[MOJOK.CO] “Katanya sih, bercanda soal agama itu nggak pantes~”
Konon orang Indonesia adalah orang yang paling religius di seantero dataran bumi. Tiap hari yang diomongin agama melulu. Yang paling mudah adalah menonton siaran televisinya, dari pagi sampai pagi lagi selalu ada acara khotbahnya. Bahkan khotbah itu diselipkan di acara-acara lain. Sinetron ada sinetron religinya, talk show ada ustaznya, acara eker-ekeran orang pacaran yang dulu selalu disemprit KPI sekarang aman karena ada ustazahnya, bahkan Raden Kian Santang pun kalau mau berantem baca bismillah dulu.
Pelawak sepertinya tidak mau ketinggalan. Yang paling gres adalah Ge Pamungkas dan Joshua Suherman yang berujung dilaporkannya mereka ke kepolisian. Joshua dituding mengobok-obok agama lain, sementara Ge dituduh mencandai sampai menyalahkan Tuhan. “Cobaan, cobaan apa ini?” kata Ge sambil melotot-melotot ke atas.
Saya akhirnya sampai pada pertanyaan, ‘Apakah Tuhan memang tidak boleh dibecandain? Apakah Tuhan sendiri juga tidak lucu?’.
Sebagai sosok yang maha segalanya, saya pikir Tuhan seharusnya juga maha lucu. Lawakan-Nya yang paling sukses, saya kira, adalah waktu memenangkan Jokowi di pilpres. Ramai-ramai pendukung Jokowi menyuruh para kampret move on, sementara pendukung Prabowo menuntut para kecebong untuk kritis. Tidak lama kemudian, giliran Anies Baswedan yang menang pilkada. Sekarang gantian, pendukung Anies yang kebanyakan pendukung Prabowo minta pendukung Ahok move on, sementara pendukung Ahok maunya pendukung Anies juga kritis.
Tapi lawakan yang baik tidak cuma punya satu punchline. Ketika orang mengira Tuhan selesai bercanda soal pemilu, Doi membiarkan pilkada digelar serentak di Indonesia tahun depan. Ketika pendukung Prabowo mengkampanyekan gerakan untuk memboikot partai pendukung ‘penista agama’, kubu sebelahnya menyatakan anti pada partai yang didukung Saracen. Di lapangan, kedua partai itu malah berkoalisi di beberapa daerah. Ndomblong-lah itu semua pendukung partai. Di atas sana, saya yakin Tuhan lagi ngakak guling-guling sambil memegangi perutnya. Kemekelen.
Saya lihat tidak ada agama yang melarang orang tertawa. Islam yang katanya serius, baperan, dan suka nglaporin orang ke polisi, setahu saya beberapa ulamanya juga lucu-lucu.
Yang paling saya ingat adalah dai sejuta umat, almarhum KH Zainudin MZ. Walaupun beragama Kristen, saya termasuk orang yang tumbuh besar bersama dakwah-dakwah beliau. Tiap jam 4 sore bapak saya nyetel radio mendengarkan beliau. Saya malah masih ingat satu leluconnya yang bilang, “Saya, kalau nggak boleh kawin, mending berhenti jadi ustaz.”
Pak Zainudin jelas sedang menyindir para Romo Katolik yang non-selibat, menjomblo seumur hidup. Tapi saya lihat bapak saya –yang agamanya taat, yang tega ngoprak-ngoprak anaknya yang lagi asyik nonton film kartun di hari Minggu buat pergi ke gereja—malah tertawa. Bertahun tahun kemudian baru saya tahu kalau bapak saya itu dulu pernah kepingin jadi pastor juga gara-gara hatinya pernah dipatahkan oleh seorang nona Ambon manise. Sang nona kawin tanpa ngajak bapak saya (untuk menghindari frase ‘ditinggal kawin’). Pikir bapak saya, kalau jadi pastor minimal tiap minggu beliau masih bisa ketemu mantannya. Tapi begitu tahu bahwa syaratnya adalah tidak menikah seumur hidup, bapak saya langsung balik kucing.
Sekarang saya nggak tahu apakah agama Katolik beruntung karena nggak jadi punya pastor yang niatnya cuma biar bisa ketemu mantan, atau malah sial karena bapak saya akhirnya punya anak kayak saya.
