MOJOK.CO – Publik kembali terbelah menjadi dua dalam menanggapi kesigapan pemerintah menangani corona. Konflik macam cebong-kampret kembali terbuka.
Ada dua kejadian penting yang membuat penanganan terhadap ancaman virus corona menjadi jauh lebih diperhatikan dan transparan oleh pemerintah.
Pertama, begitu WHO secara resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemik global setelah dua bulan terdeteksi dan mengganas di Wuhan. Sementara yang kedua, begitu Menteri Perhubungan, Budi Karyadi Sumadi, dinyatakan positif terinfeksi virus corona.
“Loh, kurang diperhatikan dan transparan bagaimana, pemerintah langsung mengumumkan begitu ada yang positif terinfeksi corona kok. Ini jelas framing media!”
Sebagaimana saat pilpres, publik kembali terbelah menjadi dua dalam menanggapi kesigapan maupun keseriusan pemerintah. Konflik ala cebong-kampret kembali terbuka.
Satu pihak menyatakan keyakinan bahwa presiden bersama jajarannya telah bekerja sangat baik mengatasi pandemik corona. Pihak berlawanan menyatakan bahwa pemerintah belum melaksanakan protokol kesehatan saat menghadapi wabah sebagaimana mestinya.
Narasinya pun kerap ugal-ugalan. Ada yang menuduh WHO sebenarnya agen dari perusahaan yang menjual test kit COVID-19 atau corona. Ada yang mengatakan kalau kita menerima hibah dari Cina itu berarti kita harus siap jadi antek aseng.
Kedua anggapan tersebut dalam skala tertentu bisa aja mengandung kebenaran, tetapi jauh lebih penting segera mengambil keputusan secara cepat, terukur, dan tranparan. Itu akan menenangkan dan meneguhkan kepercayaan rakyat.
Keseriusan pemerintah dalam mengatasi wabah ini pada awalnya memang patut dipertanyakan. Bagaimana bisa kita sesantuy itu?
Sementara negara-negara tetangga sudah berjibaku dengan virus tersebut, pejabat negara kita dari menteri kesehatan sampai dengan wakil presiden malah lebih memilih mengeluarkan pernyataan-pernyataan akrobatik.
Lucu mungkin bagi balaterawan, tetapi tidak bagi yang menyimak sejak awal bagaimana pengaruh virus tersebut meluluhlantakkan berbagai aspek kehidupan suatu bangsa. Ketenangan yang dibangun dengan pernyataan akrobatik atau bahkan guyon, dalam tempo nisbi cepat mulai runtuh.
Ketahanan kita dengan makan sembarangan di pinggir jalan tanpa sakit perut, tidak seperti kalau orang barat mencicip food truck ala nasi kucing langsung diare atau bahkan typus, ternyata tidak membuat kita kebal virus.
Nyatanya, menteri yang berkelakar bilang orang Indonesia kebal corona karena doyan nasi kucing itu sendiri malah yang akhirnya positif corona.
Sama halnya dengan berdoa. Itu tidak serta merta menjadikan penganutnya lebih resisten terhadap virus dibandingkan dengan yang atheist.
Keyakinan seperti itu hidup subur di tengah masyarakat kita yang religius nanggung. Lupa bahwa keyakinan tertinggi dalam beragama itu pasrah pada ketentuan Tuhan. Tidak ada cerita Tuhan mengamandemen kiamat hanya karena doa hambanya.
Menariknya, di Jazirah Arab, negeri-negeri yang dikadrun-kadrunkan oleh orang Indonesia lebih tanggap terhadap imbauan pemerintahnya. Mekah menjadi senyap, hal yang tidak pernah terjadi dan mampu dibayangkan umat Islam.
Demikian juga di negara lainnya, umat berhasil digiring untuk memakmurkan masjid sekeliling pemukiman saja, atau sholat di rumah lebih dianjurkan.
Boleh saja mengatakan umat beragama tidak takut virus, karena ada Tuhan yang menjadi sumber kebenaran dan tempat bergantung. Tetapi jangan lupa, Tuhan juga juga meminta hambanya berpikir.
Ada sejarah maut hitam atau black death yang memangkas separuh penduduk satu benua itu mengerikan. Orang sadar tengah ada wabah pes mematikan, tapi tak tahu cara mengatasinya dan kemudian memilih bersekutu dalam doa.
Doanya baik, karena itu pertanda makhluk masih memelihara harapan untuk tetap hidup. Tapi begitu mereka berkumpul, penularan tak terhindarkan lagi dan semakin meluas. Maka kebijakan meliburkan diri secara terbatas untuk sebagian penduduk di beberapa daerah sebenarnya sudah sebaik-baiknya kebijakan.
Mau apa lagi? Yang kita perlukan memang memperlambat penyebarannya!
Kebijakan menghambat orang terkonsentrasi di satu waktu, di satu tempat, dalam satu periode waktu tertentu memang dimaksudkan sebagai upaya pencegahan wabah semakin meluas.
Pertimbangan utamanya jelas keterbatasan kemampuan sistem kesehatan suatu negara. Jumlah tenaga kesehatan maupun kapasitas rumah sakit jelas tidak sebanyak pasien yang dirawat seandainya angka pasien terus bertambah.
Itu berlaku di seluruh dunia, apa lagi Indonesia yang rasio tempat tidur rumah sakitnya hanya 1:1.000. Secara matematika, sangat mungkin angka 1 itu pun hasil pembulatan.
Sulit kita membayangkan kalau penduduk semakin banyak bertumbangan. Karena rasio tersebut berlaku bukan untuk penanganan pasien yang perlu diisolasi.
Nah berapa sebenarnya rasio isolasi per 100.000 penduduk di Indonesia?
Boleh juga mengatakan lockdown belum perlu karena terbilang mudah untuk sembuh dari infeksi virus corona. Tidak salah, tetapi juga kurang tepat.
Sadari juga bahwa kemampuan corona dalam menginfeksi manusia sangat tinggi. Jika terinfeksi, istirahat dua minggu pun sudah pulih. Tapi orang tua Anda bisa jadi akan begitu rapuh kalau terkena—beda dengan Anda.
Kalau sekolah seperti di Jakarta diliburkan, kemudian serombongan remaja malah pada main ke Puncak atau tempat lain sehingga membuat risiko orang di sana terinfeksi bagaimana?
Itu guna orang sekitarnya untuk mengingatkan. Jangan malah menyalahkan kebijakan Anies Baswedan hanya karena Anda tidak memilihnya atau dianggap tidak becus terkait banjir.
Hempaskan dulu ego kita sebagai “binatang politik”. Tidak perlu ada kubu-kubuan di tengah cekaman wabah seperti saat ini. Sadari dulu bahwa manusia sebenarnya makhluk lemah yang bisa dihantam dengan mudah oleh makhluk dalam skala mikro, untuk kemudian terkapar sakit. Jadi rapuh. Persis kalau ditinggal mbaknya pas lagi sayang-sayangnya.
Kita hanya perlu mengerem kegiatan sementara waktu, memberi kesempatan bumi untuk dapat sejenak mengambil nafas dari kebuasan manusia saat melakukan kegiatan ekonomi. Tidak perlu juga mengikuti cara menteri kesehatan yang mengangkat duta imunitas.
Untuk apa? Toh apa yang terjadi saat ini sering kali hanya untung-untungan, bukan karena kita kebal.
Kita bisa menjadi aktor utama dalam perang semesta ini. Iya, cukup berjuang dengan rebahan. Itu jelas menjadi salah satu bagian terpenting dalam mengatasi wabah.
Berdiam diri di rumah atau di kosan untuk sementara waktu. Tentu saja, terima kasih tak terkira untuk kaum rebahan di negeri ini, yang tanpa disadari sudah menginspirasi kita semua selama ini.
Tenang, uang bisa dicari lagi, cinta tak akan koyak hanya karena dua minggu LDR.
Jadi gimana? Kuy rebahan lagi?
BACA JUGA Yang Membunuh Kita Bukan Corona Virus atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya.