Ini tulisan ketujuh di Mojok yang menyinggung nama Tere Liye. Dan sepertinya ini satu-satunya yang menjadikan beliau protagonis.
Anda pasti tahu pengumuman yang kemarin beliau sebarkan melalui fanpage Facebook-nya, bukan? Tentu saja, saya yakin pembaca Mojok yang budiman adalah insan-insan kritis yang selalu update informasi sekaligus (((melek literasi))).
Bukan hanya para penulis, penerbitan, dan pekerja di industri perbukuan saja yang dibuat heboh dengan pengumuman itu, para pembaca (((sastra))) juga ikut-ikutan menggeruduk akun Twitter Kring Pajak, customer service Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pasalnya, Kak Darwis Tere Liye menghentikan penerbitan semua bukunya yang rata-rata laris manis bak kacang rebus itu.
Saya berhasil menemui AT, salah satu dari tiga admin @Kring_Pajak. Kami pun ngobrol-ngobrol mengenai masalah ini, khususnya tentang bagaimana pendapat pribadinya. (Udah kayak anak Vice, belum?)
“Sabar ya, Kakak. Taxmin @DitjenPajakRI sedang menyiapkan klarifikasi resminya. Ditunggu aja.”
Hanya jawaban itu yang dia copy-paste berulang kali.
Cukup gampang, bukan? Tunggu dulu.
AT sudah tak bisa menghitung berapa kali menerima pertanyaan soal pengumuman Kak Tere Liye itu. Tapi sebenarnya bukan pengumuman itu yang membuatnya berada di posisi sulit. Ada postingan lain menjelaskan kegelisahan Kak Tere lebih rinci, lengkap dengan ilustrasi hitung-hitungan segala. Di situlah letak kegalauan AT.
Di media sosial, dia melihat kawan-kawannya sesama pegawai pajak saling beradu ilmu dalam menyinyiri menganalisis. Bahkan yang sesama pegawai Kementerian Keuangan yang bukan DJP tak mau ketinggalan. Salah satu yang bagus menurutnya adalah tulisan Pringadi Abdi Surya.
AT setuju, tuntutan Kak Tere ada benarnya meski ada juga yang perlu diluruskan. Argumen Tere: pajak menganaktirikan penulis karena tak bisa menggunakan ‘fasilitas’ Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) seperti para pekerja bebas lain, atau biaya jabatan seperti karyawan, atau tarif 1% dari peredaran bruto.
Koleha-kolehanya berusaha mematahkan argumen itu dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-17/PJ/2015, bahwa penulis juga bisa menggunakan NPPN. Sama dengan poin 2 dalam siaran pers yang dibuat DJP.
Benarkah demikian?
AT menunjukkan 1770, SPT Tahunan untuk orang pribadi non-karyawan. Pada formulir 1770 I halaman 2, penghasilan yang menggunakan NPPN dimasukkan ke kolom “Bagian B: Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas”.
Jika benar penghasilan penulis memang bisa memakai NPPN, berarti harus masuk ke kolom ini. Habis perkara. Tak ada lagi diskriminasi. Profesi penulis tak berbeda dengan pekerja bebas lain seperti dokter.
Masalahnya, masih di formulir yang sama (1770 I halaman 2 SPT Tahunan), AT juga menunjukkan “Bagian D: Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya”. Di kolom ini, termasuk di antaranya adalah royalti.
Jadi, royalti penulis harus masuk ke mana?
Jika masuk ke Bagian B, lantas royalti yang disebut Bagian D ini yang bagaimana?
Apakah ini hanyalah urusan geser-geser kolom saja? Tentu tidak, Ma Chérie. Masing-masing punya filosofi dan implikasinya sendiri.
Bagian B adalah penghitungan dengan NPPN. Apa itu? Dalam peraturan pajak penghasilan, orang pribadi yang bekerja selain sebagai karyawan sebenarnya diwajibkan membuat ‘pembukuan’ (akuntansi). Karena tidak semua orang paham akuntansi, disediakan alternatif yang disebut ‘pencatatan’ khusus untuk orang yang penghasilan kotornya tak melebihi Rp4,8 miliar. Jika dalam pembukuan penghasilan kotor harus dikurangi biaya-biaya untuk mendapatkan penghasilan bersih, tidak begitu dalam pencatatan. Kau cukup mengalikan penghasilan kotor dengan NPPN untuk mendapatkan penghasilan bersih, di mana NPPN ditetapkan sepihak oleh DJP sesuai jenis usaha/pekerjaan bebas.
Bukannya dengan metode pencatatan yang kelewat menyederhanakan itu, penghasilan bersihnya jadi tidak akurat? Ya. Pasti tidak akurat. Begitulah, keadilan seringkali tak sejalan dengan kemudahan. Semakin mudah sesuatu, semakin besar potensinya menjadi tidak adil.
Tinggal pilih mana, mau pakai pembukuan yang rumit tetapi adil, atau pencatatan yang gampang tetapi bisa jadi tidak adil?
Pilihan semacam itu yang tak ada jika royalti penulis masuk ke Bagian D. Di bagian ini, kolom yang tersedia langsung penghasilan neto (penghasilan bersih). Apa yang dimaksud penghasilan neto? Yakni penghasilan yang dibayarkan setelah dipotong biaya ini-itu oleh pemberi penghasilan (biaya penerbit dibebankan kepada penulis). Berbeda dengan definisi penghasilan bersih jika royalti menggunakan pembukuan/NPPN, di mana penghasilan yang dibayarkan oleh penerbit yang menjadi penghasilan kotor, dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan sendiri oleh penulis dalam proses kreatifnya, baru didapat penghasilan bersih.
Apa implikasinya? Tentu saja pajak yang dibayar oleh penulis jadi lebih besar jika royaltinya harus masuk ke Bagian D.
Kalau satu peraturan bisa punya lebih dari satu tafsir, itu lumrah. Anda bisa menyebutnya peraturan multitafsir atau pasal karet. Ini kebalikannya, satu objek menjadi tafsir dari dua peraturan yang sama-sama valid dan terbit di tahun yang sama. Kemantaban!
Yang satu Per-17/PJ/2015 (tentang NPPN), yang lainnya Per-36/PJ/2015 (tentang bentuk dan petunjuk pengisian SPT Tahunan).
Hampir empat tahun menjadi pegawai di Kring Pajak, AT baru sadar ada yang seperti ini. Saat ditanya apa istilah yang tepat? AT menjawab: threesome.
Sumpah, AT itu bukan saya.