MOJOK.CO – Lucu sekali temuan TGIPF. Kenapa malah iklan rokok yang disalahkan di Tragedi Kanjuruhan, ketika hoaks dawet dan botol miras tidak diusut.
12 hari sejak tragedi kemanusiaan terjadi di Stadion Kanjuruhan, hingga kini, siapa yang harus bertanggung jawab masih belum sepenuhnya terjawab. Titik terang masih diselimuti awan gelap yang rumit dan penuh prasangka.
Keadaan bukannya bertambah terang, justru makin pelik karena “temuan baru” dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan yang diketuai Menko Polhukam, Mahfud MD. Salah satu anggota TGIPF, dalam kutipannya yang dikutip dari detikcom berujar, ada kemungkinan jam tayang laga Arema FC vs Persebaya dipaksakan tetap di malam hari untuk menunjang iklan rokok.
“Kami mendengar ada yang mengatakan mungkin itu salah satunya (kick off Arema FC vs Persebaya) mengakomodir iklan rokok yang baru mulai di jam 21.30 WIB, misal begitu”, ujar Rhenald Kasali, anggota TGIPF di Kantor Kemenko Polhukam, Senin (10/10) lalu.
Dengan segala hormat kepada Profesor Rhenald Kasali, dari sekian banyak faktor yang bisa jadi penyebab banyaknya korban jiwa dari Tragedi Kanjuruhan, kenapa rokok yang seolah jadi kambing hitam?
Jika jam pertandingan yang enggan diundur ke sore hari jadi perkaranya, kenapa tidak mengusut alasan beda jawaban dan sikap saling lempar antara PT. Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator dengan Indosiar, sebagai broadcaster resmi Liga 1? Gampang banget bilang iklan rokok jadi sebabnya.
PT. LIB berujar mereka menolak permintaan mengundur jam kick off karena permintaan pemegang hak siar. Sementara Indosiar selaku pemegang hak siar menyebut, keengganan mengundurkan jam kick off adalah keputusan PT. LIB. Ini, kan, dua jawaban yang kontradiktif.
Sekali lagi, kenapa muaranya mengarah kepada poin iklan rokok dan rokok secara spesifik sebagai produk. Padahal publik tahu sendiri, dari banyaknya hasil investigasi media dan Komnas HAM, bahwa satu-satunya asap yang bikin ratusan lebih nyawa hilang di Tragedi Kanjuruhan bukan asap rokok.
Banyak kejanggalan di balik Tragedi Kanjuruhan. Kita bahkan bisa bahas satu per satu di tulisan ini dan tidak akan kita temukan soal rokok di sana.
Pertama, berapa banyak selongsong gas air mata yang ditembakkan di area dalam dan luar stadion? Liputan khusus dari Washington Post menyebut kurang lebih ada 40 tembakan gas air mata. Sementara itu, versi Kapolri, “hanya” ada 11 tembakan gas air mata.
Ada selisih 29 selongsong gas air mata di sini dan itu selisih yang amat mencolok sekali secara angka. Kenapa kita tidak skeptis di hal ini? Kenapa TGIPF tidak fokus menyoroti hal ini? Kenapa malah membawa iklan rokok di masalah ini?
Kedua, kontroversi penjual dawet di Tragedi Kanjuruhan. Sejak viral dan menimbulkan kegaduhan, baru diketahui kemudian pada Rabu (12/10) kemarin bahwa sosok itu nyatanya adalah seorang mantan kader salah satu partai politik.
Pernyataan “tukang dawet abal-abal” itu sendiri begitu bikin gaduh di H+1 kejadian. Namun, dengan video permintaan maafnya yang viral di Twitter, seolah hoaks yang disebar menguap begitu saja. Kenapa kita tidak menganggap serius hoaks dari “tukang dawet” itu?
Padahal, TGIPF bisa dengan mudah mengorek informasi penting dari si penyebar kabar palsu itu. Misalnya, motif bikin info hoaks itu apa atau siapa yang menyuruh. Kan dari sana terlihat pola-pola yang mungkin dilakukan seseorang yang sedang mencoba untuk “cuci tangan”. Jelas, bukan, kalau ini jauh lebih berbahaya ketimbang iklan rokok di Tragedi Kanjuruhan.
Ketiga, temuan botol miras yang diklaim ada di Stadion Kanjuruhan. Saling lempar terjadi dari Komdis PSSI hingga tim Labfor Polda Jatim. Baru kemudian kita tahu kebenarannya bahwa botol yang ditemukan dalam 2 kardus ternyata bukan miras melainkan obat untuk hewan ternak.
Kenapa lagi-lagi kita tak serius menyoroti ini? Bukankah ini penipuan besar kepada publik terkait temuan fakta dari sebuah tragedi terbesar di sejarah sepak bola Indonesia? Ke mana UU ITE yang begitu gagah memenjarakan dan bikin takut orang untuk beropini itu di konteks kasus ini? Omong kosong soal iklan rokok jadi sebab laga main malam. Aneh betul.
Presiden Joko Widodo memberi waktu selama 1 bulan agar Tragedi Kanjuruhan ini bisa diusut tuntas dan terang benderang pada akhirnya. Namun, yang kita lihat dan dengar selama 12 hari terakhir hanya kebisingan belaka. Banyak “temuan baru”, yang ketika dihantam skeptisme publik, terungkap fakta bahwa itu adalah hoaks.
Lalu, dengan sederet kebobrokan hasil investigasi sejauh ini, masih perlukah kita mengambinghitamkan rokok hingga ia bakal menjadi “tukang dawet Pintu 3 Kanjuruhan” atau “botol miras oplosan” berikutnya?
Jika mengacu pada deadline Presiden, berarti TGIPF hanya punya sisa 18 hari untuk membuka tabir seterang-terangnya di balik Tragedi Kanjuruhan dan menuntut pihak-pihak yang bertanggung jawab secara adil. Dengan banyaknya pakar di sana, harusnya TGIPF bisa muncul tiap harinya dengan temuan baru yang membantu mengarahkan pengusutan tragedi ini ke jalan terang.
Bukti video banyak bertebaran di media sosial. Korban selamat pun tak sedikit yang siap bersuara dan dimintai keterangan. Media pun tak sedikit yang menginvestigasi dan meliput dengan serius Tragedi Kanjuruhan ini baik dari media lokal atau luar negeri. Dengan begitu banyak bukti dan saksi yang siap dimintai keterangannya, seharusnya 1 bulan adalah waktu yang terlampau lama untuk membuka Tragedi Kanjuruhan seterang-terangnya.
Pertanyannya kemudian cuma satu, kenapa butuh waktu terlalu lama?
BACA JUGA Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno