MOJOK – Tidak perlu menyalahkan Hanung Bramantyo yang menunjuk Iqbaal Ramadhan untuk memerankan Minke, roman Bumi Manusia memang sudah masalah sejak awal. Dari sejak kelahiran, tumbuh kembang, diberedel berkali-kali, sampai akhirnya mau difilmkan.
Ketika frasa “bumi manusia” untuk pertama kalinya dalam sejarah jadi trending topic nomor urut satu dari pukul 7 hingga 9.45 pagi di Twitter pada tanggal yang sama saat Sukarno lulus dari Jurusan Teknik Sipil ITB, sesungguhnya itu terjadi bukan disebabkan hanya karena roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer mau difilmkan.
Lalu karena apa? Ya, siapa lagi kalau bukan karena Iqbaal Ramadhan.
Pemuda berwajah imut itu tentu heran. Kok, kenapa jadi dia yang bersalah?
Tentu saja, Iqbaal Ramadhan yang membaca Bumi Manusia sebagai tugas bikin makalah ujian saat dia bersekolah di Amrik tidak salah. Apalagi Hanung Bramantyo yang keras kepala mau memfilmkan si Bumi Manusia. Apalagi produser pedagang dari Falcon Pictures yang dengan dada membusung barangkali ingin bilang; halah, dengan uang semua bisa dibikin bagus.
Oke, lalu siapa yang salah?
Siapa lagi kalau bukan Bumi Manusia. Si doi inilah biang keroknya. Ini buku memang sudah merepotkan banyak orang sejak dari benih.
Anda bayangkan, betapa menjengkelkannya menjadi mahasiswa dari seorang dosen yang tak bersertifikat mengajar sejarah. Si dosen bernama Pramoedya Ananta Toer ini awalnya tahu diri dia enggak punya potongan jadi guru dan enggak punya pengalaman sama sekali menjadi dosen.
Akan tetapi, karena dipaksa-paksa terus oleh pengurus universiteit sembari dibisikkan, “Ah, terserah Bung saja, bagaimana caranya mengajar mahasiswa. Manut dengan caramu, Bung!” Akhirnya, Universitas Res Publica (sekarang: Universitas Trisakti) pasrah bagaimana cara si tukang kliping yang hanya tamatan SMP ini betulan jadi dosen.
Tugas pertama Pelajaran Mengarang Sejarah dari si dosen adalah, persedikit masuk kampus, perbanyak masuk perpus. Untuk dapat nilai, mahasiswa-mahasiswa ujug-ujug jadi pengunjung garis keras perpustakaan Gajah (sekarang: Museum Nasional). Di perpus itu mereka diminta bikin laporan kliping. Tiap grup diberi rentang waktu. Semuanya tentang peralihan abad dari 19 ke 20. Lalu, diberi catatan. Dari mengkliping sebagai mata kuliah sejarah pergerakan Indonesia awal itulah mahasiswa dapat nilai dari si dosen.
Tugas-tugas itu tidak dibuang si dosen, tapi dirapikan, disusun ulang, dibaca, dipelajari. Rupanya, si dosen menyimpan dan belajar dari tugas mahasiswanya di rumah. Dosen yang aneh. Lazimnya, mahasiswa belajar dari dosen dan dosen emoh-lah mau diapakan tugas makalah si mahasiswa. Ini tidak. Tugas mahasiswa itu diarsipkan. Dan, ditulis ulang. Lalu, dimuat sambung-menyambung di dua harian secara bergantian. Yakni harian Bintang Timur dan Harian Rakjat.
Kliping-kliping yang ditulis ulang jadi esai bersambung itu bersulih jadi dua buku dalam genre yang berbeda. Yang satu jadi buku biografi, Sang Pemula. Yang kedua, itulah Bumi Manusia.
Lihat, Bumi Manusia sejak dari benih saja sudah berlagak. Belum lagi ditulis di tempat yang absurd dengan cara yang tak kalah absurdnya.
Bumi Manusia lahir dari kliping kepunyaan mahasiswa. Belum juga itu barang diubah jadi buku-buku, kliping-kliping itu dibakar habis tentara yang marah dengan mengajak teman-temannya dari kelompok-kelompok sipil yang tak kalah pemarahnya pada 13 Oktober 1965.
Sedih betul si Pram.
