Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Soal Survei Guru Intoleran dan Serapan Kata Toleransi di Indonesia

Saleh Abdullah oleh Saleh Abdullah
20 Oktober 2018
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Dalam kata yang lebih menyakitkan, toleransi beragama itu bermakna: yang mayoritas mengasihani dan membolehkan kebebasan beragama yang minoritas.

Kagak tanggung-tanggung, 63.07% guru di Indonesia dianggap cenderung intoleran. Sebagian mereka malah dianggap sangat intoleran terhadap pemeluk agama lain.

Eit, itu tuduhan bukan berasal dari saya, melainkan berdasar ringkasan kesimpulan sementara survei yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lembaga yang digerakkan oleh banyak intelektual peneliti, pengamat, dan dosen. Survei tersebut melibatkan 2.237 responden guru di 34 provinsi di Indonesia.

Sebuah hasil survei yang bisa viral-able dan goreng-able.

Saya hanya baru membaca ringkasan survei yang beredar di media sosial, belum baca hasil lengkap surveinya. Kesimpulan sementara itu pun sudah lumayan disenggol beberapa pertanyaan kritis.

Ada yang bertanya ihwal instrumen survei apa yang dipakai? Bagaimana pendekatan dan metode yang digunakan? Sampai yang rada mendasar: apa sih definisi tentang intoleransi yang dipakai oleh PPIM?

Apakah bila seorang guru muslim—misalnya—ditanya pendapatnya tentang rencana pembangunan sarana ibadah agama lain di dekat rumahnya, si guru tidak setuju, lalu bisa disimpulkan si guru intoleran bermagnitudo 6-8 Skala Richter?

Padahal bisa aja si guru ingin jelas dulu status perijinannya. Atau dia malah justru ingin mencegah potensi kekisruhan yang ia bayangkan bakal terjadi. Atau alasan-alasan mitigatif lainnya. Apakah persepsi seorang guru bisa dicopot begitu saja dari kesadaran sosiologisnya? Dan banyak pertanyaan cerewet lainnya untuk isu sensitif ini.

Harap teman-teman PPIM menyadari pertanyaan-pertanyaan yang bisa diduga berbau grusa-grusu tersebut. Namanya juga baru baca ringkasan survei. Kan bisa macam-macam juga interpretasinya. Sudah dimuat di beberapa media lagi itu ringkasannya.

Sedikit lepas dari hasil survei PPIM tersebut, saya malah tertarik dan gatel untuk mempersoalkan tema toleransi dan intoleransi yang jadi jualan utamanya. Karena hal ini akan memblejeti fakta sesungguhnya apakah Indonesia sudah benar-benar bisa disebut negara demokratis?

Lalu kalau banyak orang, termasuk Prabowo yang awalnya menganggap kebohongan Ratna Sarumpaet sebagai pelanggaran HAM (ingat ya, dalam kasus yang disebut pelanggaran HAM, aktornya selalu negara), sudah betul-betul mengamini prinsip-prinsip HAM universal?

Dan akhirnya apakah mereka yang menganggap Indonesia sebagai negara demokratis dan oke habis dengan HAM, masih saja tersandera atau malah menyanderakan pikiran dan tindakannya dengan wacana toleransi dan intoleransi dalam keberagamaan?

Seorang suporter HAM tulen yang masih saja menganggap perlunya toleransi dalam keberagamaan itulah yang disebut contradictio in terminis. Karena wacana dan frasa toleransi beragama itu, tidak tepat dan bertabrakan dengan nilai demokrasi dan HAM itu sendiri. Bahkan pada level penghayatan tertentu, terasa menyakitkan.

Oke, mari kita lihat pelan-pelan,

Sebagai pro asing, jelas, kata toleransi kita serap dari bahasa Inggris, toleration. Secara etimologis, toleration yang mulai dikenal pada sekira 1510, berasal dari bahasa Latin tolerationem (nominative toleratio).

Tolerationem kemudian diserap oleh bahasa Prancis pada 15 Masehi menjadi tolération. Tolération akhirnya dibajak oleh bahasa Inggris pada 1510-an itu, jadilah toleration, yang maknanya adalah permission granted by authority, licence. Jadi muasal toleransi adalah izin atau lisensi yang diberikan oleh sebuah otoritas.

Itu sebab saya bilang makna toleransi beragama itu kagak jodoh dengan prinsip HAM tentang kebebasan beragama. Karena di dalam makna etimologi itu, dan masih bisa kita lihat jelas praktiknya sampai sekarang, toleransi beragama adalah sesuatu yang diberikan oleh yang mayoritas dominan (sama seperti punya otoritas) kepada yang minoritas.

Dalam kata yang lebih menyakitkan: yang mayoritas mengasihani dan membolehkan kebebasan beragama yang minoritas. Sebentar, kok tidak enak dan terasa menyakitkan begitu kedengarannya?

Begini.

