Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Teror di Masjid Selandia Baru dan Rasanya Jadi Muslim di Amerika

Arief Balla oleh Arief Balla
18 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebagai muslim yang menetap di Amerika, tidak mungkin saya tidak khawatir mendengar teror di Selandia Baru. Tiap salat jumat rasanya jadi mengerikan.

Tidak ada yang pernah menduga pembunuhan brutal di Kota Christchurch, Selandia Baru, kecuali si bajingan Brenton Tarrant. Selandia Baru adalah tempat yang telah dikenal lama sebagai tempat yang damai bagi semuanya. Bahkan tingkat pembunuhan di negara itu mencapai titik terendah selama 40 tahun terakhir tahun 2017.

Penembakan biadab terhadap jamaah yang dilakukan oleh pendukung White Supremacy itu, di saat bersamaan juga menaikkan tensi kekhawatiran dan ketakutan umat muslim di seluruh dunia. Terutama sekali di negara di mana umat muslim adalah minoritas.

Nyatanya tak ada yang benar-benar aman dari ancaman ini. Sekali lagi, Selandia Baru yang dikenal damai itu buktinya. Apalagi di negara yang terkenal dengan Islamofobia seperti Amerika Serikat, senjata dengan mudah diperoleh, dan eksistensi White Supremacy yang meningkat terutama sejak Donald Trump terpilih. Presiden yang doyan sekali dengan isu SARA.

Saya tahu Carbondale—kota kecil tempat tinggal saya di Amerika ini—cukup aman. Maklum, Carbondale masuk wilayah “darah biru”. Istilah yang merujuk pada daerah pendukung mayoritas Partai Demokrat yang terkenal mendukung pluralisme atau keberagaman. Belum ada sejarah penembakan brutal. Semoga selalu begitu.

Tetapi keadaan ini tidak bisa benar-benar jadi garansi. Kenyataannya, Kota Christchurch yang terkenal damai itu menjadi bukti bahwa daerah yang selama ini tenang-tenang saja tidak menjamin selamanya baik-baik saja.

Sejak peristiwa di Selandia Baru, ketika saya ke masjid itu dan menyadari sedang di negara lain, saya menguatkan hati dan menyerahkan sepenuh-penuhnya pada Tuhan. Bahwa apa saja bisa terjadi. Kematian bisa datang tanpa isyarat dan permisi.

Kekhawatiran semacam itu bahkan sering muncul terutama ketika Salat Jumat ke kota-kota besar. Apalagi jika kota besar itu terkenal dengan tingkat rasisme yang tinggi.

Di Kota Saint Louis, tak jauh dari kota kecil saya. Ketika saya kebetulan Salat Jumat di salah satu masjid di sana, saya semakin menguatkan diri sekaligus memasrahkan diri sedapat-dapatnya kalau-kalau sesuatu terjadi. Di luar masjid selalu ada polisi yag berjaga. Lengkap dengan senjata dan mobil polisinya yang terparkir.

Bukan hanya imigran atau pendatang saja yang sering menyimpan rasa khawatir dalam dadanya. Orang lokal kulit putih pun bisa merasakan hal serupa.

Holly, seorang mualaf kulit putih lokal tempat saya tinggal, sering harus melepas jilbabnya ketika ke luar kota kami. Beruntung, kota tempat tinggal saya—sebagaimana kota-kota pendidikan—memang tidak serasis kota-kota lainnya.

Suatu kali, keluarga Holly dan saya menghadiri sebuah festival di Centralia. Kota kecil kecil ini dihuni mayoritas kulit putih (homogen). Saluran informasi atau berita mereka bisa jadi hanya satu siaran.

Ketika mendekati tempat acara, Holly melepas jilbabnya karena merasa tidak aman. Hal yang sama dilakukan beberapa muslimah ketika Trump baru-baru terpilih tahun 2017 lalu. Maka saya mengerti ketika ada beberapa hendak ke Amerika dan mengkhawatirkan apakah boleh berjilbab atau tidak.

Tentu saja tulisan ini tidak dapat menggeneralisasi apa yang terjadi di Amerika. Sebab, pada umumnya, negara seperti Amerika sebenarnya masih tempat yang ramah mengenakan jilbab.

Iklan

Beberapa teman saya bahkan bercadar. Dan akan selalu ada orang-orang yang membela ketika ada yang mencoba melarangnya. Setidaknya di beberapa tempat. Sebab tingkat rasisme tiap kota juga berbeda. Tetapi ketakutan dan kekhawatiran tetap saja selalu datang—terutama sejak kejadian penembakan masjid di Selandia Baru.

Akan tetapi, ketakutan itu masih berbentuk pada level waspada. Bukan menjadi prasangka buruk yang terus-menerus dipelihara dan menjadi kebencian yang lain. Sebab kalau ketakutan semacam ini diteruskan, ia bisa jadi kebencian yang sama berbahayanya dengan para pengikut White Supremacy seperti Brenton Tarrant ini.

