Usia produktif lebih memilih merantau
Perantauan sudah seperti “ritual wajib” bagi sebagian besar pemuda Purworejo. Apalagi Jogja berada begitu dekat. Cukup naik Prameks dengan tarif yang bahkan tidak sampai setengah harga es kopi kekinian, sudah bisa merantau.
Kota besar seperti Jakarta jadi tujuan berikutnya. Akibatnya, banyak desa atau kelurahan di Purworejo yang “sunyi generasi muda”. Waktu kumpul teman lama, yang datang biasanya itu-itu saja. Yang lain sudah menyebar ke dunia luar, baik untuk kerja maupun pendidikan.
Beberapa orang tua bahkan sudah pasrah. Mereka merelakan anak-anaknya pergi karena merasa daerah belum mampu memberi harapan yang setara.
Ruang publik Purworejo yang terbatas
Purworejo memang punya taman kota, alun-alun, dan beberapa ruang publik lain. Namun, dari sudut pandang warganya, ruang-ruang itu belum terasa “hidup”. Bahkan belum menjadi titik kumpul yang benar-benar menciptakan aktivitas dan interaksi yang variatif.
Beberapa warga membandingkannya dengan tempat-tempat rekreasi di kabupaten tetangga. Khususnya yang mulai ramai dan berkembang.
Padahal, ruang publik yang hidup bisa menjadi percepatan ekonomi kecil-kecilan. Misalnya, pedagang kaki lima akan tumbuh, komunitas berkegiatan, sampai acara sederhana yang bisa memancing kunjungan warga dari luar. Semua itu baru terasa kurang ketika diamati dari dekat.
Purworejo belum bisa memaksimalkan potensi wisata
Padahal punya pantai selatan, perbukitan Menoreh, sampai situs sejarah. Namun, geliat wisata Purworejo masih terasa pelan.
Beberapa warga bahkan suka membandingkan dengan Kebumen. Tahukah kamu, belakangan ini, Kebumen mulai menunjukkan taringnya melalui berbagai event besar. Bahkan, Kebumen mendapatkan pengakuan dari dunia melalui UNESCO Global Geopark Kebumen.
Di Purworejo, masalahnya bukan kurang destinasi, tapi pengelolaannya yang belum konsisten atau optimas. Ada tempat bagus, tapi aksesnya bikin orang bertanya, “ini wisata apa jalur offroad?”
Ada spot yang sempat viral, tapi tidak ada kelanjutan pengembangannya. UMKM sekitar pun belum semua tersambung dengan ekosistem wisatanya. Sekilas sepele, tapi kalau sektor wisata tidak bergerak, banyak potensi ekonomi yang ikut “tidur”.
Industri kreatif yang masih minim apresiasi
Beberapa event kreatif, seperti konser kecil, pameran seni, pertunjukan komunitas pernah digelar di Purworejo. Namun, banyak di antaranya yang kurang mendapat apresiasi. Penontonnya sedikit, gaungnya kecil, dan promosi tidak tersebar luas.
Teman saya bercerita bahwa Purworejo berbeda jauh dengan Jogja. Masyarakat Jogja, mau yang asli maupun pendatang, menunjukkan antusiasme dengan datang ke berbagai acara seni atau kreatif. Bahkan acara kecil tetap mendapat sambutan antusias.
Hal ini membuat pegiat kreatif lokal Purworejo sering merasa kurang mendapat dukungan. Padahal, daerah yang hidup secara kreatif biasanya akan memantik hal-hal lain: wisata, kuliner, UMKM, komunitas, dan seterusnya.
Pola pikir yang menghambat
Salah satu hal menarik adalah soal respons generasi tua terhadap perubahan. Banyak orang sepuh di Purworejo yang sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sampai-sampai setiap ada pembaruan kecil saja, respons mereka cenderung skeptis.
Misal, ketika ada rencana pembukaan Mie Gacoan, komentar yang muncul justru, “Mending mie ayam depan gang. Lebih enak.”
Padahal, persoalannya bukan soal mie mana yang lebih enak. Ini soal bagaimana kota bisa berkembang secara ekonomi dan sosial lewat hadirnya brand baru. Ketika pola pikir stagnan terlalu mengakar, perkembangan berjalan sangat pelan. Akhirnya, generasi muda yang ingin perubahan merasa tidak punya cukup ruang untuk berproses.
Kenyataan di balik Purworejo yang tenang
Melihat Purworejo hanya dari jalur lintas memang membuatnya tampak adem ayem dan tenang. Tapi, setelah bersentuhan langsung dengan warganya, cerita-cerita yang muncul justru menunjukkan bahwa ketenangan itu menyimpan banyak hal yang perlu pembenahan.
Dan pada akhirnya, apa yang terjadi di Purworejo bukanlah cerita eksklusif satu daerah. Daerah lain termasuk Kebumen, bisa belajar dari keresahan ini. Bukan untuk saling membandingkan, tapi menyadari bahwa setiap daerah punya PR masing-masing.
Mungkin sudah saatnya daerah-daerah di pesisir selatan Jawa ini berhenti saling “melihat rumput tetangga”. Saatnya mulai menata rumputnya sendiri. Karena kalau tetangga maju, daerah sendiri ikut terdorong. Dan kalau satu daerah berkembang, kawasan lain ikut bergerak.
Penulis: Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Suka Duka yang Saya Rasakan Selama Tinggal di Purworejo Bagian Selatan dan kenyataan pahit lainnya di rubrik ESAI.