Kalau sekarang, ustaz favorit saya adalah Ustaz Wijayanto. Itu loh yang kadang-kadang diundang di acaranya Dedy Corbuzer. Satu kelakarnya yang saya ingat adalah ceritanya soal petani jagung yang berhasil naik haji hanya dengan menjual jagungnya yang tidak seberapa. “Yang penting niat,” kata beliau. “Dapat seribu ditabung, dua ribu ditabung, tiga ribu ditabung, nyatanya petani jagung itu akhirnya berhasil naik haji hanya dengan berjualan jagung… beserta tanah-tanahnya,” kata beliau lagi.
Tapi bercanda soal agama ini saya rasa jawaranya tetap Gus Dur. Kayaknya semua orang pernah mendengar leluconnya soal umat beragama yang paling dekat dengan Tuhannya. Orang Hindu memamerkan kedekatan mereka dengan Tuhannya karena mereka memanggil Tuhan mereka ‘Om’. Yang beragama Kristen lebih dekat lagi, karena mereka memanggil Tuhannya ‘Bapa’.
Tinggal umat Islam yang celingak-celinguk sepertinya bingung mau ngomong apa. Begitu ditanya oleh umat agama lain, dia menjawab, “Kami gimana mau dekat, lha wong manggil Tuhan aja pakai toa.”
Pernah seorang teman Muslim yang saya tahu suka bercanda mengeluh kepada saya. “Kami ini susah, Cep. Kalau ketawa pas tausiah gitu, dibilangnya nggak serius.” Belakangan saya baru tahu kalau tidak semua aliran dalam Islam membolehkan bercanda dalam dakwah. Konon katanya NU cenderung lebih santai sementara Muhammadiyah sedikit lebih kaku. Itu saya tahunya juga setelah jadi follower-nya buzzer Jokowi yang nyamar jadi supir di Australia dan baru-baru ini memutuskan gantung setir –mungkin karena merasa penghasilan ratusan juta sebagai buzzer sudah cukup— Iqbal Aji Daryono.
Saya dan teman itu suka gasak-gasakan soal agama. Cerita favoritnya adalah tentang penyebab Yesus disalib. Jadi ceritanya dulu itu ada tukang sate yang dagingnya sering dicuri oleh seekor burung kakaktua. Satu kali, dua kali, sampai akhirnya si tukang sate yang kesal itu berhasil menangkap burung jahil itu. Saking kesalnya, kedua sayap burung itu dibentangkan lalu dipaku di atas talenan oleh si tukang sate. Lalu dipajang di tembok. Mungkin buat peringatan untuk burung-burung lain. Kakaktua yang sudah mlekekek itu tolah-toleh di tembok sampai sepasang matanya menatap seorang laki-laki berwajah teduh di sebelah kirinya yang dipaku di sebuah palangan kayu. Menatap wajah laki-laki itu, entah kenapa hati si burung langsung merasa tenang dan damai. Lalu dengan suara lirih burung itu bertanya, “Sampean kenapa, Mas? Nyolong sate juga ya?”
Saya tentu membalas gojekan kere teman saya itu, tapi mending nggak usah ditulis ya. Ndak dilaporkan ke polisi.
Kembali ke Ge Pamungkas, rasanya lawakannya nggak baru-baru amat. Saya pernah mendengar lawakan sejenis dari seorang pendeta gereja Bethany waktu di Jogja dulu. Ge mungkin memodifikasinya dengan sedikit memasukkan unsur politis yang memang lagi hot. Ceritanya soal petani cengkeh di daerah Timur sana, tapi karena tidak fasih menulis logat Timur, saya ganti saja latarnya dengan petani tembakau, anggap saja di Temanggung.
Jadi, pagi-pagi, mendapati matahari bersinar secerah wajah Maya Septha, sang petani langsung menggelar tembakaunya untuk dijemur. Baru selesai menggelar tembakaunya, hujan rintik-rintik turun di seluruh Temanggung. Buru-buru sang petani membereskan tembakaunya lagi. Tapi gerimis itu ternyata cuma lewat, hari kembali cerah dan matahari kembali bersinar seceria senyum Neng Maya. Tembakau digelar lagi, tapi tiba-tiba mendung lagi. Kesal karena bolak-balik nggelar, mberesin, nggelar, mberesin lagi, sang petani tembakau berkacak pinggang, menengadah ke atas, lalu ngomong, “Mas, sampean kalau nggak bisa ngatur cuaca mending turun aja dan saya yang naik. Nanti biar saya yang ngatur cuaca, sampean yang njemur mbako!”