Brenton Tarrant tentu hanya satu di antaranya. Mereka mungkin sedikit tapi mereka berbahaya dan mematikan. Ya karena mereka tidak punya otak dan hati. Brenton bisa berduplikasi menjadi Brenton-brenton yang lain dengan wajah-wajah yang berbeda di tempat yang berbeda.

Pun begitu dengan White Supremacy. Ia hanya satu nama yang dapat berubah nama pada kelompok-kelompok yang berbeda namun berpaham serupa. Orang-orang yang merasa terancam dan diperlakukan tidak adil sambil merasa selain dirinya salah dan halal darahnya dibunuh.

Apa bedanya dengan mereka mengatasnamakan apapun termasuk agama untuk membunuh sesama manusia lainnya? Apa bedanya mereka dengan ISIS atau kelompok-kelompok serupa yang selalu merasa benar dengan dalih-dalih agama sembari membakar kebencian orang lain?

Brenton Tarrant dan White Supremacy dalam bentuk yang lain bisa ada di sekitar kita dan diam-diam menumbuh dan membesar. Sewaktu-waktu ia bisa melakukan hal yang sama. Bukankah gejala-gejala itu telah banyak terjadi di banyak tempat di dunia ini. Dan sering tidak terduga.

Peristiwa kelam di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood adalah kejadian yang rasa-rasanya sulit diterima. Namun, kemarahan kita semoga tidak sekadar berhenti menjadi kutukan dan kemarahan. Selalu ada hikmah di balik kejadian kecil apalagi besar.

Sebagai seorang muslim mayoritas yang dulu tinggal di Indonesia, pengalaman sebagai minoritas di negara Amerika membuat saya semakin bersyukur betapa rasa aman itu sungguh mahal harganya.

Di negara Indonesia yang damai, kita dapat melaksanakan Salat Jumat tanpa khawatir diberondong senjata. Saya bisa bersarung dengan peci di kepala ketika ke masjid. Bahkan saya dengan pakaian yang sama, bisa bebas ke toko-toko.

Suatu hal yang jarang dan hanya saya lakukan ketika isya atau subuh selama di Amerika. Padahal masjidnya hanya di seberang jalan. Ya saya tidak berani melakukannya di sini.

Di Indonesia, muslimah bebas mengenakan jilbab tanpa khawatir apapun. Bahkan terkadang pengenaan jilbab mempunyai kekuatan dan legitimasi tersendiri. Kita belum menyebut privilise lainnya yang saya miliki sebagai seorang muslim dan mayoritas.

Betapa menyenangkan dan damainya hidup di Indonesia sebagai seorang muslim. Bisa bikin acara-acara keagamaan dengan cukup terbuka, pengajian di mana-mana, aspirasi bisa disampaikan di jalanan. Kebebasan dan keramahan yang belum tentu bisa didapatkan di negara-negara asing—sekalipun itu di negara-negara Arab.

Masalahnya, di Indonesia sana, masih ada saja kelompok yang tidak bersyukur dengan kondisi seperti itu. Ada saja kelompok-kelompok yang masih ngotot bahwa kondisi saat ini adalah kondisi yang mengancaman umat muslim. Tidak puas dengan keadaan yang sekarang.

Padahal kalau mereka mau lihat, banyak negara-negara asing di luar sana (terutama yang mayoritas muslim) merasa iri dengan kondisi di Indonesia saat ini. Meski tetap ada konflik-konfil kecil, tapi tetap tidak pernah sampai membuat terpecah-belah sebagai sebuah bangsa.

Bisa dibilang, masyarakat muslim yang paling beruntung di dunia ini adalah mereka yang tinggal di Indonesia. Sebuah bangsa yang berhasil menggabungkan demokrasi namun tetap berpegang teguh dengan nilai-nilai Islam. Belum ada bangsa lain yang bisa melakukannya sebaik Indonesia.

Dan sudah seharusnya kita bersyukur akan itu. Bukan malah berencana akan menghancurkannya.

Terakhir diperbarui pada 18 Maret 2019 oleh

Tags: amerikaChristchurchIndonesiaIslamMuslimSelandia BaruWhite Supremacy
Arief Balla

Arief Balla

Sedang Studi Master di Southern Illinois University Carbondale, Amerika Serikat.

Artikel Terkait

Perang Dunia 3 Bukti Manusia Adalah Bajingan Maniak Perang MOJOK.CO
Esai

Perang Dunia 3 Menjadi Bukti Manusia Adalah Bajingan Maniak Perang yang Tidak Belajar dari Kehancuran karena Perang Dunia

24 Juni 2025
kerja sama indonesia prancis.MOJOK.CO
Sosial

Indonesia-Prancis Teken Kerja Sama Perfilman di Candi Borobudur, Angin Segar Industri Sinema Tanah Air

29 Mei 2025
Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid
Video

Dinamika Politik di Masjid Istiqlal dan Fenomena Muslim Tanpa Masjid

30 Maret 2025
Irfan Afifi: Kalau Tidak Ada Tanda Maju, Mengapa Indonesia Tidak Pilih Mundur Saja?
Video

Irfan Afifi: Kalau Tidak Ada Tanda Maju, Mengapa Indonesia Tidak Pilih Mundur Saja?

26 Maret 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.