ini. Karena listrik tak kunjung nyala, teman satu kampung nebeng ngecas di rumah Pak Kades yang kebetulan punya genset.
Bedanya, kalau listrik mati, orang-orang di kampung saya nggak bakal pamer bahwa mereka tengah menderita. Di kampung, mati listrik adalah pengalaman harian, di Jakarta hal ini mungkin dianggap sebagai keajaiban, makanya perlu diabadikan. Situasi ini mirip seperti orang kota yang masuk hutan di desa, lalu menamainya sebagai wisata alam. Padahal bagi kami sih, ya itu kampung halaman.
Saya jadi penasaran, apakah saat listrik mati kemarin, Homo Jacartanicus sedang merasakan sensasi berada di hutan? Sehingga menganggap itu sebagai sebuah hal yang menyenangkan karena jarang-jarang dirasakan? Hm, entahlah.
Bagi orang kampung seperti kami, mati listrik adalah persoalan teknis. Mengerjakan PR tidak bisa, masak jadi sulit, episode sinetron jadi terlewat. Di Jakarta, hal kayak gini malah bisa jadi persoalan politis bahkan mungkin bisa sampai teologis.
Ya kita tunggu saja, apakah ada yang bakal sodorin ayat suci untuk menjawab pertanyaan, “Kok bisa kota sebesar Jakarta mati listrik?”
Lalu dijawab, “mungkin, Tuhan sedang murka lalu mengirim peringatan.”
Murka pada siapa? Warga Jakarta? Pfft, ya mana mungkin.