Jadilah, kliping-kliping itu ditampung Pram sebisa-bisanya di lingkar kepalanya berukuran 61 centi itu. Mungkin, tentara yang kalap itu mengira kliping-kliping itu menginap di kuping Pram kemudian memopornya hingga rusak itu gendang.
Dengan membawa kepala sebagai satu-satunya benda berharga sebagai manusia, kliping itu ikut masuk dari penjara ke penjara; dari Salemba ke Nusakambangan, lalu kamp kerja paksa ke Pulau Buru. Total jenderal, kliping-kliping itu berumah di kepala Pram selama satu dekade.
Dalam segala keterbatasan itu, satu-satunya yang dilakukan untuk meringankan beban kepala, kliping itu diolah menjadi cerita. Jadilah dongeng. Hikayat tentang kekuatan dari ketertindasan dan keterbatasan. Teman-teman sekompleks Pram takzim mendengarkan secara saksama hikayat itu karena itulah salah satu hiburan yang dipunyai selain berburu ikan, ular, dan tikus sawah untuk protein jasadi.
Setelah “didesak” pihak luar negeri untuk memperbaiki “muka negara” di bidang HAM dalam pergaulan internasional, Pram diberi mesin tik dan kertas. Jadilah setengah malam pekerjaan Pram mengetik setelah seharian berkebun dan kerja di persawahan.
Tiap malam Pram bekerja seolah berkejaran dengan harapan hidup yang entah bagaimana kelak. Pram mengeluarkan semua kliping di kepalanya lalu dimasaknya dengan imajinasi di tempat terburuk untuk menjadi cerita. Dengan kemampuan mengetik cepat, jadilah draf pertama dan tunggal tanpa kopian. Namanya Bumi Manusia beserta adik-adiknya.
Dari sini, pada kelahiran pertama usia si bayi, naskah ini sudah begitu merepotkan banyak orang. Si pembaca yang ketahuan membacanya sudah membayangkan akibatnya. Dibaca secara klandestin (baca: diam-diam) di kamp tahanan kerja paksa Buru.
Setelah bebas, bagaimana kondisi naskah aneh yang merepotkan banyak orang sesama Narapidana Politik Tanpa Pengadilan (napipolDILAN) ini?
Untuk bisa memperbanyaknya dan memiliki pembaca, berkumpul tiga sahabat sesama napipolDILAN. Ketiganya adalah Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rahman, dan Joesoef Isak.
Mereka menamai persahabatan mereka itu dengan nama Hasta Mitra. Mereka bersiasat dan memperpanjang akal. Lawan utama mereka adalah pemberedelan karena napipolDILAN enggak boleh bikin ini dan itu yang sekiranya mempengaruhi banyak orang.
Satu-satunya jenis kebebasan yang mereka dapatkan sepulang dari Buru adalah “tetap bernyawa saja sudah untung”. Pikiran dikendalikan dan kebebasan berserikat dan berpendapat dipentung dengan wajib lapor ke kantor Kodim terdekat.
Ketiga sahabat ini tahu betul, Bumi Manusia merepotkan dan membahayakan kebebasan mereka yang bertahun-tahun dirindukan jika bertindak lugu, asal berani, dan tak banyak akal. Padahal, menurut ketiganya—bukan menurut serdadu dan kapbir-kapbir di kejaksaan—Bumi Manusia ini penting dibaca.
Lahirlah pemasaran klandestin yang terkenal dengan sebutan “Siasat Jumat”. Bumi Manusia harus lahir di hari Jumat. Jika pun langsung dimatikan oleh kejaksaan, paling tidak ada tiga hari waktu hidup Bumi Manusia menemui pembacanya. Sebab, Sabtu aparatur kejaksaan pakansi, sementara Minggu tanggal merah. Senin baru masuk, itu pun beberapa jam didahului upacara dengan segala santiajinya. Waktu segitu cukuplah buat Bumi Manusia bergerak, berserak.
Sampai segitunya.
Tentu saja si Bumi Manusia langsung digasak. Tapi, ribuan eksemplar kadung beredar hasil dari pemasaran berkode “Siasat Jumat”. Ada juga pembaca-pembaca Bumi Manusia nontahanan.
Perbantahan pun menyeruak. Sastrawan macam Ajib Rosidi bilang, adegan asmaranya aneh. Ia sama sekali tak terangsang dengan percintaan Minke dan Annelis.
Di luar itu banyak yang terpukau, tapi harus membacanya dalam gelap. Sebab, jika ketahuan, nasib si pembaca juga berakhir gelap, seperti tanah kelahiran Bumi Manusia di Pulau Buru yang juga tak kalah gelapnya.
Lantas, apa tanggapan kapbir kejaksaan yang terdiri dari banyak unsur termasuk serdadu?
Ada Marxisme-Leninisme di Bumi Manusia. Diselundupkan dengan cara sangat rapi. Karena itu, TERLARANG!
Orang Indonesia tak pantas dengan bacaan begituan. Setidaknya, sampai rezim berganti. Yang nekat—dan ketahuan—ya digebuk. Jika Anda ditanya, buku apa yang pembaca digebuk saat membacanya, jawablah: BUMI MANUSIA!
Padahal, ini kata si penerjemah yang membuat Bumi Manusia menyebar ke seantero buana, Max Lane, enggak ada tuh “Indonesia” di Bumi Manusia. Nah, lho!
Lalu siapa yang salah, siapa yang benar?
Enggak ada. Satu-satunya yang salah adalah Bumi Manusia. Ia bersalah mengapa mesti lahir dan bikin banyak orang repot.
Mungkin juga Hanung Bramantyo juga berpikir begitu, salah saya apa. Kan saya menggunakan keterampilan saya di bidang film untuk memvisualkan buku apa yang sangat memengaruhi hidup saya.
Iya, Mas Hanung enggak salah, kok. Yang salah adalah Bumi Manusia mengapa berpapasan dengan Mas Hanung entah kapan di mana dan saling mencintai cum bergaul dengan cara yang begitulah.
Produser dari pihak Falcon Pictures, Pak H.B. Naveen, mungkin juga heran. Salah kami ini apa. Duit, duit kami. Kami pun sudah minta izin baik-baik dengan kontrak kepada keluarga. Kami pun sudah diberi keleluasaan memvisualkan. Bahkan, mengambil Bumi Manusia untuk difilmkan barangkali bagian dari judi kami. Laku alhamdulillah. Enggak laku? Ya kami juga yang rugi.
Paling sial barangkali Iqbaal “Dilan” Ramadhan yang ditunjuk menjadi pemeran Minke. Padahal, pada tanggal 25 Mei di lokasi pengambilan gambar di Desa Gamplong, Yogya itu banyak sosok lain berdiri bersamanya; termasuk Ayu “Ibu” Laksmi yang menggandeng tangannya seperti sudah serupa ibu Minke memperlakukan puteranya.
Mungkin dengan lugu Iqbaal berbisik di hati, salah saya apa. Saya cuma ditunjuk sutradara untuk menampilkan kemampuan yang saya punyai di depan kamera seperti yang sudah saya lakukan di Dilan 1990. Tentu saja, saya sangat serius karena saya seorang aktor muda profesional yang pintar, ini, itu, dan lain-lain, untuk menampilkan Minke sebagaimana dituntut skenario bikinan Salman Aristo.
Tenang saja, anak muda! Kamu enggak punya salah apa-apa. Kamu klir dari dosa Bumi Manusia.
Begitu juga kalian semua, enggak punya salah apa-apa. Termasuk jika kelak film ini jeblok, jangan juga netijen dituding salah dan musabab bioskop sepi dan satu per satu layar diturunkan.
Sebab, semua ini salahnya Bumi Manusia. Buku yang dipuji setinggi-tingginya dengan dialog-dialog bernas, kuat, dan ah uh ah, namun sejarah lahir, tumbuh, dewasa, dan pengelanaannya sebagai karya sastra Indonesia tak ubahnya momok hiyong.
Dipuja sebagai karya monumental yang pernah disumbang Indonesia untuk dunia, namun diperlakukan seperti kuntilanak saat diperhadapkan di kaca benggala kurikulum pendidikan nasional. Jangankan pengakuan dari negara, yang didapatkan Bumi Manusia adalah dibajak habis-habisan para saudagar demi, katanya, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa(t).
Bumi Manusia, sungguh, buku yang menggoda kekayaan karena isi dan merepotkan banyak orang dalam kehidupan sosial. Sejak dari benih di Res Publika, berubah jadi buku oleh Hasta Mitra, hingga saat mau dialihwahanakan Falcon Pictures pada akhirnya.