Pertanyaan serius yang akan saya jawab: apakah para HRD selalu memihak karyawan?
Sayangnya, tidak. Kebanyakan HRD akan selalu menancapkan 2 kaki di tempat yang berbeda. Kaki yang satu untuk bisnis atau perusahaan. Satunya lagi untuk karyawan. Jadi, berharap bahwa semua HRD akan iba dan bergerak cepat membantu terhadap segala permasalahan yang dihadapi oleh karyawan, adalah sebuah keniscayaan. Lha gimana, HRD juga sudah mumet sama tugas dan tanggung jawabnya, kok.
Terkait hal tersebut, ada satu cerita dari rekan HRD yang sampai saat ini selalu berhasil membikin saya mangkel setengah mampus.
Suatu ketika, ada beberapa karyawan yang harus diberhentikan (lay off) secara mendadak. Mereka ini tidak mendapat kabar satu bulan sebelumnya.
Saat itu datang ke kantor, di waktu itu juga dikabari bahwa ia diberhentikan. Karyawan tersebut tentu saja tidak menerima dan melayangkan protes. Namun, rekan saya yang HRD itu dengan congkaknya bercerita, “Halah, kalau cuman satu, biarkan saja. Tinggal diurus. Selesai.”
“Lagian, sudah biasa, kok,” dia melanjutkan. Saya yang kaget. “Lha, bisa-bisanya hal seperti itu dinormalisasi dengan entengnya,” batin saya.
Lain HRD, lain perusahaan, lain cerita. Rekan saya yang lain, menormalisasi uang lembur diganti dengan jatah/pemberian makan. Saat saya tanya, “Lho, kok, bisa-bisanya begitu? Uang lembur, kan, jelas hak karyawan ketika diminta kerja di hari libur.” Tanggapannya kemudian membikin darah di kepala saya mendidih, “Ya, nggak apa-apalah. Sudah syukur dikasih makan. Daripada sudah diminta lembur, terus harus beli makan pakai uang sendiri.”
Itu hanya sedikit cerita yang mengiris hati saya, mungkin juga bagi para pekerja lainnya, tentang sebagian HRD yang merasa jadi dewa, kebal aturan, sekaligus petantang-petenteng di dunia kerja.
Apakah HRD atau perusahaan yang melakukan praktik hina tersebut tidak takut terhadap Disnaker setempat?
Saya sempat menanyakan hal tersebut kepada rekan HRD yang saya kenal dan melakukan praktik ndableg tersebut. Mereka mengaku bahwa, jika pelapor hanya satu, dua, tiga, atau sekian orang, mereka siap “ngeles” jika ada pemeriksaan dari pihak Disnaker. Hadapi, beri penjelasan, atau berdamai dengan karyawan yang melapor dengan cara memberi kompensasi.
Mereka mengaku akan lain soal jika yang melapor mencapai puluhan atau ratusan karyawan. Sebab, hal tersebut akan mencuri perhatian Disnaker setempat untuk melakukan pengecekan mendalam, audit, dan tindakan semacamnya. Termasuk jika sudah melibatkan serikat buruh/pekerja. Mereka mengaku akan kalang kabut dan nyaris dipastikan kalah.
Tidak bisa tidak, dalam hal ini, peran, apalagi bergabung dengan serikat buruh, wajib dipertimbangkan oleh para pekerja. Termasuk melapor ke Disnaker agar bisa segera minta pertolongan jika menjadi korban praktik kecurangan yang dilakukan oleh HRD/perusahaan.
Sebagian HRD boleh jadi merasa takut, mesti patuh terhadap aturan yang ditetapkan perusahaan. Tapi, bukan berarti tidak punya hak suara sama sekali. Apalagi jika terjadi kecurangan. Dampaknya akan besar. Malah, akan memengaruhi branding perusahaan. Apa malah nggak mumet bin ruwet jika sudah kadung demikian?
Saya ingin menegaskan bahwa, dunia kerja, khususnya di Indonesia, selamanya tidak akan ada dalam status yang baik-baik saja jika HRD perusahaannya menganggap pekerja hanya sebagai angka dan menyepelekan hak yang semestinya diberikan. Padahal, lebih dari itu, pekerja juga manusia biasa yang ingin merdesa.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kenapa, sih, HRD yang Menyebalkan Semakin Banyak? Dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.