Di samsat, tiba-tiba jadi sulit
Saya datang ke samsat untuk mengurus pergantian plat nomor. Pagi sekitar pukul 08:00 pagi, antrean motor untuk cek fisik sudah mengular.
Sampai akhirnya saya menyadari bahwa semua orang membawa map berlogo kepolisian tapi saya tidak. “Ambil formulirnya dulu, Mbak, di dalam. Mbak parkir dulu, nanti ke sini lagi,” kata pengendara di sebelah saya. Saya tidak sadar ada alur ini dan tidak ada satu petugas di luar antrean tersebut.
Setelah mengambil formulir dan membayar parkir yang tarifnya tidak biasa yakni Rp5.000 untuk motor, saya antre lagi untuk bergantian cek fisik. Habis cek fisik, saya harus kembali parkir.
Setelah melalui proses cek fisik, saya antre untuk ke loket samsat. Tujuannya untuk mengidentifikasi dan memverifikasi data alias berkas-berkas yang saya siapkan.
Sampai akhirnya giliran saya, setelah menyerahkan map dengan logo kepolisian, saya ditanyai perihal akta kematian pemilik motor. “Kemarin saya ke sini nanya di bagian informasi, nggak ada info akta kematian, Pak. Cuman disuruh bawa surat kematian saja,” jelas saya.
Saya memang tidak membawa surat akta kematian karena memang tidak ada dalam daftar catatan informasi. Makanya, saya hanya membawa surat kematian dari rumah sakit ke samsat.
Saya bahkan sempat mengonfirmasi beberapa data yang harus saya bawa. Makanya, saya hanya membawa KTP pemilik yang telah meninggal, surat kematian, STNK, BPKB, Surat Ahli Waris dari Kelurahan, dan KTP saya.
Lantaran terpaksa, saya pulang dulu untuk mengambil akta kematian bapak saya. Setelah pulang, saya kembali lagi masuk parkiran. Total Rp15.000 sudah saya keluarkan dalam beberapa jam hanya untuk parkir.
Dipersulit luar dan dalam
Setelah kembali ke samsat dengan menyerahkan akta kematian asli dan fotokopi, saya masih belum lolos juga. Masalah selanjutnya muncul, surat ahli waris saya dipertanyakan.
Saya benar-benar kebingungan di mana letak salah surat ahli waris asli yang saya serahkan. Intinya, petugas samsat menganggap surat ahli waris saya tidak asli. Padahal stempel biru kelurahan sudah terlihat jelas, dan tanda tangan berbagai pihak sudah disematkan.
Saya pun keluar parkiran lagi dan ke kelurahan untuk mengkonfirmasi. Pihak kelurahan sudah memverifikasi keaslian surat ahli waris tersebut. Setelah saya kembali ke samsat, saya tetap ditolak dan malah dituduh membuat surat ahli waris palsu. Genap sudah Rp20.000 saya keluarkan untuk membayar parkir.
Petugas samsat dengan ngotot menjelaskan, “Saya memahami maksudnya, Mbak, tapi ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Soalnya kami sudah banyak kasus seperti ini.”
Akhirnya, pakai calo samsat
Lelah dengan keanehan ini, akhirnya saya mencari calo yang sejak awal mendekati saya di tempat parkir samsat. Setelah berbincang, si calo mengarahkan saya untuk tidak usah balik nama dan tetap menggunakan nama pemilik motor, yakni bapak saya yang sudah meninggal.
“Apa tidak perlu surat kuasa, Pak?” tanya saya.
“Nggak perlu, Mbak. Udah, Mbak tenang aja, nanti siang udah beres,” jelasnya
Saat saya akhirnya menanyakan berapa biaya calonya, saya terkejut bukan main. Saya harus mengeluarkan uang lebih dari satu juta rupiah. Mendadak optimisme saya hilang berganti dengan tubuh yang lemas, belum sarapan, iya, terkejut juga, iya.
Akhirnya si calo mulai mengurus berkas saya. Ternyata, kekagetan saya belum berakhir. Motor saya kembali cek fisik di tempat parkir oleh calo, bukan oleh petugas samsat. Kekonyolan apalagi ini.
Akhirnya saya menunggu sambil makan di area makan samsat. Nampak di sana banyak orang juga yang mengurus urusan plat nomor ini melalui calo. Saya pun berbincang dengan beberapa orang yang berakhir mengurus pergantian plat nomor setelah cek fisik. Ada yang administrasinya diperumit, dan ada juga yang tidak bisa antre panjang karena harus bekerja.
Mendapat “wejangan” dari calo
Sambil menunggu, setelah makan saya mampir ke musala. Di sana, saya bertemu calo perempuan yang memberi saya banyak petuah agar berhati-hati menggunakan calo yang berada di luar.
Calo samsat ini kiranya berusia lebih dari 50 tahun. Dia mengingatkan saya untuk jangan mau kalau nantinya calo bilang platnya tidak bisa jadi hari ini.
Sebelumnya saya sudah mengumpulkan bukti yakni foto sang calo samsat dan rekaman obrolan saya dengannya. Pengingat dari calo ibu-ibu itu cukup membuat saya tercerahkan.
Setelah mendapat pencerahan, karena takut ditipu, saya mengikuti calo yang saya gunakan tersebut ke sana dan k emari.
Calo samsat tersebut dengan berkali-kali bilang “Bentar, ya, Mbak, belum ada info dari dalam.”.
Selama menunggu di luar, saya melihat begitu banyaknya calo di samsat. Walaupun jam operasional penerimaan berkas telah tutup, banyak dari calo tersebut yang masih mencari pelanggan dan dapat orderan.
Mengamati para calo di samsat
Dalam masa penantian plat nomor terbit, saya banyak ngobrol dan mengamati aktivitas calo-calo ini. Calo-calo di samsat berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang tidak sekolah, ada juga yang tamat sekolah sampai SMP. Di sisi lain, ada yang merangkap berjualan gorengan dan bolpoin.
Ada calo yang lebih dari 10 tahun bekerja. Dulu, dia diajak langsung oleh salah seorang ordal untuk bekerja sebagai calo samsat.
Ada juga yang bilang bahwa saat awal-awal menjadi calo, dia merasa bersalah karena merasa ikut menyalahi aturan. Namun, dia akhirnya terbiasa karena merasa bisa membantu warga yang tidak bisa mengurus karena sibuk bekerja, “Alhamdulillah bisa bantu orang, Mbak.” Jelasnya.
Menangis karena gagal menjaga rasa optimis
Setelah kiranya 90 menit menunggu, calo samsat mengabari kalau permohonan saya ditolak. Alasannya, karena sejak awal saya telah mengajukan permohonan balik nama di loket identifikasi dan verifikasi.
Sang calo menawarkan solusi untuk menggunakan KK terpisah, tapi saya tidak membawa KK lain selain KK yang terdapat nama saya di dalamnya. Seorang calo lain pun muncul menawarkan solusi untuk menggunakan KTP yang entah milik siapa. Saya menolak karena saya tidak tahu KTP tersebut milik siapa.
Akhirnya saya pulang dengan tangan kosong dan menangis di perjalanan. Menangis karena tak mampu menjaga optimisme dan menangis karena melihat secara langsung segala praktik konyol yang tidak sejalan dengan visi-misi pemerintah untuk bersih dan transparan.
Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ironi dan Sunyi di Balik Pagar Samsat: Keresahan Satpam Samsat yang Tak Kuasa Mengubah Sistem dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












