MOJOK.CO – Militer Myanmar harus kembali belajar dari Indonesia soal kudeta. Sama seperti saat mereka belajar tentang dwifungsi ABRI zaman Orba.
Nama Ma Kyal Sin atau Angel (bidadari) pada mulanya, hanya dikenal oleh keluarga dan teman dekatnya saja. Namun saat ini, Kyal Sin sudah jadi pusat perhatian internasional. Dikenal di mana-mana.
Gadis ini tewas ditembak militer dan polisi Myanmar karena jadi salah satu demonstran anti-kudeta militer yang merebut kekuasaan Myanmar sejak 1 Februari lalu.
Kisah ini juga semakin viral tak hanya karena penari dan juara Taekwondo di kota kelahirannya Mandalay ini mengenakan kaos yang bertuliskan “Everything will be OK” ketika melakukan aksi, melainkan karena pesan wasiat yang ditulisnya.
Sebuah pesan yang dibungkus dalam plastik kedap air. Pesan itu berbunyi, “Kalau saya terluka dan kecil kemungkinan hidup, tolong jangan selamatkan saya. Saya akan sumbangkan organ-organ tubuh saya untuk yang membutuhkannya.”
Bahkan untuk berjaga-jaga, Kyal Sin juga cantumkan golongan darahnya.
Hari Rabu, 3 Maret, kemarin itu memang jadi hari paling berdarah dalam protes anti-kudeta militer di Myanmar. Bersama Kyal Sin, setidaknya ada 38 demonstran yang dibantai militer dan polisi Myanmar.
Hampir sebulan militer Myanmar, yang dikenal dengan sebutan “Tatmadaw” itu, berkuasa di bawah pimpinan Jendral Min Aung Hlaing. Kudeta ini dilancarkan untuk mencegah pelantikan pemerintahan sipil hasil pemilu 8 November, 2020.
Dalam pemilu tersebut, partai politik terbesar Myanmar, National League of Democracy (NLD) memenangkan suara terbanyak. NLD memenangkan 396 dari 476 kursi di parlemen. Sebaliknya partai yang didukung oleh militer, Union Solidarity and Development hanya mendapat 33 kursi.
Posisi Tatmadaw dalam politik Myanmar sebenarnya tidak terlalu lemah. Sebelum menyerahkan kekuasaan kepada sipil, militer merancang konstitusi yang membuatnya akan tetap memiliki pengaruh.
Pada 2010, untuk pertama kalinya sejak 1962, Tatmadaw mengizinkan diadakan pemilu di Myanmar. Sebelumnya, pada 2008 penguasa militer Myanmar yang bernama Dewan Negara untuk Perdamaian dan Pembangunan (SDPC, State Peace and Development Council) mengadakan referendum untuk menentukan peta jalan ke arah demokrasi.
Pemilu pertama diadakan pada 8 Agustus 2010. Namun pemilu ini diboikot oleh NLD pimpinan Aung San Suu Kyi. Hasilnya, partai dukungan militer Union Solidarity and Development mendapatkan suara terbanyak dan menguasai parlemen. Pemerintahan dipimpin oleh Presiden Thein Sein, seorang purnawirawan jenderal.
Lima tahun kemudian, pada 2015, NLD ikut dalam pemilu. Partai ini menang dan menguasai mayoritas parlemen.
NLD membentuk pemerintahan namun Aung San Suu Kyi tidak bisa menjadi presiden karena konstitusi yang dirancang militer melarang seorang yang bersuami orang asing untuk menjadi presiden. Suami Suu Kyi, seorang sejarahwan bernama Michael Aris, adalah warga negara Kanada.
Selain itu, Tatmadaw merancang sebuah sistem kenegaraan di mana perwira militer bisa duduk di parlemen tanpa dipilih. Sistem ini mereka pelajari dari Indonesia pada era Orde Baru di mana militer ber-dwi fungsi, menjadi kekuatan politik dan kekuatan pertahanan dan keamanan.
Parlemen Myanmar (Pyidaungsu Hluttaw) dirancang sebagai parlemen dua kamar. Yang pertama adalah DPR (Pyithu Hluttaw) yang beranggotakan dari 440 anggota; dan Dewan Perwakilan Bangsa-bangsa atau lebih tepatnya perwakilan kelompok etnik (Amyotha Hluttaw) yang terdiri dari 224 anggota.
Kedua lembaga ini berjumlah 664 anggota namun hanya 498 yang dipilih. Sisanya 166 anggota (25%) diangkat oleh Kepala Staf Pertahanan. Militer menduduki 56 kursi Amyotha Hluttaw dan 110 di Pyithu Hluttaw.
Pada pemilu terakhir, NLD memenangkan 315 kursi di Pyithu Hluttaw atau DPR dan 161 kursi di Amyotha Hluttaw atau Dewan Perwakilan Bangsa-bangsa. Kemenangan itulah yang membuat mereka berhak membentuk pemerintahan.
Namun pagi hari sebelum pemerintah baru dilantik, Tatmadaw mengeluarkan tank-tank dan peralatan perang mereka ke jalan-jalan utama di kota-kota besar Myanmar. Mereka mengumumkan keadaan darurat, menyatakan hasil pemilihan umum 8 November 2020 tidak sah, dan menahan semua politisi NLD.