Gasak-gasakan antar aliran yang seagama bukan hanya terjadi antara NU dan MU, Kristen juga sama dan ceritanya masih saya dapat dari pendeta Bethany yang sama. Beliau membukanya dengan pertanyaan sederhana, “Kalau lampu gereja mati, berapa orang yang dibutuhkan untuk memperbaikinya?” Umat menjawab sekenanya, tapi sang pendeta memang benar-benar wakil Tuhan di bumi sehingga tidak membiarkan umatnya bimbang. “Tergantung gerejanya,” katanya. “Kalau saudara-saudara kita yang kharismatik, karena mereka terbiasa mengangkat tangan dan menaruh satu tangan yang lain di dada, cuma butuh satu orang. Kalau Katolik, mereka nggak butuh orang sama sekali, karena mereka lebih suka beribadah memakai lilin. Kalau Gereja Kristen Jawa, karena mereka suka bikin acara mengenang ini dan itu, butuh 10 orang; satu pegang tangga, satu ngganti lampu, sementara delapan yang lain menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa lampu yang sudah mati.”
Sang pendeta menutup ceritanya dengan pertanyaan yang dijawabnya sendiri, “Bagaimana dengan kita sendiri? Kita, Bethany, butuh lebih dari itu semua, karena kita harus menggelar rapat sinode dulu untuk memutuskan berapa orang yang harus mengganti lampu, lampunya merk apa, belinya di mana, lampu yang mati mau diapakan, dan lain sebagainya.”
Saya pikir tulisan ini sudah terlalu panjang dan saya tutup saja dengan lelucon favorit teman saya yang lain. Nanti silahkan ditimbang-timbang apakah Tuhan itu memang perlu dibela atau tidak, atau apakah Tuhan itu pemarah atau tidak.
Alkisah, seorang pengusaha yang merasa perlu berterima kasih pada pendetanya mengajak sang pendeta main golf. “Biar Pak Pendeta tahu rasanya main golf,” mungkin begitu pikir si pengusaha. Di luar dugaan si pengusaha, berbeda dengan khotbahnya yang selalu teduh, sang pendeta ternyata hobi misuh. Pukulan pertama, karena baru sekali itu megang stick golf, tidak mengenai bolanya. “Sempak, luput!” maki sang pendeta. Pukulan kedua sudah kena, tapi bola tidak meluncur ke depan, malah melenceng ke arah kanan. “Bangsat, luput!” maki sang pendeta lagi. Jengah dengan hal itu, si pengusaha berusaha mengingatkan sang pendeta. “Bapa, apa tidak apa-apa Bapa memaki-maki? Nanti kalau Tuhan marah, kita berdua bisa disambar petir bareng lho,” katanya. Sadar akan kekeliruannya, sang pendeta berusaha menahan diri sebisa mungkin.
Permainan sang pendeta makin lama makin membaik walaupun pukulannya masih seperti puisinya Rangga, kadang-kadang jatuh ke hutan, kadang ke danau, atau ke pasir. Beberapa kali sang pendeta terdengar akan memaki, tapi ditahan-tahannya. “Baj…” nggak jadi. “Bed…” nggak jadi. “Kep…” nggak jadi. Tapi ketika bola golf hanya tinggal sejengkal dari lubang dan ketika dipukul bolanya cuma muter di bibir lubang lalu keluar lagi, sang pendeta akhirnya tidak tahan. “Bajingan, luput!” pekiknya sekuat tenaga.
Begitu selesai sang pendeta memaki, begitu kedua bibirnya bersatu kembali dan mulutnya baru saja mingkem, di tengah siang bolong yang panas ngentang-ngentang, petir tiba-tiba menyambar sebatang pohon beberapa meter dari tempat si pengusaha dan sang pendeta berdiri. Sontak keduanya menjatuhkan diri dan tiarap di atas rumput. Kaget. Tapi lebih kaget lagi keduanya ketika dari langit terdengar suara bariton yang berat dan dalam seperti suara penyiar-penyiar radio jaman dulu:
“ASU, LUPUT!”