Pertama, kebebasan beragama itu hak asasi manusia. Dan hak asasi manusia harus sudah diakui dan dilindungi sejak manusia dilahirkan. Bukan sesuatu yang diberikan kemudian. Makanya tugas negara dalam kontek HAM adalah to respect, to fulfill, dan to protect.

Sekali lagi bukan memberi atau mengizinkan. Tapi harus menjamin pemenuhannya. Karena hak asasi sudah harus dianggap ada pada teriakan pertama individu manusia ketika baru dilahirkan.

Kedua, bersama hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, hak beragama masuk ke dalam hak-hak asasi manusia yang tidak boleh ditangguhkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights).

Mau keadaan perang kek, bencana kek, apalagi masa pilpres, pemenuhan hak-hak asasi tersebut tidak boleh ditangguhkan. Sejumlah hak asasi lain yang masuk kategori derogable rights, dengan prosedur yang baku dan benar, bisa ditangguhkan.

Kebebasan pers bisa ditangguhkan atau dibatasi bila negara dalam situasi perang, misalnya. Hak untuk mendapat pendidikan bisa ditangguhkan kalau keadaan dalam keadaan bahaya bencana.

Ketiga, seperti sudah saya singgung esensinya di atas, dalam konteks toleransi beragama dan lawan katanya intoleransi, ada relasi kuasa yang bermain.

Si mayoritas dominan memberikan toleransinya pada yang minoritas. Yang berkuasa memberikan toleransi pada yang dikuasai. Kehidupan dan ekspresi keberagamaan antar umat beragama yang seharusnya berbasis hak asasi manusia, disleding jadi masuk wilayah kuasa, wilayah politik.

Dan kita menonton fakta-fakta tersebut nyaris saban hari. Tidak heran bila perbedaan agama jadi begitu mudah di-down-grade ke level rendahan berhasrat kuasa dominan oleh para politisi berpendidikan tinggi dan jenderal penuh bintang.

Padahal demokrasi bukan hanya perkara yang mayoritas yang menang. Tapi demokrasi akan diuji pada sejauh mana ia menghargai dan menghormati yang minoritas. Di situlah demokrasi dan hak asasi manusia baku cocok.

Lalau bagaimana dengan hasil survei PPIM tersebut? Ya, kan hasil utuh penelitiannya belum jika dirilis secara resmi, ya ada baiknya kita tidak terlalu heboh menanggapinya.

Asal, semoga tidak muncul pendapat yang bilang: “Kesalahan yang terus diulang-ulang, lama-lama bisa menjadi kebenaran.”

Terakhir diperbarui pada 20 Oktober 2018 oleh

Tags: bahasaetimologiInggrisintoleranprancissurveitoleranToleransi
Iklan
Saleh Abdullah

Saleh Abdullah

Artikel Terkait

kerja sama indonesia prancis.MOJOK.CO
Sosial

Indonesia-Prancis Teken Kerja Sama Perfilman di Candi Borobudur, Angin Segar Industri Sinema Tanah Air

29 Mei 2025
universitas brawijaya mojok.co malang
Kampus

Universitas Brawijaya, Universitas Malang tapi Rasa Jakarta

20 Februari 2025
kaum ngapak
Ragam

Orang Ngapak Melawan Rasisnya Warga Jakarta: ‘Bukan Dielek Ndeso, Aneh, Keras, Apalagi Bahasa Alien’

17 Januari 2025
gamelan jogja di prancis.MOJOK.CO
Seni

Gamelan Jogja Dijauhi Anak Muda Daerah Sendiri karena Dianggap Mistis tapi Diminati di 7 Kota Prancis

22 April 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

mahasiswa kkn.MOJOK.CO

Dapat Kelompok KKN “AFK” dan “Nggak Napak Tanah” Itu Seburuk-buruknya Nasib: Merepotkan Teman dan Warga Cuma Demi Nilai A

17 Juni 2025
Coach Timo Scheunemann: Jangan Buat Anak-anak Trauma dengan Sepak Bola. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Coach Timo Scheunemann: Jangan Buat Anak-anak Trauma dengan Sepak Bola!

22 Juni 2025
Innova Zenix Tidak Otentik, Kalah Populer dari Innova Reborn MOJOK.CO

Innova Zenix Bisa Menjadi Penyesalan Toyota karena Melahirkan Mobil Tidak Otentik dan Ternyata Innova Reborn Belum Habis

16 Juni 2025
Cerita Lintang dan Ayla dari SSB menjadi pemain sepak bola putri yang banggakan Jogja MOJOK.CO

Lintang dan Ayla, Dari Pertanyaan “Perempuan Kok Main Bola” Jadi Inspirasi Sepak Bola Putri di Jogja

18 Juni 2025
Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Kini Bermusik Lewat Lirik Patah Hati

Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Bikin Band Pop Gemezz, dan Alasan Hiatus

15 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.