Dari sini kita tahu bahwa Kyal Sin adalah generasi yang lain. Dia baru berusia 10 tahun ketika SDPC mengizinkan diadakan pemilu. Tahun lalu, karena usianya mencukupi, dia berhak ikut pemilu. Kabarnya dia memposting status di laman Facebooknya. Dia mencium tangannya yang berwarna ungu tanda sudah mencoblos.
“Pemilu pertama saya, dari lubuk hati yang terdalam,” tulisnya diiringi enam hati warna merah.
“Saya melaksanakan tugas untuk negeri saya.”
Dengan menembak mati Kyal Sin, militer Myanmar telah membuat gadis berusia ini abadi. Selama-lamanya. Dia tidak akan pernah tua di jejak digital dunia maya maupun buku-buku sejarah.
Setiap orang yang membicarakan namanya, akan dihidupi oleh gambaran tentang seorang gadis umur 19 tahun yang berani menghadapi militer dan polisi bersenjata lengkap dengan tangan kosong.
Saya kira, kematian Kyal Sin akan membuka babak baru dalam perjuangan demokrasi di Myanmar. Dia adalah generasi muda Myanmar yang tumbuh dalam demokrasi serta kebudayaan online yang berkembang di negeri itu sejak kurang dari dua dekade terakhir.
Tatmadaw agaknya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kondisi masyarakat Myanmar sudah berubah. Demokrasi sulit untuk diputar balik. Gerakan protes di Myanmar mendapat dukungan kuat dari Milk Tea Alliance yakni sekumpulan netizen di Hongkong, Taiwan, dan Thailand.
Merekalah yang membantu anak-anak muda Myanmar ini bergerak. Mereka mampu menyaingi teknologi yang dipakai oleh militer Myanmar. Dalam hal kecanggihan, para aktivis ini tidak kalah dengan Tatmadaw dan bahkan para aktivis ini dalam beberapa hal lebih unggul.
Satu-satunya yang bisa dikerjakan oleh militer Myanmar saat ini adalah mengisolasi negerinya. Mereka berusaha menindas gerakan anti-kudeta ini dengan brutal. Militer membutatulikan hati dan nuraninya.
Mereka percaya, sebagaimana yang mereka lakukan bertahun-tahun sejak 1962, hanya dengan represi brutal dan sekejam-kejamnya gerakan ini bisa dipadamkan.
Apakah Tatmadaw akan berhasil?
Saya kira sulit. Masyarakat sudah sangat terkoneksi saat ini. Sepanjang masih ada inter-koneksi dengan masyarakat luar, sulit bagi Tatmadaw untuk membendung ketidakpuasan di dalam negerinya ini.
Selain itu, untuk bisa berhasil Tatmadaw juga harus mendisiplinkan diri ke dalam dengan sangat ketat. Sedikit saja perpecahan dalam tubuh militer dan polisi maka kekalahan tidak terhindarkan.
Pelajaran lain dari Myanmar adalah bahwa kudeta itu tidak mudah. Dibutuhkan kepemimpinan dan organisasi yang disiplin di pihak pengkudeta untuk bisa mencengkeram satu negeri.
Pelajaran kedua adalah bahwa proses demokrasi sulit untuk dibalik. Sekali rakyat merasakan kebebasan maka sulit untuk memberangusnya.
Pelajaran ketiga adalah bahwa sesungguhnya Tatmadaw harus kembali belajar dari Indonesia, sama seperti mereka belajar tentang dwifungsi ABRI dan menerapkannya secara murni dan konsekuen di Myanmar.
Pelajaran terakhir ini menurut saya paling penting. Tatmadaw harus belajar berkuasa lewat jalan manipulasi. Mereka tidak perlu berkuasa secara langsung. Mereka bisa membentuk masyarakat yang mencintai Tatmadaw, memuja militer sebagai pahlawan, dan jadi institusi yang paling dihormati.
Salah satunya bisa dengan memberi peluang politik atau bisnis yang sangat menguntungkan untuk para jenderal-jenderalnya di masa pensiunnya. Entah sebagai komisaris BUMN di Myanmar, pemilik saham perusahaan tambang terbesar, atau merebut mendirikan partai politik.
Tatmadaw juga bisa belajar bagaimana membayar dan memelihara para buzzer, influencer, dan berkoalisi dengan media untuk mempertahankan struktur kekuatan yang tak terlihat seperti itu semua.
Karena di zaman sekarang itu gas air mata, peluru karet, peluru tajam, tank, atau water canon tak akan membuat seseorang seperti Jenderal Min Aung Hlaing bisa berkuasa sepenuhnya. Jika ingin sukses, sang jenderal sepertinya harus studi banding ke Indonesia dulu.
Sebuah negeri yang jadi surga bagi pensiunan militer tanpa perlu repot-repot melakukan kudeta.
Lagi.
BACA JUGA ‘Ampun Bang Jago’ di Momen Kudeta Myanmar dan tulisan Made Supriatma lainnya.