Dari Alamanda ke Jakarta
Erix Soekamti, dalam sebuah podcast bersama Soleh Solihun dan Ari Lesmana, mengatakan bahwa sulit bagi band Jogja untuk me-nasional. Katanya pula, Captain Jack, salah satu band lama dari Jogja, butuh belasan tahun untuk mendapatkan panggung utama dan menarik perhatian netizen musik nasional.
Sebaliknya, mudah sekali bagi band ibu kota untuk diterima oleh panggung nasional. Ini sebuah fenomena yang menarik, sekaligus bikin miris.
Di Jogja, konon, untuk menjadi band nasional di Jakarta, perlu setidaknya sekali berlatih di studio Alamanda Jogja. Atau setidaknya, pernah nongkrong di sana. Dan mengulang dari beberapa paragraf di atas, sekadar berlatih atau nongkrong saja tidak mudah. Pasti grogi dan gugup!
Padahal, sebagian besar musisi Jogja, ketika kamu bersua di sana, ya, biasa-biasa saja. Malah kalau jujur, mereka kelihatan nggak kayak artis. Mereka itu malah seperti pemuda biasa yang umumnya nongkrong di sudut-sudut kampung. Para seniman itu bahkan mau berbagi kursi dan sebatang rokok.
Di sudut Gejayan, yang kini bersalin rupa menjadi Popeye Chicken dan Laundry, studio Alamanda pernah menjadi episentrum musisi Jogja. Dari situlah single atau album dari band-band Jogja hadir. Maka, tidak heran apabila alumni Alamanda sangat kental dan menjadi legenda. Mereka masih berjejaring dan bahkan membuat proyek saat pandemi. Namanya The Alamanders.
Proyek The Alamanders muncul saat pandemi
Pandemi menjadi musibah untuk kita semua. Namun, di balik musibah itu, selalu ada satu titik “berkah” tak terduga. Namanya blessing in disguise.
Dari kesepian, hingga berakhir reuni. Tak mampu bertatap muka, jadinya malah bertatap layar. Dari situlah sebagian kecil alumni studio Alamanda Jogja berkumpul. Reuni kecil itu akhirnya melahirkan sebuah single yang mendapat nama “Menjadi Alasan Bertemu”.
Proyek itulah yang mengobati rasa rindu netizen musik, khususnya Jogja, tentang Alamanda. Dari lagu itulah, kita jadi lebih tahu, “Oh ini toh alumni Alamanda.”
Namun sayang, proyek menyenangkan itu tidak lagi berjalan. Barangkali karena kesibukan masing-masing personel, jadi tidak ada lagi single terbaru dari The Alamanders.
Studio musik Jogja terkini
Studio Alamanda Jogja resmi tutup pada 2008. Namanya, mungkin sudah almarhum, tetapi tidak dengan jasanya. Generasi milenial (Y) dan generasi X telah mengenal baik bagaimana Alamanda mampu menghidupkan ekosistem musik di Jogja.
Sekarang, keadaannya sudah berbeda. Kalau kamu di Jogja dan mengetik kata “studio musik”, akan muncul banyak pilihan. Toh, zaman sekarang, rekaman mulai mudah. Tidak seperti dulu. Maka, tidak heran semakin banyak band-band dari Jogja yang me-nasional dengan caranya sendiri.
Alamanda, tetaplah menjadi Alamanda. Di gang itulah kenangan tercipta. Aneka memori terjalin. Sebagian besar musisi tetap bersaudara. Dan memang sudah semestinya hubungan manusia.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Sheila on 7, Band Termahal di Indonesia dan Orang yang Paling Rugi di Dunia Adalah Mereka yang Tidak Pernah Mendengarkan SO7 dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












